Part E. (Jadi Juga)

593 58 0
                                    

Tiga bulan? Bukan. Bagi Hani tiga bulan sama seperti tiga hari.

Benar saja. Rasanya baru kemarin Arza mengatakan 'Tiga bulan lagi'. Dan tiga bulan berlalu seperti kedipan mata saja. Hani bahkan tak sadar ketika Arza mengucapkan ijab kabul dengan begitu lancar. Hingga sorakan 'SAH' menyadarkannya.

Tanpa diduganya, air mata itu menetes. Dengan cepat Hani menghapusnya. 'Ini adalah hariku. Hari bahagiaku. Air mata ini tidak seharusnya aku tunjukan.'

"Sayang, dandanan kamu luntur tuh. Jangan nangis dong." Segera saja Hani memeluk mamanya. Entah kapan lagi Hani bisa memeluk mamanya seperti ini setelah dia menjadi seorang istri. "Udah, jangan nangis, mama jadi ikut nangis nih."

"Mama..."

Ibu Ranti menatap putri sulungnya dengan seksama. "Selamat menempuh hidup baru sayang, hidup baru bukan berarti tidak akan ada masalah. Justru saat inilah waktunya kamu menunjukkan kedewasaan kamu, saatnya kamu menunjukkan didikan papa dan mama."

Hani menatap mamanya dengan pandangan sendu. "Ma..."

"Sekarang, kamu harus taat sama suami kamu, barulah berbakti sama orang tua."

"Maafin Hani ya, Ma. Hani sering nyusahin Mama. Hani cuma−"

"Jangan ngomong gitu deh," potong bu Ranti. "Sekarang kamu siap-siap. Sebentar lagi kamu akan melihat suami kamu."

Wanita yang menjadi sosok ibu itu menatap putri sulungnya dengan pandangan haru. Rasanya baru kemarin dia mengandung putrinya, rasanya baru kemarin dia mengidam, rasanya baru kemarin dia melahirkan putri sulungnya.

"Kamu sudah besar, Hani," lirihnya. Matanya ikut berka-kaca. Dulu, dia menangis ketika Hani lahir, kini dia menangis lagi ketika Hani menikah. "Mama sayang sama kamu."

Hani mengangguk pelan. "Hani juga sayang mama."

Bu Ranti membelai kepala putri sulungnya. "Siap-siap yuk. Suami kamu menunggu kamu di luar sana," ucapnya dengan nada lembut.

Hani mengangguk dan kembali menghadap cermin. Memperbaiki sedikit tampilan dan riasannya. Memang Hani tidak langsung menemui mempelai pria karena Hani diharuskan menunggu di kamar sampai kata SAH diucapkan oleh para tamu dan saksi.

Ketukan pintu kamar membuat pegangan tangannya mengencang. Ibu Ranti mengetahui dengan pasti kegugupan yang dirasakan putri sulungnya. Dengan langkah perlahan Hani di tuntunnya menuju sang suami yang menunggu di luar kamar.

Disetiap langkahnya, Hani berdoa agar kehidupannya bersama sang suami selalu dilimpahi keberkahan dan kebahagian. Semoga Hani bisa menjadi istri yang patuh kepada suaminya, dan semoga Arza bisa membimbing Hani sebagai tanggung jawabnya.

Dalam langkahnya menuju sang suami, Hani berjalan dengan kehati-hatian penuh. Banyak pasang mata yang menatapnya, dia tentu tidak mau membuat malu keluarganya dan keluarga suaminya.

Untung saja Hani tidak direpotkan dengan gaun pengantin yang dipakainya. Beruntunglah karena ibu mertuanya itu memilih gaun pengantin yang tidak mewah tetapi tidak juga sederhana. Jujur saja bagi Hani gaun putih yang dipakainya cukup mewah meskipun tidak  seperti gaun kebanyakan yang panjang menjuntai.

Setelah sampai di depan seorang laki-laki yang kini sudah berstatus menjadi suaminya, Hani merasakan tangannya berubah menjadi dingin. Rasanya seperti bertemu dengan sang gebetan. Kegugupannya bertambah ketika sebuah tangan terulur kepadanya.

Hani menyambut uluran tangan suaminya, Arza. Lelaki itu terlihat sangat tampan dengan jas hitam dan kopiah hitam di kepalanya. 'Ya Allah, ternyata suamiku ini tampan kelewat batas. Terima kasih atas karunia-Mu, Ya Allah.'

My Husband Is KoreanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang