Keberadaan satu pelayan itu di sana membuat Aluna mengedarkan pandangannya ke seisi dapur. Ternyata memang benar bahwa seluruh pelayan diikut sertakan untuk membantu acara pernikahan. Begitu pula pelayan yang tengah berada di dapur itu yang terlihat membawa nampan berisi sajian untuk tamu yang hadir.

"Tidak ada," jawab Aluna padanya.

"Baik, Nona. Saya pamit untuk mengisi sajian yang sudah kosong dulu. Bila ada yang dibutuhkan, jangan segan-segan untuk mengatakannya," ujar pelayan itu sesopan mungkin. Bukannya menyukai sikap sopan pelayan itu, Aluna justru dibuat muak. Ia tidak suka dihormati oleh orang yang lebih tua darinya hanya karena posisi kekuasaan yang dimilikinya lebih tinggi.

"Sebentar," cegah Aluna yang membuat langkah pelayan itu terhenti sekalipun telah hampir menghilang dibalik dinding rumah.

"Iya, Nona?" tanyanya sambil mengambil langkah mundur.

"Kemana Papa?" Aluna bertanya sambil memasuki dapur. Tangannya sibuk menuangkan air ke dalam gelas lalu meminumnya sambil duduk di atas kursi dapur. Tenggorokannya yang sebelumnya terasa kering langsung terasa segar akibat air yang masuk. Ia sedikit mengulas senyum karena berhasil membohongi Fatih perihal kepergiannya dari pelaminan.

Aluna bukan ingin ke toilet. Ia hanya lelah berhadapan dengan banyak orang setelah hampir beberapa tahun terakhir hanya bertemu dengan para pelayan saja. Orang-orang yang banyak dan terasa asing untuknya hanya membuat kepalanya pening dan perasaannya menjadi tidak nyaman.

"Sedang menyambut tamunya, Nona." Senyuman yang hadir di wajah pelayan itu sangat kentara sebagai senyuman yang dipaksakan. Wajah lelahnya tidak mampu tersingkirkan. Bahkan bila Aluna bisa mengatakan, ia tidak membutuhkan senyuman palsu itu.

Kalau memang lelah, perlihatkan saja. Tidak perlu berbohong dengan pura-pura baik-baik saja sebagai bentuk sopan santun. Karena berbohong bukan perilaku sopan maupun santun.

"Kalau ... Mama?"

"Sedang beristirahat di kamarnya. Nyonya bilang, beliau kelelahan dan tidak ingin diganggu."

Jawaban si pelayan itu membuat Aluna tertawa. Ia tidak peduli pada tatapan heran pelayan tersebut padanya karena menurutnya, jawaban yang pelayan itu berikan sangat lucu saking tidak masuk akalnya.

"Dia yang menyuruh saya menikah tapi pergi meninggalkan pernikahan lebih dulu." Aluna berbicara dengan sarkasnya. Tidak hanya sampai situ, Aluna berujar lagi, "lebih baik tidak perlu diadakan sekalian, kan?"

Pelayan itu tidak menjawab. Ia hanya menunduk seakan menghindari pertanyaan Aluna. Tindakannya itu sudah mampu Aluna duga karena semua pelayan di rumah ini sama; dilarang ikut campur urusan keluarga Aluna kecuali telah diberikan izin.

"Apa Bibi juga sibuk?"

Semua pelayan pun tahu bila Aluna menyebut Bibi, hanya satu orang yang dituju. Yaitu Bi Nah. Tiga orang yang penting dalam rumah tidak terlihat olehnya hari ini; papanya, mamanya dan Bi Nah. Oleh sebab itu rasanya tetap aneh. Apalagi Bi Nah yang memang setiap hari selalu ada di sebelah Aluna. Setelah membantu Aluna bersiap-siap tadi pagi, Bi Nah langsung menghilang tanpa mampu Aluna lihat keberadaannya.

"Iya, Nona. Beliau bahkan belum sempat tidur sejak kemarin."

Aluna mengambil napasnya lalu menghembusnya pelan-pelan. Ia meletakkan gelas yang sebelumnya berada di genggamannya ke atas meja di depannya dengan kasar hingga menimbulkan bunyi yang keras dan cukup mengejutkan untuk si pelayan. Aluna turun dari kursinya kemudian menghampiri pelayan tersebut sambil tersenyum. "Terima kasih atas jawabannya."

Pelayan itu cukup sadar diri untuk mengerti usiran halus yang Aluna ucapkan dibalik perkataannya barusan. Ia lantas undur diri untuk kembali melaksanakan pekerjaannya.

Aluna melipat kedua tangannya di depan dada sambil mengalihkan wajahnya menuju kamar orang tuanya yang memang berada di lantai satu. Ada dua topik yang menurut Aluna harus dibicarakan dengan mamanya; perihal mamanya yang lebih dulu meninggalkan acara dan juga perihal mamanya yang memerintahkan pernikahan dalam jangka waktu dekat hingga tidak memberikan waktu untuk para pelayan beristirahat. Aluna tidak ingin ada kasus kematian di rumahnya disebabkan karena pelayan yang kelelahan bekerja.

Untuk itu — tanpa berniat kembali ke acara pernikahan, Aluna berjalan menuju kamar orang tuanya tempat dimana mamanya berada sekarang. Seperti kebiasaannya, Aluna mengetik pintu lebih dulu. Meskipun terkesan buru-buru dan gegabah karena Aluna mengetik tiga kali berturut-turut, namun tetap saja ia tidak mendapatkan jawaban.

"Mama?" panggil Aluna yang sebenarnya sangat enggan untuk memanggil seperti itu.

Aluna merasa, dirinya tumbuh tanpa kedua orang tuanya termasuk mamanya. Ia merasa pelayan di rumahnya lebih tahu mengenai dirinya dibandingkan mamanya yang sibuk bekerja. Ia juga merasa bahwa semua yang dilakukan mamanya hanya demi kepuasan semata tanpa memikirkan orang lain yang harus turut campur tangan atas apa yang ingin dilakukannya.

Mungkin sekitar panggilan keenam, Aluna akhirnya meraih knop pintu kamar orang tuanya. Ia cukup terkejut karena pintu tersebut ternyata tidak terkunci.

"Mama," panggil Aluna sekali lagi sambil mendorong pintu ke dalam hingga memberikan ruang untuk dirinya melangkah masuk.

Selain terkejut karena pintu yang tidak dikunci padahal biasanya bila ada orang tuanya di dalam kamar tidak pernah sekalipun pintunya tidak dikunci, Aluna juga dibuat terkejut oleh kondisi kamar orang tuanya yang gelap gulitanya. Jendela dan gorden yang tertutup rapat-rapat serta lampu yang dimatikan seolah tidak membiarkan kesempatan untuk cahaya memasuki kamar tersebut.

Langkah Aluna semakin lama semakin banyak untuk memasuki kamar mamanya. Kedua matanya terus menelusuri dan berusaha memperjelas penglihatannya untuk melihat seisi kamar.

Tiba-tiba, Aluna berhenti melangkah. Bibirnya yang sebelumnya memanggil namanya lantas terbungkam dan sulit digunakan. Kakinya yang sebelumnya sudah terasa lelah hingga sakit kini justru benar-benar tidak mampu menopang tubuhnya lagi hingga Aluna terjatuh ke lantai. Lalu entah mengapa, air mata Aluna perlahan ikut turun membasahi pipinya. Tangannya yang gemetar meraih kedua telinganya kemudian menutupnya sekuat tenaga.

"Aaaaarrrgh!!!!"

***

If you read this and like it, let me know you've been a part of this story by voting it.

© 2019
Revisi 2021

I'M ALONEWhere stories live. Discover now