33. Hyacinth

3.7K 674 48
                                    

"Kok baru nyusul, Frey. Papa tungguin dari tadi."

Freya segera menghampiri seorang pria paruh baya yang menyapanya begitu dia memasuki halaman belakang kediaman keluarga Rafka. Dikecupnya pipi sang ayah lalu mencium takzim punggung tangan pria tua lainnya yang berdiri di sisi kiri ayahnya.

Halaman belakang rumah orangtua Rafka cukup luas. Oleh kedua orangtuanya lahan itu dimanfaatkan untuk membuat kolam yang diisi dengan berbagai jenis ikan air tawar, seperti: mujair, patin, dan ikan mas. Sebulan sekali mereka sekeluarga menjala atau memancing ikan di sana untuk kemudian dimasak. Terkadang orangtua Rafka mengundang beberapa kerabat atau kawan. Keluarga Freya adalah salah satunya.

Santoso, ayah Rafka, mengusap lembut puncak kepala Freya. "Suwe ora ketok, Nduk," katanya. (Lama tidak kelihatan, Nak.)

"Sibuk ngerjain tesis, Om."

"Sedela meneh rampung to?" (Sebentar lagi selesai, kan?)

"Insyaallah. Rafka di mana, Om?"

Semenjak mengakui tindakan liciknya, Freya belum pernah lagi berkomunikasi tatap muka dengan Rafka. Urusan bimbel dibahas melalui chat di aplikasi whatsapp ataupun surat elektronik dan Freya berusaha keras mengalihkan pikiran dari patah hati dengan fokus menulis tesis. Hubungan pertemanannya dengan Rafka telah membeku.

"Palingan ning teras samping. Mbuh cah kui lagi ngopo. Ujug-ujug tuku kulkas anyar, tapi ra entuk diisini panganan," jawab Santoso seraya menggelengkan kepala.  (Paling-paling di teras samping. Entah apa yang sedang dia lakukan. Tiba-tiba membeli lemari es baru, tapi tidak boleh diisi dengan makanan.)

Freya meninggalkan ayahnya yang mulai bertanding catur dengan ayah Rafka. Kedua pria paruh baya itu sudah selesai memancing ikan dan sedang menunggu ikan hasil pancingan mereka dibakar. Biasanya Rafka yang bertugas membakar ikan. Lebih tepatnya, bertugas mengipasi agar bara terus menyala. Namun, kali ini Rafka tidak ikut bergabung dengan mereka. Ragu-ragu, Freya berjalan ke arah teras samping.

Di sana, Rafka sedang berjongkok menghadap setumpuk tanah yang diletakkan di atas selembar karung goni bekas. Di samping tumpukan tanah itu berjejer beberapa pot bunga dari tanah liat. Di tangan Rafka juga tergenggam sebuah sekop.

"Hai, Ka," sapa Freya takut-takut.

Rafka menoleh sekilas lalu kembali fokus pada tumpukan tanah yang sedang dia aduk. "Hai," balasnya datar.

"Sibuk?"

"Ya begitulah."

"Nggak mau gabung bakar ikan?"

"Nanti."

Percakapan super pendek itu berjalan tanpa sekali pun Rafka menatapnya. Freya merasa ingin menangis. Rafka belum pernah bersikap acuh tak acuh padanya seperti ini. "Kamu marah sama aku?" tanyanya.

Rafka diam dan memandang Freya lama. Awalnya Freya mengira Rafka akan menatapnya penuh kebencian atau mungkin kemarahan, tetapi tidak. Dalam sorot mata Rafka hanya terlukis kehampaan yang justru membuat hati Freya semakin terpilin.

Mengangkat bahu singkat, Rafka menjawab,  "Mungkin. Entahlah. Aku lebih marah pada diriku sendiri."

"Kenapa?"

Rafka meletakkan sekop dan duduk di atas ubin teras yang dingin.  "Apa yang akan kamu rasakan saat tahu kamu nggak bisa memiliki orang yang kamu cintai karena kebodohanmu sendiri? Marah. Menyesal. Ingin merutuki diri sendiri. Itu yang aku rasakan."

Freya ikut duduk lesehan di lantai. "Kamu nggak balikan sama Ana?"

Rafka menggeleng lemah. Banyak pengandaian yang Rafka buat dalam beberapa hari terakhir, berkaitan dengan sikapnya. Seandainya dia tidak gegabah menghakimi Ana. Seandainya dia memberi Ana kesempatan menjelaskan. Seandainya dia bisa menahan lisannya dari segala hinaan untuk gadis itu. Seandainya dan seandainya. Semuanya tidak berguna.

"Kenapa kamu bisa cinta banget sama Ana?" Freya ingin melanjutkan, kenapa nggak bisa aku? tetapi urung.

"Aku sendiri nggak ngerti dengan cara kerja hati, Frey. Kenapa Ana? Kenapa bukan kamu atau cewek lain? Begitu, kan?" Rafka melirik Freya yang tertunduk dan bangkit berdiri, mengambil sesuatu dari meja. Sebuah benda yang tampak seperti bawang bombay bertunas.

"Tapi ada momen di saat aku melihat Ana tersenyum dan waktu serasa berhenti. Seolah semua hal di dunia ini tiba-tiba hanya fokus padanya. Di situ aku tahu, bahwa Ana yang teristimewa ... di hatiku," lanjutnya.

Rafka mengisi sepertiga pot dengan tanah lalu, penuh kehati-hatian dia meletakkan bawang bombay bertunas itu ke dalam pot dan menambahkan tanah lagi hingga bagian umbinya terpendam dan hanya terlihat bagian tunasnya saja.

Freya memperhatikan Rafka mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengusir sisa tanah yang menempel di ujung atau sela-sela jari lalu tersenyum tipis seraya memandangi benda yang baru saja dia tanam. "Apa itu? Bawang bombay?" tanya gadis berambut bob itu.

"Ini umbi bunga."

"Bunga?"

"Bunga hyacinth. Bunga yang ditumbuhkan Dewa Apollo karena dia berduka atas kepergian kekasihnya. Flower of regret."

"Bunga luar negeri? Memangnya bisa tumbuh di sini?"

"Aku dan Ana dulu pernah bercita-cita untuk menumbuhkan bunga negeri empat musim di Indonesia. Dulu kami asyik berdiskusi, googling sana sini untuk cari tahu tips and tricks-nya.  Dan baru-baru ini aku nemu caranya dari sebuah blog. Nggak masalah jika aku harus mewujudkan impian kami seorang diri sekarang. Mungkin ini cara yang kupilih untuk terus mencintai Ana."

Setelah Ana menolaknya, yang bisa Rafka lakukan setiap hari hanyalah berkubang dalam penyesalan. Suatu sore, saat dia sedang mengenang momen kebersamaannya dengan Ana, Rafka teringat tentang kisah bunga hyacinth. Iseng-iseng dia coba berselancar ke laman sebuah blog pecinta bunga dan menemukan cara menanam bunga ciptaan Dewa Apollo tersebut. Ternyata, triknya adalah melakukan cold treatment terlebih dulu.

Cold treatment atau gampangnya bisa diartikan menjadi terapi suhu dingin adalah menyimpan umbi bunga dalam wadah kedap udara lalu disimpan di kulkas selama dua bulan, baru kemudian ditanam. Tujuannya untuk menyesuaikan perbedaan suhu antara negara empat musim dan negara tropis. Jadi, Rafka pun memesan umbi hyacinth secara online dan membeli lemari es baru hanya demi melakukan cold treatment pada umbi hyacinth. Sebab, umbi tersebut tidak boleh terkena gas etilen yang  dihasilkan oleh sayur-mayur atau buah-buahan di dalam lemar es.

"Kenapa kamu nggak kejar Ana lagi, Ka?" tanya Freya sedih. "Rafka yang kukenal adalah laki-laki yang nggak gampang menyerah."

Rafka menggeleng. Prestasinya dalam dunia akademis memang disebabkan oleh sifatnya yang pantang menyerah. Dia tidak lelah berjuang untuk mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar Global Ugrad. Dia tidak gentar ketika harus mengulang siklus PTK-nya sebanyak enam kali. Namun, untuk urusan asmara, ternyata Rafka hanyalah seorang pecundang. Sungguh, setelah semua perlakuannya pada Ana, Rafka merasa tak lagi punya muka untuk mengejar perempuan itu.

"Kata orang, tingkatan cinta yang paling tinggi itu ketika kita bisa melepaskan orang yang kita cintai," jawab Rafka.

"Kamu relain Ana buat saudaramu itu?"

"Kalau Mas Andra bisa membuat Ana bahagia, maka aku ikhlas. Ana sudah banyak menderita di masa lalunya. Dia berhak bahagia."

"Lalu kamu menderita sendiri di sini?"

"Mengetahui bahwa diri kita yang menyebabkan orang yang paling kita cintai merana itulah penderitaan yang sesungguhnya, Frey. Aku sudah menyakiti Ana, melecehkannya. Terlalu banyak luka yang aku berikan padanya."

Freya termenung. Rafka benar. Seperti halnya Rafka yang telah menyebabkan Ana tak bahagia, kini Freya pun menjadi penyebab penderitaan Rafka. Tak ada yang membahagiakan dari fakta itu. Rasanya bahkan jauh lebih menyakitkan daripada melihat Rafka bersama Ana dulu.

Tanpa sadar setetes air mata menitik dari bola mata Freya. "Maafkan aku, Ka..."




-----------

Hihihi, pendek bgt ya? Gak papalah, daripada aku gak update 😅😝

Love Will Find A Way Where stories live. Discover now