Bi Nah menghembuskan napas berat. Ternyata untuk soal makan, Aluna masih sulit untuk melakukannya. Namun untuk memaksanya pun Bi Nah tidak bisa. Ia khawatir perasaan Aluna yang sudah membaik akhir-akhir ini akan memburuk karena bujukannya. Oleh sebab itu, ia hanya membawa piring dan gelas itu menuju dapur. Selanjutnya ia keluar dari rumah untuk menemui Mang Udin selaku sopir pribadi Aluna.

Di sisi lain, Aluna mengikat rambutnya yang sebenarnya jarang sekali ia ikat. Ia sempat mematut diri di depan cermin lebih dulu. Memastikan bahwa luka-luka di tangannya tidak terlihat dan tertutup oleh baju lengan panjang yang dipakainya. Ia lantas mengambil tas selempang miliknya lalu berjalan keluar dari kamar menuju halaman rumahnya untuk menemui Mang Udin.

"Nona mau diantar ke mana?" tanya Mang Udin selepas dirinya dan Aluna sudah berada di dalam mobil.

Aluna yang tengah mengeluarkan beberapa alat tulis miliknya menoleh sebentar pada Mang Udin. Ia lalu menjawab, "ke rumah Valice. Mang Udin masih ingat, kan? Sebulan yang lalu saya pernah meminta untuk diantar ke sana juga."

"Baik, Nona." Mang Udin mulai menjalankan mobilnya dengan hati-hati. Memang begitulah resiko dirinya sebagai supir Aluna. Semua tempat dimana dirinya pernah mengantar dan menjemput Aluna harus diingat baik-baik. Untuk saja bukan hanya setahun atau dua tahun Mang Udin bekerja. Mungkin sekitar Aluna berumur tujuh tahun, Mang Udin sudah direkrut menjadi sopir pribadi Aluna yang tugasnya mengantar kemanapun Aluna hendak pergi. Ia juga wajib memberikan laporan itu kepada orang tua Aluna tanpa terkecuali dan masih berlaku hingga hari ini.

Aluna mulai menggoreskan pensilnya di atas sketchbook miliknya. Sebagaimana cita-cita yang Aluna miliki, ia seringkali menggambar berbagai macam desain baju di waktu luangnya. Untuk saat ini, tidak ada niat lain selain mengisi waktu luang. Namun sepertinya untuk di masa depan, ia akan mempergunakan kemampuannya ini dengan lebih baik.

Hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui hobi Aluna yang satu ini. Seperti Mang Udin contohnya yang setiap mengantar Aluna selalu melihat anak dari majikannya itu menggambar. Oleh sebab itu, menyetir dengan hati-hati juga adalah kewajiban Mang Udin agar tidak mengganggu ketenangan Aluna yang tengah melukis di belakang.

Hanya Alana —kakaknya Aluna— yang diberitahukan oleh Aluna mengenai cita-citanya. Dapat tergambar jelas seberapa berartinya Alana untuk Aluna.

"Harus saya jemput jam berapa, Nona?" Mang Udin bertanya sesampainya ia di depan rumah Valice.

Aluna mengemas barang-barang miliknya ke dalam tas. Ia lalu memakainya dan menyahut, "tunggu saya yang kabari nanti. Mang Udin bisa istirahat di rumah dulu."

Sebenarnya, bila ada orang yang harus mengakui bagaimana sifat Aluna, Mang Udin merasa ialah orangnya. Dibandingkan orang-orang yang mengenal Aluna sebagai orang yang cuek dan apatis terhadap sekitar, bagi Mang Udin Aluna justru nampak lain.

Selain dikenal sebagai anak yang berbakat, Aluna juga sering terlihat sebagai anak yang pendiam dan kesepian. Tidak hanya itu, menurut Mang Udin Aluna adalah gadis yang baik. Dia tidak pernah marah bila Mang Udin telat atau bahkan tidak bisa menjemputnya karena keperluan yang mendesak. Bahkan kalau Mang Udin sakit, Aluna dengan baik hati mengizinkan Mang Udin libur tanpa mengatakan hal itu pada kedua orang tuanya hingga gaji Mang Udin di akhir bulan tetap penuh.

Lalu di waktu mengantar jemput seperti sekarang, Aluna tidak akan meminta Mang Udin menunggunya apalagi bersiap sedia selalu agar bila ditelepon langsung mengangkatnya. Aluna justru menyampaikan pada Mang Udin bahwa dia bisa istirahat selama tugasnya untuk mengantar sudah dilaksanakan. Perihal menjemput nanti, itu bisa dibicarakan.

Alhasil, selama sekitar sepuluh tahun menjadi sopir pribadi Aluna, tidak ada satupun hal yang berat yang Mang Udin alami. Meskipun sesekali perasaan Aluna terlihat tidak baik, yang perlu Mang Udin lakukan hanyalah diam dan tidak banyak bicara selama perjalanan agar Aluna bisa istirahat.

I'M ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang