"Baik, Nona Aluna." Mang Udin mengiyakan sambil mengangguk patuh. Ia membiarkan Aluna memasuki halaman rumah temannya yang dibukakan oleh satpam. Setelah mengangguk juga pada satpam yang bertugas di sana sebagai sapaan salam kenal, Mang Udin kembali menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Valice.

"Diantar sopir pribadi, Aluna?" Valice yang sudah menunggu di depan rumah, bertanya. Aluna hanya mengangguk sebagai jawaban tanpa berniat membuka mulutnya. Ia mengikuti langkah Valice memasuki rumahnya untuk segera bertemu teman-temannya yang lain yang sudah datang lebih dulu.

"Wah, Tuan Putri sudah datang. Janjian jam sembilan tapi datang jam setengah sepuluh. Betapa hebatnya dia." Gadis yang Aluna kenal bernama Lala itu menyindir.

Aluna mengernyitkan dahinya. "Bukannya janjinya jam sepuluh?"

"Gue udah bilang ke lo kan, La. Kita jangan ganti jam kerja kelompoknya karena Aluna enggak bakal tahu. Dia jarang buka handphone." Raya menyahuti. Tangannya menarik Aluna untuk segera duduk di sebelahnya.

"Lagipula Aluna emang hebat. Buktinya kita enggak bisa apa-apa tanpa dia, kan? Sedikitpun belum kita kerjain tugasnya karena cuma Aluna yang paham." Kali ini, ucapan Valice tidak kalah pedasnya untuk Lala.

Lala mendengus kesal. Ia yang sejak awal sudah tidak menyukai Aluna menjadi lebih jengkel karena harus mengakui bahwa ucapan Valice ada benarnya. Mereka tidak bisa apa-apa bila tanpa Aluna.

Merekapun tenggelam dalam tugas mereka. Lebih tepatnya, Aluna. Karena ketiga temannya yang lain lebih banyak memperhatikan bagaimana Aluna menyelesaikan tugasnya dibandingkan membantu mengerjakan. Hanya sesekali mereka membantu dan itupun tidak lepas dari bimbingan Aluna. Aluna tidak keberatan pada hal itu karena dia pun sebenarnya tidak begitu suka bila pekerjaan yang dirinya kerjakan diganggu oleh orang lain.

"Kalian haus enggak? Gue ambilin minum bentar, ya." Valice menawarkan. Ia lalu bangkit dari duduknya untuk menuju dapur, meninggalkan teman-temannya sebentar di ruang tamu.

Raya dan Lala lantas mengangguk. Aluna yang saat itu sedang mengetik di laptop menyempatkan diri untuk merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa pegal sebelum akhirnya kembali mengerjakan tugas.

"Woy, Lice!"

Sebuah pukulan telak didapatkan oleh lelaki yang mengagetkan Valice itu. Ringisan kemudian terdengar hingga membuat Valice justru tertawa. "Kak Raihan ngapain sih? Kena pukul, kan. Suruh siapa ngagetin."

Raihan memanyunkan bibirnya. Ia mengikuti langkah adiknya yang menuju dapur untuk membuat empat gelas minuman dan menyiapkan beberapa cemilan.

"Itu di depan temen-temen lo, Life?" tanya kakaknya Valice yang bernama Raihan itu.

Valice memberikan anggukan kepala untuk Raihan. "Iya, kenapa? Lo kan udah kenal. Itu si Raya yang biasanya main ke sini. Terus di sebelah kirinya itu Lala. Yang rambutnya diikat satu di sebelah kanan Raya, itu namanya Aluna. Sempet pernah kemari juga sebelumnya kok cuma lo enggak ada di rumah."

"Oh, jadi namanya Aluna," gumam Raihan yang masih dapat terdengar di telinga Valice.

"Lo suka sama Aluna?" Nampan berisi minuman dan beberapa cemilan yang sebelumnya telah berada di genggaman Valice kembali diletakkan di atas meja dapur. Ia menatap kakaknya dengan penuh selidik.

Raihan menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. Ia kemudian berujar, "bukan suka. Cuma ... tertarik."

Decakan pelan keluar dari mulut Valice. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Telat lo, Kak. Dia udah punya calon suami. Lagian kalaupun Aluna belum punya calon suami, gue enggak bakal izinin lo jadian sama dia."

I'M ALONEWhere stories live. Discover now