32. Keputusan Terbaik

4.3K 707 83
                                    

Andra:
Bu Eriska menghubungiku lagi. Kapan kita bisa memulai terapi?

Ana:
Aku belum bisa dalam waktu dekat ini, Mas. Aku masih sibuk mempersiapkan anak-anak untuk UN. Maaf.

Andra:
It's ok.

Ana mendesah lelah dan menutup chat-nya dengan Andra di ponsel. Bu Eriska adalah psikolog yang direkomendasikan oleh salah seorang klien Andra ketika pria itu mencari informasi tentang psikolog terpercaya di Yogyakarta. Mereka sama sekali belum memulai sesi terapi dengan Bu Eriska. Meski telah berjanji pada Andra, Ana tetap tidak bisa mengenyahkan keengganan dalam dirinya untuk mengikuti konseling. Ana tidak berbohong saat berkata bahwa dia tengah sibuk menghadapi UN. Dia justru merasa lega karena memiliki alasan untuk menunda sesi konselingnya tanpa perlu berbohong.

Mempersiapkan murid-murid untuk Ujian Nasional bukan tugas yang mudah. Ana masih termasuk fresh graduate yang belum banyak memiliki pengalaman. Terlebih lagi dengan minat baca para siswa yang masih tergolong rendah, Ana sampai harus mengelus dada, ekstra sabar, ketika mendapati siswa yang tidak bisa menemukan gagasan pokok suatu paragraf atau makna dari suatu kata. Siapa bilang mengajar Bahasa Indonesia itu mudah?

Ana memasukkan ponsel ke dalam tas. Dibawanya setumpuk soal latihan UN yang baru selesai difotokopi. Sekarang setiap kali mengajar kelas IX yang Ana lakukan hanyalah drilling soal latihan. Siswa harus dibiasakan membaca berbagai macam teks dan pertanyaan yang menyertai. Paling-paling jika dirasa siswa sudah jenuh, Ana akan menyelingi dengan games sederhana atau ice breaking.

Ana memasuki ruang kelas IX-B dan memberi salam. "Latihan soal lagi, ya?"

"Yaaaah..." Seisi kelas serentak mengeluh.

Sebenarnya seringkali Ana merasa tidak tega pada siswa-siswanya. Beban mereka di tahun akhir masa SMP memang berat, tetapi mau bagaimana lagi? Semua ini harus dilakukan karena Ana tidak ingin gagal dalam pertaruhannya dengan Rafka. Dia harus bisa mencapai target nilai tertinggi 98, bahkan kalau perlu nilai sempurna 100.

Namun, Ana gagal.

Sebulan setelah pelaksanaan UN, Ana hanya bisa tertunduk lesu. Hasil Ujian Nasional sudah diumumkan dan nilai tertinggi untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yang berhasil diraih SMP Sahwahita hanyalah 94.

"Nggak usah murung gitu, nilai UN SMP secara nasional memang sedang menurun," hibur Cindy. "Pihak yayasan nggak mungkin mecat kamu begitu aja. Mapel Matematika juga nggak berhasil mencapai target. Semua kan gara-gara HOTS."

Ujian Nasional tahun ini memang memuat soal High Order Thinking Skills. Pihak Kemendikbud sendiri telah mengakui bahwa HOTS menyebabkan terjadinya penurunan hasil UN secara nasional. Namun, apa pun itu tidak lantas bisa memperbaiki situasi Ana. Dia telah gagal. Titik.

"Tapi cuma aku yang sesumbar minta dipecat kalau gagal mencapai target, Sin," keluh Ana putus asa. Wajahnya dibenamkan di antara tangannya yang terlipat di atas meja.

Cindy masih mencoba membesarkan hati Ana, ditepuknya lembut punggung perempuan itu.  "Tapi pencapaianmu juga nggak buruk, Na. Target nilai tertinggi memang nggak tercapai tapi nilai rerata tahun ini sama dengan tahun lalu."

"Taruhanku dengan Pak Rafka kan dalam hal nilai tertinggi, Sin. Ah, nggak tahu deh. Aku pasrah. Nggak lama lagi aku pasti bakal dipanggil pihak yayasan."

Benar saja. Beberapa hari kemudian, Ana diberitahu agar menemui Rafka di kantor yayasan. Lemas, dia mengangguk. Beberapa guru tersenyum simpatik padanya, ada pula yang memberi nasihat agar di lain kesempatan Ana tidak mudah terpancing emosi dan tidak omong besar. Lagi-lagi Ana hanya bisa mengangguk. Membantah pun takkan berguna.

Love Will Find A Way Where stories live. Discover now