SEMESTA 1

180K 9.8K 1K
                                    


"Sirius, Canopus, Arcterus, Vega, Capella, Rigel, Procyon, Achernar, Betelgeuse." Helaan napas terdengar. "Alpha centauri kok nggak ada ya?"

Kiri, kanan, atas, bawah, gadis itu tak henti mengedarkan teleskopnya. Ia begitu bersemangat mengabsen benda di angkasa sana. Benda kecil dengan hiasan kerlap-kerlip yang mampu membentang taburan cahaya, hingga mengeksplorasi setiap sudut dengan pancarannya. Jauh dari jangkauan tapi keindahannya dapat dirasakan, itulah yang tertanam di benak Bintang.

Tapi nampaknya semesta tak mendukung kegiatan gadis itu. Awan gelap mengepul sepertinya dengan sengaja menyedot semua cahaya. Namun alih-alih bersiap memasuki rumah, Bintang malah tak bergeming dari tempatnya. Bahkan ia masih berkutat dengan benda kesayangannya itu untuk mencari rasi bintang yang sedari tadi belum ketemu. Terhitung sudah lebih tiga kali ia mengganti lensa teleskop agar benda kecil itu dapat terlihat.

Berkelana dengan hobi tentu saja membuat Bintang tak ingat waktu, dan kesadarannya pun hampir terhisap habis oleh aktifitas yang dilakukan. Lantas sayup-sayup pendengarannya kini terlintas pada suara merdu yang mampu menghipnotis, sehingga dapat menghentikan aksinya.

"Bintang, masuk sayang." Suara merdu itu berasal dari wanita paruh baya yang berjalan mendekatinya. Wanita itu tersenyum ketika melihat putrinya yang masih berada di teras atas, tempat favoritnya seperti biasa.

Bunda. Ia datang bukan tanpa sengaja, itu merupakan bentuk teguran agar Bintang lebih kondusif memperhatikan keadaan sekitar. Benarkan... Bintang baru tersadar ternyata cuaca sedang tak bersahabat. Pantas saja udara malam ini cukup dingin, awan-awan yang menggantungan pun semakin menggelap seperti sedang mengejeknya agar ia kembali bersembunyi. Helaan napas terdengar sungguh semesta tak berpihak kepadanya saat ini.

"Iya Bunda," jawab Bintang tak bersemangat.

Setelah membereskan semua peralatan tersebut, Bintang masuk mengikuti Bundanya dari belakang. Langkahnya terhenti tepat berada di daun bibir pintu. Ia berbalik, melemparkan pandangan ke arah atas. Tak ada yang berubah, masih sama. Ketakutan dan kecemasan masih menghantuinya bahkan kekhawatiran Bunda.

"Kenapa?" tanya Bunda memegangi pundak Bintang. Bagaimanapun, sedikit-banyak ia tau apa yang ada dipikiran putrinya itu.

Bintang menggelengkan kepala, menampakan senyum khasnya. "Nggak papa. Ayo masuk Bunda."

***

Ketika fajar menjemput sang surya dari situlah Bintang merasa terselamatkan dari riuhnya air yang jatuh ke bumi tadi malam. Kegelisahan dan hiruk-piruk kecemasan masih tersisa walaupun rinai itu sudah reda.

Matahari mulai memamerkan cahayanya, tampak dari langit biru cerah yang kembali menyinari semesta. Begitu juga dengan udara segar yang bercampur sisa tetesan hujan bekas tadi malam masuk di sela-sela indera penciuman Bintang.

"Gimana keadaan kamu, Sayang?" tanya Bunda dari balik kemudi. Matanya masih fokus mengarah ke depan memandangi jalanan.

Bintang yang tengah hanyut melihat puluhan kendaraan dari kaca jendela mobil, memalingkan pandangannya ke arah Bunda. Merasa sudah hafal dengan pertanyaan Bunda, Bintang kembali menampakan senyum ceria. Ia tak ingin membuat sang Bunda cemas.

"Nggak apa-apa, Bunda. Kan Bintang udah biasa ngalaminnya."

Meskipun Bintang menampakkan senyumnya, tetap saja tak mengubris bahwa sang Bunda mengkhawatirkan putrinya. Mengingat kejadian itu dan munculnya penyakit Bintang membuat hatinya teriris, bahkan ia mengutuk dirinya karena telah gagal menjadi rumah tempat berlindung bagi anak-anaknya.

"Maafkan Bunda. Bunda telah gagal menjadi tempat berlindung kalian," lirihnya memegangi tangan Bintang.

Jujur... Mendengar penuturan seperti itu membuat dada Bintang terasa nyeri, Bunda selalu saja menyalahkan dirinya. Padahal sering kali Bintang mengatakan bahwa ini bukan salah Bunda tapi tetap saja tak mempengaruhi pola pikir wanita baruh baya itu.

SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang