5. Bunga Asmara

3.7K 568 69
                                    

Semenjak sore itu, Ana kerap mendapatkan kunjungan dari Rafka di kosnya. Seringnya Rafka bertamu di sore hari sepulang kuliah, ketika Ana sedang melakukan rutinitasnya berkebun. Pemuda itu tampak sangat tertarik dengan segala aktivitas Ana merawat bunga. Awalnya dia hanya bertanya nama bunga ini dan itu, lalu lambat-laun Rafka mulai ikut berkebun bersama Ana. Dan akhir-akhir ini, Rafka sangat penasaran dengan cara membuat kompos.

Sepanjang interaksi mereka, tak pernah sekalipun Rafka mengucapkan kalimat gombalan atau rayuan receh. Bahkan saat berkirim pesan pun pemuda itu tidak pernah menanyakan pertanyaan tak penting, seperti 'Lagi ngapain? Udah bangun belum? Udah makan?' Chat dari Rafka selalu berisi copy link artikel tips berkebun dan informasi open PO atau giveaway buku-buku dari penulis berbagai genre. Hal-hal yang disukai Ana.

Sering Ana bertanya-tanya pada dirinya sendiri, mengapa dia mengizinkan Rafka memasuki kehidupannya sejauh ini. Ana tak pernah berakrab-akrab dengan lawan jenis. Dia membangun dinding untuk melindungi dirinya, dan Rafka pelan tapi pasti menerobos pertahanannya itu.   Sikap Rafka yang tak pernah merayu maupun mengkritik penampilannya terasa nyaman di hati Ana. Bahkan Ana tak jarang mendapati hatinya bergetar manis saat tahu Rafka tengah menatapnya. Ada apa dengan dirinya?

Rafka datang terlalu awal sore ini. Dengan mengenakan kemeja abu-abu lengan panjang dan celana bahan, tubuh jangkung  pemuda itu sudah berdiri di pintu ruang tamu kos Ana pada pukul 14.30. Rafka memang berjanji akan membantu Ana menanam bibit bunga matahari, tetapi biasanya dia datang selepas asar.

"Sekarang masih terlalu panas untuk menanam, Mas," terang Ana, setelah rasa herannya hilang.

"Aku langsung ke sini begitu kelas terakhir selesai. Aku lapar banget. Temani aku makan dulu, yuk! Di warung depan saja, nggak perlu jauh-jauh."

Ana menimbang-nimbang. Selama hampir satu semester ini, Rafka sudah sering membantunya berkebun, menyempatkan waktu di antara kesibukannya menyusun skripsi, dan Ana belum pernah berterima kasih dengan layak. Mungkin tidak ada salahnya menemani Rafka makan. Toh hanya di warung depan kos saja. Mereka tidak perlu berboncengan di sepeda motor. Tanpa suara, Ana menganggukkan kepala tanda setuju.

Warung makan itu hanya sebuah warung sederhana tetapi sangat laris. Mahasiswa yang ngekos sering membeli makan di sana, termasuk Ana, karena tempatnya bersih dan rasa masakannya enak. Karena sama-sama sedang tidak ingin makan nasi, Rafka memutuskan untuk memesan lotek dan Ana memesan gado-gado tanpa kentang.

"Kamu nggak suka kentang?" tanya Rafka setelah mendengar Ana menyebutkan pesanannya.

"Keripik kentang seperti Chitato yang banyak MSG-nya itu, suka, tapi olahan kentang yang lainnya, nggak."

"Kenapa?"

Ana mengangkat bahu. "Nggak tahu. Sejak kecil aku nggak pernah bisa menelan kentang, pasti kumuntahkan. Menurut cerita ibuku, dulu waktu bayi aku pernah dipaksa makan bubur kentang sampai aku nangis kejer. Mungkin semenjak itu alam bawah sadarku trauma pada kentang." Ana terdiam setelah menjelaskan semua itu. Lagi-lagi seperti ini, pikirnya heran pada diri sendiri. Rafka selalu bisa membuatnya membuka diri, menceritakan hal-hal yang tidak pernah dia bagi dengan pria lain sebelumnya.

"Aku juga punya kisah serupa, kok. Tapi untungnya sesuatu yang kutakuti itu bukan makanan."

"Memangnya kamu takut apa, Mas?"

"Ada, deh. Suatu saat nanti kamu tahu," jawab Rafka sok misterius.

Pesanan mereka datang. Mereka makan sambil sesekali mengobrol. Rafka mengusulkan agar Ana membuka usaha tanaman hias. Pria itu bahkan memaparkan prospek dan langkah-langkah yang harus dilakukan Ana jika serius ingin berwiraswasta di bidang florikultura. Ana hanya tersenyum menanggapi. Menurutnya, Rafka lebih cocok mengambil jurusan bisnis alih-alih PGSD.

Love Will Find A Way Where stories live. Discover now