SEMESTA 6

43.2K 4.3K 413
                                    

Semesta itu indah bahkan telah lama mempesona manusia, tapi apakah ada yang tau bahwa semesta juga menyimpan rahasia. Begitu juga dengan tata surya yang berputar sesuai dengan rotasinya. Sama hal dengan Bintang, hadir dalam ketidaksempurnaan.

Setelah tiga hari tidak masuk sekolah, Bintang merasa langkahnya seakan berat untuk sampai ke kelas yang berada di lantai dua. Bukan karena tatapan siswa, tapi ini lebih kepada dirinya yang lagi-lagi absen karena alasan yang sama.

Bintang bersyukur karena tak banyak orang yang mengetahui tentang penyakitnya. Merasa dikasihani benar-benar membuat Bintang seperti ditelanjangi. Ia membenci tatapan seperti itu, walaupun tak dipungkiri kenyataan membenarkan semuanya.

Sambil terus berjalan sesekali menghembuskan napas dalam, Bintang merasakan ada seseorang yang mengiringinya dari samping kanan. Dengan rasa tak nyaman karena terus diikuti lantas membuat Bintang menolehkan kepala untuk memastikan.

"Pagi..."

Sapaan pertama setelah ia tiba di sekolah. Bahkan senyum hangat juga mengiringi langkah berat yang semula ia pijak.

"Pa-pagi juga, kak." Sahut Bintang terbata. Entah mengapa berdekatan dengan Angkasa seperti ini membuat ia jadi gelagapan sendiri. Apalagi jika mengingat insiden di rumah sakit kemarin yang masih menyisakan ritme aneh di dadanya.

"Gimana, udah baikan?"

Tersenyum seadanya Bintang hanya bisa menjawab. "Udah mendingan."

Jika ditanya sudah baikan, tentu saja jawabannya tidak. Dengan kondisi yang menyedihkan dan rasa sesal yang masih bergentayangan, bagaimana bisa ia dikatakan baik. Lucu sekali.

"Kondisi cuaca hari ini cerah berawan, kisaran suhu 24-34 derajat Celcius dan tingkat kelembaban udara 45-95 persen. Jadi hari ini nggak akan turun hujan." Jelas Angkasa hingga membuat Bintang menghentikan langkahnya.

Sesaat Bintang terdiam. Angkasa barusan menjelaskan pedoman hidup yang selama ini menemaninya, itu berarti laki-laki yang berada disampingnya ini sudah tau penyakit yang ia derita. Dan besar kemungkinan rasa kekhawatiran Bintang bertambah untuk satu orang selain Bunda dan Nebula.

Bukankah tadi Bintang sudah berkata bahwa ia tak suka dengan rasa kasihan yang orang lain tunjukkan dan secara tak langsung Angkasa sudah melakukan hal itu.

"Seberapa banyak Kak Angkasa tau penyakit gue?" Bintang bertanya sembari menatap Angkasa, bahkan raut wajah gadis itu berubah datar dalam seketika. Jujur, Bintang tak suka menjadi beban orang lain karena tau kelemahannya.

"Sebanyak yang ada di pikiran lo." Angkasa membalas tatapan Bintang. Ia tidak bodoh untuk tak menyadari perubahan wajah gadis itu.

Bintang tersenyum miring. Sebanyak yang ada dipikirannya, tentu saja semua. Apa laki-laki ini tidak tau bahwa dia telah menyinggung sesuatu yang tak seharusnya.

Dengan gerakan pelan Bintang mundur satu langkah ke belakang. Sembari memandang ke bawah, lebih tepat ke arah garis keramik ia berkata. "Ada batas yang seharusnya tidak boleh dilewati. Banyak yang menentang karena unsur penasaran, tapi apakah ada yang tau bahwa itu sangat mengganggu. Jadi..." Bintang maju satu langkah, kembali ke posisi semula. "Jangan melewati batas dan berlagak seolah-olah kakak tau semuanya." Kemudian ia melanjutkan langkahnya meninggalkan Angkasa.

Iya Angkasa sadar bahwa ia tak seharusnya melewati batas. Pertemuan beberapa hari yang lalu juga tak begitu berpengaruh. Angkasa tidak menyalahkan Bintang karena berkata seperti itu. Anehnya, ia malah tidak tersinggung ataupun terganggu.

Dan yang ada di pikiran Angkasa saat ini adalah, jika batas itu tak boleh ia lewat jangan salahkan suatu saat akan ia dobrak. Bukan menentang, Angkasa hanya penasaran seberapa berpengaruhnya batas yang didedikasi Bintang tadi.

SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang