SEMESTA 4

51.8K 5.4K 179
                                    

Ruangan bernuansa putih itu begitu temaram, kesunyian yang membentang dan keheningan yang berselimut di setiap sudut. Hanya terpaan angin yang masuk menjadi pelebur di sela-sela jendela, bersamaan dengan campuran cairan infus yang menetes secara teratur.

Retina Bintang masih fokus menatap langit yang begitu cerah, awan bergantungan seakan mempercantik alam semesta. Begitu juga burung-burung yang tak mau kalah, menari di atas sana seolah memperlihatkan keindahan mereka.

Senyum Bintang mengembang bersamaan dengan hembusan napas dalam yang keluar dari mulutnya. Lagi-lagi setelah membuka mata, ia harus berada di tempat ini. Tempat yang tidak ia sukai walaupun sudah seringkali ke sini.

Masih tertanam di indera penciuman Bintang. Bau obat yang menyeruak, jarum infus yang menancap di tangan kiri dan suasana rumah sakit yang kembali menemani. Lantas jika sudah seperti ini, Bintang bisa apa? Yang jelas ia hanya bisa pasrah.

Lelah? Jangan ditanya lagi. Setiap tak sadarkan diri ia harus siap dirujuk kembali. Semua ini tentu bukan kemauannya tapi keadaanlah yang memaksanya harus seperti ini. Jika ada yang berbaik hati mau mengabulkan permintaan Bintang, hanya satu keinginannya. Ia tak ingin membuat Bunda cemas atas penyakitnya ini. Sederhana bukan?

Bunyi gesekan pintu membuat Bintang menoleh, ternyata Bunda dengan menjinjing kantong kresek di tangannya.

"Lagi ngapain, Sayang?" Bunda berjalan ke arah meja samping brankar kemudian meletakan kantong kresek yang berisi buah apel kesukaan Bintang.

Senyum sumringah Bintang terbit ketika melihat buah kesukaannya. "Mau itu," tunjuk Bintang tanpa menjawab pertanyaan Bunda.

Bunda hanya terkekeh melihat aksi putrinya, ia bersyukur melihat kondisi Bintang yang sudah mulai membaik. Walaupun tak dipungkiri masih ada segumpal kekhawatir yang Bunda rasakan. Mengingat jiwa Bintang yang rentan dan harus benar-benar di dalam pengawasan membuat Bunda harus lebih berhati-hati untuk menjaga Bintang nanti.

Dengan cekatan Bunda mengupas kulit apel tersebut. Mata Bintang tak lepas dari gerak-gerik Bunda, ia tersenyum dan berterimakasih kepada Tuhan karena telah menciptakan bidadari tanpa sayap seperti Bundanya. Kini hanya Bunda yang ia punya setelah satu setengah tahun kepergian Ayahnya.

"Bunda, hari ini kita pulang ya? Aku udah sehat nih," rayu Bintang untuk memujuk Bunda agar permintaannya diiyakan.

Bunda yang tengah memotong apel langsung memandangi Bintang. "Keadaan kamu belum sepenuhnya pulih, Sayang. Besok kita baru pulang," jawab Bunda, kemudian ia menaruh apel itu ke dalam piring yang sudah disiapkan sebelumnya.

"Tapi Bunda, aku beneran udah sehat. Nih aku udah baikan, kan?" kata Bintang menggoyang-goyangkan badannya. Berharap Bunda menimang kembali ucapannya tadi.

"Bintang!"

Saat itu juga Bintang bungkam. Kata Bunda termasuk hak paten yang tak bisa diganggu gugat bahkan tak bisa ditawar seperti membeli barang di pasar. Meskipun Bintang tau, Bunda seperti itu karena untuk kebaikan dirinya. Tapi tetap saja ia merasa tak nyaman berlama-lama di tempat ini.

Dengan perasaan kesal Bintang mengambil satu potongan apel yang disodorkan Bunda.

"Bunda nggak mau kejadian kemarin terulang lagi. Bunda benar-benar panik lihat keadaan kamu, Bintang. Untung saja ada Angkasa, kalau nggak, Bunda nggak tau lagi gimana keadaan kamu." Papar Bunda yang masih jelas diingatannya bagaimana keadaan Bintang yang menggenaskan.

Seketika Bintang tersedak, potongan apel yang berada di dalam mulutnya seperti ingin keluar kembali. Dengan cepat Bunda menepuk-nepuk pelan punggung Bintang dan mengambil air untuk meredakan tenggorokan putrinya agar tidak perih.

SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang