SEMESTA 62

12.8K 1.3K 62
                                    

Sebut saja Bintang yang terlalu baik. Pasalnya, setelah ajang curhat yang melibatkan perasaan. Hal selanjutnya yang bahkan tanpa dosa Bumi lakukan adalah meninggalkan Bintang, dengan sapu sihir yang kini sudah beralih kepemilikan.

Alasannya. "Gue mau ke toilet bentar. Pegangin dulu sapu gue."

"Kak Bumi nggak bakalan kabur, kan?" Curiga Bintang sambil memicing tajam.

"Tenang aja. Gue nggak bakalan kabur. Asal lo tau, gue ini kakak kelas yang bertanggung jawab," ucap Bumi bangga.

Ck! Kakak kelas bertanggung jawab? Kepala onta meledak! Lihat saja. Bahkan setelah lima belas menit terlewatkan. Batang hidung Bumi belum juga kelihatan.

Sialan memang. Dan lebih-lebih sial lagi. Mengapa juga Bintang dengan mudahnya percaya. Astaga...

Lama-lama menunggu, Bintang mulai bosan. Juga, daun-daun baru yang berguguran seperti kasihan melihat kemalangan Bintang. Kasihan.

Sambil menghembuskan napas kasar, mata Bintang tertuju pada sapu yang masih setia digenggaman. Iya. Tak lain, tak bukan. Dirinya dikerjai lagi.

"KAK BUMI..." Murka Bintang tampak geram.

"Ini nih, filosofi yang pas. Dikasih hati minta jantung. Sekalian aja usus dua belas jari!" Lagi, Bintang mendumel tak jelas.

Namun, alih-alih mendapatkan jawaban. Justru yang Bintang dengar hanya desauan angin yang menerbangkan rambutnya.

Beruntunglah dedikat baik melekat diri Bintang. Jadi walaupun dengan ocehan sebagai selingan, tetap saja Bintang yang menyelesaikan sisa-sisa tugas Bumi.

Tumpukan daun yang sudah dikumpulkan sebelumnya, Bintang masukkan ke dalam plastik sampah.

Lalu kurang apalagi? Ah, iya... kurang ajar saja yang belum Bintang lakukan terhadap Bumi.

Dan tolong ingatkan Bintang untuk meminta ganti rugi atas keringatnya yang sedari tadi bercucuran. Ia kelelahan. Butuh minuman. Cuaca juga sedang terik-teriknya.

"Hah! Yang dihukum siapa, yang menyelesaikannya siapa." Seakan belum puas, Bintang merutuk lagi. Masih dengan gerakan membereskan tumpukan daun terakhir.

Jika bukan karena ia mendapatkan pembelajaran berharga lewat cerita Bumi tadi, tak mungkin juga Bintang mau melakukan hal ini.

Sedikit banyak ia berterima kasih juga.

Berjalan pelan, Bintang mendudukan dirinya di kursi. Meredamkan sedikit keringat sambil memejamkan mata.

Sesaat keadaan sunyi membuat Bintang tenang. Kembali ia membayangkan cerita Bumi yang membuatnya memakan mentah-mentah makna waktu berharga walalupun yang tersisa tidak lama.

Terlebih dengan kalimatnya yang ini.

"Jangan terlalu berharap dengan keadaan Bintang. Lo nggak akan tau hal ke depan yang akan datang. Keadaan itu buta. Bisa aja semenit lagi lo diledakin. Dan... boommm. Hancur!" kata Bumi tadi. Dengan tangannya ia memperagakan sebuah ledakan.

Bintang hanya bisa tersenyum sekilas mendengarnya.

Tidak salah. Baik keadaan maupun waktu yang berjalan, semua sama. Tidak memihak kepada siapa. Tidak memiliki tuan yang menuntun arah.

Lalu, kalimat yang keluar dari mulut Bintang bisakah disebut sanggahan?

"Bukan berharap Kak Bumi. Gue hanya cari waktu yang pas supaya keadaan nggak memperkeruh suasana."

"Klasik! Itu sama aja lo bunuh diri. Tunggu aja teros sampai kata menyesal say hay ke lo. Gue sih tinggal ketawa. HAHAHA..."

"Sebegitu parahnya?"

SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang