"Astagfirullah..." Lagi-lagi Meteor mengucap.

"Sekarang aja lo bilang Astagfirullah. Nanti, Masya Allah cantiknya," ejek Angkasa sambil terkekeh pelan. Kontan saja Meteor langsung membelalak.

Mungkin untuk hari ini. Tidak untuk besok, lusa, bahkan minggu depan. Semua bisa berubah tanpa kita tau apa alasannya. Jadi, berhati-hatilah.

Karena apa yang terjadi itu pasti timbulnya dari diri sendiri. Baik keinginan yang tidak terlaksana ataupun penolakan secara tidak sengaja, semua itulah pemicunya.

"Keputusan yang dapat di simpulkan. Gue boleh bawa Bintang, kan?"

"Sekali nggak. Yang kedua atau yang ketiga tetep nggak!"

Mendengus karena tak mendapatkan bala bantuan, Meteor berpikir ulang. Apa perlu ia berguru lagi dengan Orochimaru untuk mendapatkan jutsu menghilang agar nyokapnya letih mencari. Namun jika ditelaah dari situasi berguru dengan Limbad lebih menjamin.

Ah, entahlah. Lama-lama berpikir daya otaknya bisa habis nanti. Tapi sebelum benar-benar ditutup sempat ia bertanya kepada Angkasa.

"Brader, Apa gue ajak Nebula aja, ya?"

***

Angkasa baru saja keluar dari ruangan Guru. Bertepatan ingin melangkah, pintu yang bertulisan ruangan Direktur di depannya juga ikut terbuka. Menampakkan sosok Bumi dengan muka tengilnya barusan keluar.

Menyerngit keheranan. Lantaran memang jarang sekali ada siswa yang dipanggil di sana jika bukan mengenai hal penting. Namun ketika melihat Bumi, sekilas saja Angkasa bisa menebak mengapa cowok itu bisa berakhir di ruangan tersebut. Apalagi kalau bukan permasalahannya.

Tak ingin terlalu memikirkan, Angkasa lanjut berjalan. Sedikit heran juga, sudah kelas tiga tapi tetap saja Bumi tidak berubah. Terhitung sudah lima langkah, kaki Angkasa mendadak berhenti.

"Jauhi Bintang!"

Angkasa berbalik badan, alisnya bertautan. Bukan hanya nama yang disebutkan tapi kalimatnya juga menjadikan Angkasa keheranan.

"Itu pernyataan?"

"Bukan. Itu perintah. Jadi, sebaiknya lo jauhi Bintang!"

Angkasa terkekeh pelan. Apa katanya? Jauhi Bintang. Yang benar saja. Tidakkah posisi mereka sedang terbalik saat ini.

"Seharusnya itu kalimat gue. Lo yang jauhi Bintang!" terang Angkasa. Bagaimana tidak. Lihat dampak yang Bumi berikan untuk Bintang, sampai-sampai mereka bolos sekolah kemarin. Jelas siapa yang seharusnya dijauhi.

"Lagipula, emang lo siapanya Bintang sampe berani nyuruh gue buat jauhi dia," sambung Angkasa yang mendapatkan senyum remeh Bumi di sana.

Masih mempertahankan senyum remehnya, Bumi maju beberapa langkah. "Mungkin sekarang lo bisa berdiri tegak atas ucapan lo itu, Angkasa. Nggak tau nanti."

"Apa maksud lo?"

"Kalimat gue akan tetap sama. Jauhi Bintang sebelum dia terluka."

Menyerngit tidak paham. Apapun alasannya, tetap Angkasa tidak bisa terima. "Atas dasar apa lo bisa bilang Bintang terluka? Selama ada gue. Gue bisa jamin hal itu nggak akan pernah terjadi."

Tapi semua itu udah lo lakukan tanpa lo sadari, brengsek!

"Tadinya gue juga berharap begitu." Bumi tersenyum sebelum tatapannya berubah tajam memandangi Angkasa. "Tapi kemungkinan terbesar seseorang terluka itu ada di orang terdekatnya."

"Jangan membaca kalau belum bisa mengeja. Hanya karena melihat situasi bukan berarti paham akan kondisi. Lo tau Bintang, belum tentu dengan orang terdekatnya. Jangan menilai hanya sekali pandang."

SEMESTAWhere stories live. Discover now