1. Rasa Penasaran

9.7K 861 128
                                    

Gadis aneh.

Kesan itulah yang pertama terlintas di benak Rafka kala melihat si gadis kucir ekor kuda.

Bayangkan saja, di tengah cuaca super panas yang sedang melanda Indonesia, dia justru memakai jumper yang tebal. Rafka bertanya-tanya apa gadis itu tidak merasa sangat kepanasan dengan pakaian setebal itu.

Matahari bersinar amat terik siang ini. Rasa panasnya serasa membakar kulit. Angin yang berhembus pun membawa aroma debu kering. Gerah luar biasa.

Penjual es gula asem di luar pagar taman Fakultas Ilmu Pendidikan sudah laris manis diserbu pembeli. Semua orang mendadak butuh minuman dingin untuk menyegarkan tenggorokan. Para mahasiswa yang berada di taman ini pun sibuk mengipas-ngipas diri sendiri demi mendapat sedikit kesejukan, meskipun tak seberapa.

Rafka memperhatikan gadis itu juga melakukan kedua hal tersebut: mengipasi tubuh dan membeli es gula asem. Dan itu artinya, dia juga kegerahan. Lalu mengapa jumper itu tidak dilepas saja? Rafka tak habis pikir.

Penasaran, Rafka menjawil Freya yang duduk di sampingnya lalu bertanya, "Frey, lihat cewek yang itu," Rafka mengedikkan dagu ke arah si gadis aneh, "kamu kenal?"

Freya, gadis cantik teman sekelas Rafka yang terkenal memiliki ingatan tajam, tengah sibuk mengipas-ngipas dirinya sendiri dengan kipas tangan plastik bergambar kartun Keropi sambil menekuri ponsel.

Dengan malas Freya mendongak dan melihat ke arah yang ditunjuk Rafka. Freya menyipitkan mata sejenak, menyesuaikan indera penglihatannya dengan teriknya sinar matahari lalu mengamati gadis yang dimaksud Rafka.

Gadis itu duduk cukup jauh dari bangku yang Freya dan Rafka tempati, namun Freya masih bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas, dan menyimpulkan, "Nggak kenal, Ka. Kenapa, sih?"

"Nggak apa-apa. Aneh aja. Panas gini tapi pakai jumper tebal banget."

"Lagi sakit kali," timpal Freya tak terlalu peduli.

Dalam hati, Rafka menepis kemungkinan itu. Gadis itu tidak tampak pucat. Wajah manisnya memancarkan rona sehat. "Beneran kamu nggak kenal? Bukan adik kelas kita?" tanyanya lagi.

Freya memutar bola mata ke atas sebab merasa jengkel. "Bukan," tegasnya, "aku pasti ingat kalau dia anak jurusan kita."

Taman itu terletak di dekat ruang perkuliahan mahasiswa jurusan PGSD, jadi hampir bisa dipastikan mereka yang nongkrong di sana pastilah mahasiswa PGSD. Kalaupun ada mahasiswa lain jurusan yang cukup percaya diri untuk duduk-duduk di taman itu, mereka pasti akan datang berkelompok. Namun, gadis kucir kuda itu sendirian. Sedari tadi dia hanya membunuh waktu dengan berpura-pura sibuk membaca. Ya, Rafka tahu gadis itu tidak terhanyut dalam apa yang dibacanya sebab berkali-kali dia mendongak dan melihat ke sekeliling. Gadis itu sedang menunggu seseorang, putus Rafka.

"Ka, menurutmu mana yang lebih bagus?" Pertanyaan Freya membuat Rafka terpaksa mengalihkan pandangannya dari gadis ber-jumper tebal itu.

Freya kemudian menunjukkan dua buah gambar gaun di ponselnya. Gaun pertama merupakan gaun berwarna pink lembut, sedangkan gaun kedua berwarna biru langit. Kedua gaun itu sama-sama sepanjang lutut dengan lengan tiga perempat.

Rafka melihat kedua gambar itu sekilas dan menjawab, "Dua-duanya bagus."

Freya berdecak, tak puas dengan jawaban tanpa minat dari Rafka. "Pilih satu yang paling bagus di antara keduanya," pinta Freya.

Dengan enggan, Rafka mengambil ponsel dari tangan Freya dan mengamati gambar dua gaun itu dengan lebih teliti. Gaun warna pink berpotongan lurus dan garis lehernya berbentuk huruf V, sementara gaun warna biru memiliki rok rimpel yang mengembang. "Biru, deh. Kamu bakal mirip tante-tante sosialita kalau pakai yang pink," ucapnya.

Kali ini Freya tampak puas dengan jawaban Rafka. "Aku juga prefer yang biru, sih," sahut Freya setuju.

Lah, kalau sudah punya pilihan, ngapain tanya, Mbakyu? keluh Rafka dalam hati.

"Kamu sudah sampaikan undanganku untuk pengurus HIMA, kan?"

"Sudah, tadi siang."

Freya mengangguk puas. Akhir pekan ini Freya berulang tahun ke-21 dan akan merayakannya dengan menggelar sebuah pesta di ballroom hotel. Agak sedikit berlebihan memang. Namun, tak apalah, toh baru satu kali ini. Pesta itu juga dimaksudkan sebagai welcoming party untuk menyambut kepulangannya dan Rafka ke tanah air setelah selama satu semester mencari pengalaman belajar di negeri Paman Sam.

Freya tersenyum simpul membayangkan betapa cantik dirinya saat mengenakan gaun biru itu nanti. Pasti akan sangat serasi dengan Rafka. Dalam hati Freya mencatat untuk membelikan Rafka kemeja biru dongker agar senada dengan warna gaunnya. Mereka harus terkesan seperti pasangan yang berjodoh. Biru dengan biru. Jangan sampai Rafka muncul di pesta dengan kemeja batik warna hijau lumut. Ih, nggak matching.

Melihat Freya sudah tidak lagi merecokinya dengan pertanyaan tidak penting, Rafka kembali menoleh ke bangku tempat gadis ber-jumper itu duduk. Namun, Rafka harus kecewa saat melihat bangku itu telah kosong. Gadis itu sudah pergi, meninggalkan tanya yang masih tak terjawab di benak Rafka.

Siapa kamu?

***

Yogyakarta seharusnya menyandang julukan kota global warming alih-alih kota pelajar. Panas banget, Bro! Saat melintas di perempatan Mirota Kampus tadi, Rafka melihat suhu udara yang tercatat di layar digital di sana mencapai 37 derajat celcius. Jangan-jangan suhu udara benar-benar bisa sampai pada angka 40 derajat celcius sesuai dengan prediksi BMKG.

Dan seolah belum cukup buruk, AC di perpustakaan justru memilih hari ini untuk berhenti berfungsi. Alhasil, tempat yang biasanya menjadi pelarian mahasiswa untuk ngadem itu pun sepi. Yang bertahan palingan hanya beberapa mahasiswa yang bertekad kuat untuk segera menyelesaikan skripsi, entah karena sudah terancam DO atau karena termotivasi untuk lulus cum laude, seperti Rafka.

Rafka menempati meja di tepi salah satu jendela yang terbuka di lantai dua sembari membuka referensi jurnal cetak untuk skripsinya. Dia berencana melakukan penelitian tindakan kelas di sebuah sekolah dasar di daerah Kaliurang. Dengan tekun Rafka mengetik review jurnal yang sedang dia baca di laptopnya. Review jurnal akan memudahkannya mencari celah penelitian sehingga meminimalisir kemungkinan adanya penelitian lain yang bertema serupa dengan miliknya.

Saat sedang mengembalikan jurnal ke rak sirkulasi, Rafka melihat sekelebat sosok berkucir kuda dengan sweater tebal. Sweater? Di suhu sepanas ini? Cepat-cepat Rafka membereskan barang-barangnya. Kalau dugaannya benar, mungkin saja itu si gadis aneh yang kemarin. Sembari menuruni tangga, Rafka bertanya-tanya tak mengerti mengapa dirinya begitu dibuat penasaran oleh gadis ini.

Jika judul lagu Michael Learns To Rock adalah Twenty Five Minutes Too Late, maka bagi Rafka judul itu berubah menjadi Twenty Five SECONDS Too Late. Seandainya saja Rafka lebih cepat 25 detik, dia pasti bisa berpura-pura tak sengaja menabrak gadis itu lalu meminta maaf dan berkenalan. Namun, Rafka hanya bisa melihat gadis itu berlalu dari loket pengembalian buku.

Bermodal rasa penasaran akut dan kenekatan, Rafka mendatangi loket pengembalian buku. Seorang perempuan paruh baya bertugas di situ. Ah, ini mudah. Rafka cukup tersenyum manis dan pasti langsung dituruti keinginannya. Ada untungnya juga memiliki wajah tampan.

"Bu, saya boleh pinjam buku yang dikembalikan mbak-mbak yang pakai sweater tebal tadi?" pinta Rafka sopan seraya tersenyum memikat.

"Yo mestine olih, Mas. Kono dijupuk ning loket peminjaman," ucap sang petugas sambil mengoperkan buku itu pada petugas lainnya. (Tentu saja boleh, Mas. Silahkan diambil di loket peminjaman.)

Di loket peminjaman, Rafka menerima buku tersebut. Teori Poskolonial. Kemungkinan besar gadis itu jurusan bahasa. Rafka membuka halaman terakhir buku itu di mana terdapat kartu daftar nama peminjam. Senyum Rafka terkembang lebar sewaktu membaca nama yang tertulis tepat di atas namanya.

Audreana Rarasati. FBS/PBSI.

-----------------

Btw, ada yang ikut penasaran nggak sama cewek ber-jumper itu?

Love Will Find A Way Where stories live. Discover now