"Makasih banyak dan maaf." Fatih menjawab lebih dulu. "Bila ada sesuatu yang dibutuhkan, jangan segan-segan untuk menghubungi saya."

"Kami sudah memutuskan untuk memaafkan. Terima kasih juga untuk tanggung jawab yang melebihi batas seharusnya," jawab Zivan dengan senyum di bibirnya.

Selepas itu, Rafi ikut menimpali, "seharusnya lo bilang, Aluna. Kalau tau lo udah punya calon suami mah kita juga enggak akan ganggu lo."

Entah mengapa, suasana seolah kembali menegang. Ucapan Rafi membuat ketiganya baik Zav, Zivan maupun Fatih membungkam mulutnya seolah paham bahwa Rafi sedang menyuarakan isi hatinya akibat kejadian sebelumnya.

"Maaf."

Bukan hanya Rafi saja yang terkejut. Tetapi Zav, Zivan, dan Fatih yang mendengar satu kata yang jarang Aluna ucapkan itu juga ikut tidak menyangka atas apa yang mereka dengar.

"Maaf, Rafi, Zav, dan Zivan," ulang Aluna dengan lebih jelas.

Suasana yang sebelumnya menegang menjadi cair. Rafi, Zav dan Zivan sama-sama mengulum senyum. Entah mengapa, rasa lega tiba-tiba menyeruak di hati mereka seolah tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi.

"Iya, Aluna. Semoga bahagia," sahut Zav mewakili kedua temannya. Ia kemudian melanjutkan, "kami pamit."

Tidak ingin menahan mereka lebih lama lagi, apalagi setelah ketiganya sepertinya harus melewati banyak perdebatan dalam hatinya untuk sampai ke sini, Fatih segera menjawab, "iya, hati-hati."

Fatih menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sejenak saat belum ada yang kembali mengucapkan selamat. Sepertinya rasa lelah bukan hanya datang pada Aluna yang sejak tadi merasakan pegal di kedua kakinya yang lama berdiri padahal biasanya ia lebih sering berada di kasur seharian, namun Fatih pun terlihat kelelahan.

"Mau kemana?"

Pertanyaan Fatih itu terdengar ketika Aluna bangkit dari duduknya. Lelaki yang kini telah resmi sebagai suami Aluna itu bertanya sambil menggenggam tangan Aluna.

"Ke toilet," jawab Aluna seadanya.

"Mau diantar?"

Begitu mendengar pertanyaan Fatih yang kedua, Aluna menepis tangan Fatih. Tatapannya yang tertuju untuk Fatih masih sama; tajam seolah menusuk bola matanya. "Tidak perlu."

"Tidak apa-apa. Ayo, saya antar." Fatih hendak ikut bangkit dari duduknya.

"Jangan kurang ajar," kata Aluna dengan ketus.

Mendengar itu, Fatih kembali duduk. Hanya saja dengan kekehan kecil di mulutnya. Ia lalu berucap, "kalaupun saya macam-macam sama kamu, itu dianggap wajar, Luna. Saya sudah resmi menjadi suami kamu."

Aluna tidak menjawab. Menurutnya, tidak ada yang lucu hingga patut ditertawakan. Kedua matanya justru semakin terlihat berkilat marah hingga Fatih kembali berbicara, "baiklah. Hati-hati. Saya di sini. Bila ada yang kamu butuhkan, bilang saja."

Selepas mengucapkan hal itu, Fatih berdiri lagi dan menghampiri beberapa orang yang sepertinya ia kenal untuk menyambut ucapan selamat mereka. Aluna memilih beranjak meskipun tanpa mengucapkan pamit, permisi ataupun sapaan untuk undangan yang hadir itu. Fatih pun mencoba memahami, ia hanya mengatakan bahwa gadis yang telah resmi sebagai istrinya itu hendak ke toilet.

"Ada yang Nona butuhkan?"

Setibanya Aluna di dapur untuk menuju toilet dia sebelah ruangan itu, ia menemukan seorang perempuan yang memakai baju khas pelayan di rumahnya. Bila dilihat-lihat, umurnya sepertinya cukup muda namun lebih tua daripada Aluna. Mungkin setara dengan Fatih, duganya saat itu.

I'M ALONEWhere stories live. Discover now