9. Hati yang Patah

3.6K 598 70
                                    

Usia delapan belas seharusnya menjadi masa yang indah bagi seorang gadis remaja. Momen kelulusan SMA lalu menjadi mahasiswa seharusnya dijalani dengan suka cita. Namun, tidak bagi Ana. Di usia delapan belas, hari-harinya justru diwarnai mimpi buruk dan air mata. Salah satunya hari ini, saat dia menemukan tubuh Rosyad, ayahnya, tergeletak di depan pintu kamar mandi, tak bergerak.

"Pak! Bapak!" teriak Ana sambil mengguncang-guncangkan tubuh ayahnya. Tak ada respon. Ayahnya tetap bergeming. Kepanikan Ana semakin menjadi-jadi. Matanya yang sudah sembab karena menangis semalam kini kembali mengalirkan air mata. "Bangun, Pak!"

"Astaghfirullah! Mas!" pekik Sofia, ibu Ana, yang baru datang dari pasar. Diletakkannya plastik belanjaan begitu saja lalu bergegas mendekati tubuh suaminya. "Bapak kenapa, Na?" tanyanya.

Ana hanya menggeleng. Lisannya tak sanggup bersuara. Air mata semakin deras membasahi pipinya.

Sofia meraba nadi Rosyad. Masih ada denyut, meski lemah. "Ana, cepat ke rumah Pakde Irsyad! Minta tolong bawa Bapak ke rumah sakit," perintahnya tegas.

Mengangguk, Ana kemudian berlari menuju rumah sebelah, mengetuk pintu dan berbicara tak jelas sambil menangis saat pamannya membuka pintu. Bagi Ana, yang terjadi kemudian bagaikan adegan gerak cepat sebuah film. Tubuh ayahnya digendong beberapa tetangga, dimasukkan ke dalam mobil, dibawa ke IGD, hingga dipindahkan ke ICU.

Stroke hemoragik, begitu kata dokter, terjadi bila ada kebocoran, atau pecah, pada salah satu pembuluh darah di otak. Darah yang keluar lalu akan mengalir ke jaringan otak di sekitarnya dan menyebabkan kerusakan. Umumnya stroke hemoragik disebabkan oleh tekanan darah tinggi atau hipertensi. Seperti yang terjadi pada kasus Rosyad.

Ana hanya bisa menatap nanar pada tubuh ayahnya yang masih tetap tak sadarkan diri dari balik kaca ruang ICU. Mata coklat gelapnya kembali digenangi air mata. Pintu geser ruang perawatan intensif itu terbuka, memunculkan sosok letih ibunya. Dengan langkah gontai Ana menghampiri Sofia yang kini sudah duduk di kursi tunggu khusus untuk pendamping pasien ICU.

"Bu, gimana kondisi Bapak?"

Sofia mencoba menampilkan wajah teduh agar putri semata wayangnya itu tak terlalu khawatir. "Dokter bilang lebih baik dioperasi secepatnya, Nduk. Ada gumpalan darah di otak Bapak. Kita doakan yang terbaik."

"Bapak stroke karena aku, kan? Karena aku gagal jaga diri. Pasti tekanan darah Bapak jadi tinggi karena mikirin aku. Iya, kan, Bu?" Ana menutup wajah dengan kedua tangannya. Air matanya tumpah tanpa bisa ditahan lagi.

Jika egois ingin rasanya Sofia mengiakan. Namun, dia tak mau lagi melihat putrinya  terpuruk. Sebagai ibu, dia harus bisa menjadikan momen ini sebagai titik kebangkitan bagi Ana. "Sudah, Nduk," Sofia mengelus-elus punggung Ana. "Yang sudah terjadi nggak bisa diubah. Sekarang kita cuma bisa menerima semua ini dengan ikhlas sambil terus berdoa supaya diberi kekuatan."

"Aku takut, Bu. Kalau Bapak sampai meninggal artinya aku yang jadi penyebabnya. Aku durhaka. Aku berdosa," ucap Ana di sela-sela isakan.

Menengadahkan wajah agar air mata tak mengalir, Sofia berkata lembut, "Usia setiap orang sudah ada jatahnya, Nduk. Itu kuasa Tuhan. Mau dipundhut dengan cara apa itu terserah Gusti Allah, bukan karena kamu. Justru dari sini kamu harus bangkit. Buktikan pada Bapak bahwa kamu bukan hal yang harus dicemaskan. Jadilah kuat, Ana. Itu harapan Bapak dan Ibu yang kami titipkan pada namamu, Audreana. Perempuan yang kuat."

Ana semakin terisak. "Aku menyesal, Bu. Seandainya aku nurut apa kata Ibu."

"Masa lalu jangan terlalu lama disesali. Ambil pelajarannya lalu teruslah maju. Jangan terus terpuruk, Nduk," nasihat Sofia.

Love Will Find A Way Where stories live. Discover now