Fatih berjongkok di depan Aluna. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan ekspresi marah dan kecewanya pada tindakan nekat Aluna. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan. Tangannya dengan lembut meraih tangan kiri Aluna yang saat ini mencengkram kuat pecahan kaca hingga membuat darahnya terus mengucur deras membasahi karpet abu-abunya. Tidak ada penolakan dari Aluna saat Fatih berhasil mengambil alih benda tajam itu. Dengan hati-hati, Fatih mulai mengobati luka Aluna. Ringisan kesakitan sesekali terdengar dari Aluna meskipun masih gadis itu tahan sekuat tenaga dengan menggigit bibirnya.

"Ini sakit. Harusnya kamu tahu resiko semacam ini sebelum berbuat nekat," ucap Fatih kemudian.

Fatih yang dengan telatennya mengobati Aluna membuat gadis itu tidak bisa membalas apapun lagi. Ia juga tidak bisa berbohong bahwa sekarang tangannya terasa nyeri. Tidak seperti tadi saat dirinya dilanda amarah karena papanya mengambil benda-benda kesayangan miliknya, rasa amarah lebih mendominasi dibandingkan rasa sakit itu sendiri.

"Apa yang membuat hidupmu tidak berarti lagi, Aluna? Kamu memiliki banyak hal untuk disyukuri." Fatih lagi-lagi berbicara dan tentunya kembali tidak disahuti oleh Aluna.

"Bersiaplah," pinta Fatih yang mengundang keheranan untuk Aluna. "Saya berjanji akan menjagamu setelah ini. Kamu bisa mengandalkan saya, Aluna."

Ucapan Fatih terkesan ambigu, tidak jelas mengarah kemana. Baru saja Aluna hendak membuka mulut, ia sudah lebih dulu dibungkam oleh Fatih dengan kata-katanya.

"Saya mencintai kamu. Lebih daripada yang kamu tahu," katanya.

***

Plak!

"Kamu pikir, untuk ini Mama melahirkan kamu?!" Sebuah tamparan diikuti tatapan tajam dan suara yang menggelegar memenuhi ruangan menjadi hal yang pertama kali Wanda lakukan pada Aluna.

Dengan kuat, mamanya menarik lengan Aluna lalu menyingkap dengan kasar lengan baju Aluna hingga memperlihatkan luka-luka goresan yang Aluna ciptakan. "Untuk apa menyakiti diri sendiri seperti ini Aluna?!"

Seandainya Wanda tahu bahwa dibandingkan amarah yang menggebu-gebu, ada untaian kata yang Aluna harapkan untuk diucapkan yang tidak pernah sekalipun diucapkan oleh mamanya.

"Kamu baik-baik saja, Aluna?"

Lima kata yang Aluna harapkan itu hanya seperti sebuah harapan tanpa mampu diwujudkan. Karena sesampainya Wanda di rumah, hanya sebuah tindakan untuk mengadili Aluna dan mengatakan bahwa semua yang Aluna lakukan adalah sebuah kesalahan.

"Apa ini masih tentang kakak kamu? Apa semua ini masih perihal kakak kamu yang sudah mati itu?! Untuk apa memikirkan orang yang sudah mati, Aluna?!" Wanda kembali bicara. Namun pembicaraan yang kedua ini jelas menyulut emosi Aluna untuk ikut naik.

Aluna menarik tangannya agar tidak lagi berada di cengkraman mamanya. Ia balik menatap tajam Wanda sebagaimana mamanya melihatnya saat ini.

"Sesepele itu kah Kak Alana untuk Mama? Kematian yang tidak wajar yang aku saksikan dengan jelas di depan mata, apakah bisa dengan mudah aku lupakan? Dimana Mama dan Papa saat aku bersembunyi di dalam lemari atas perintah Kak Alana agar hanya dirinya yang bisa dilihat oleh pembunuh itu? Dimana kalian?!" Aluna tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berteriak. Ia tahu, rumah telah menjadi ramai dan sesak oleh para pelayan yang ingin turut menyaksikan apa yang tengah terjadi.

"Untuk apa mencari pundi-pundi rupiah bila sang pewaris telah tiada? Untuk apa harta bila yang seharusnya menjadi alasan dicarinya harta itu lebih memilih meninggalkan dunia?" Suara Aluna memelan dan sedikit bergetar. Bukan hanya itu. Tangannya yang sejak tadi terasa nyeri pun kini sakitnya ikut terasa. Kedua kakinya yang seharusnya menjadi penopangnya untuk tubuhnya justru semakin lama terasa semakin tidak sanggup berdiri.

"Jangan melewati batas, Aluna. Aku masihlah ibumu. Cukuplah semua ini. Mama ikut terluka," kata mamanya yang turut berbicara dengan pelan.

Sepertinya memang terlalu lama tubuh Aluna bertahan dari luka-luka yang ia ciptakan sendiri. Hari ini menjadi bukti bahwa sebenarnya tubuhnya sudah rapuh dan tidak sanggup untuk di siksa lagi.

Tubuh Aluna limbung. Tidak memakan waktu lama, ia akhirnya ambruk dan jatuh ke lantai bersamaan dengan kedua matanya yang memejam.

"Aluna!" teriak Wanda dengan panik. Beberapa pelayan langsung berdatangan memasuki kamar Aluna. Sisanya yang lain turun ke lantai satu untuk memanggil dua lelaki yang sejak tadi berbicara serius.

Papanya Aluna dan Fatih.

"Apa?!" teriak Rudi saking terkejutnya.

"Aluna ...." Fatih bergumam. Pandangannya langsung mengarah pada lantai dua di atas sana.

"Panggil dokter Adnan," perintah Rudi pada salah satu pelayan yang langsung diangguki olehnya.

Dokter Adnan adalah dokter pribadi keluarga Aluna. Ia juga sudah sering mengobati Aluna bila gadis itu mulai menyakiti dirinya lagi.

Semua orang langsung saja sibuk. Begitu pula papanya Aluna yang langsung naik ke lantai dua diikuti oleh Fatih. Satu-persatu pelayan yang meramaikan kamar Aluna diminta kembali mengerjakan pekerjaan mereka hingga hanya menyisakan Bibi di sana. Aluna dibaringkan di atas kasurnya dengan mamanya yang setia berada di sampingnya.

Untuk seketika, Fatih menyadari satu hal.

Keberadaan sesuatu yang tidak mampu diungkapkan memang benar adanya. Kasih sayang misalnya. Tidak ada lagi alasan lain untuk kedua orang tua Aluna secemas ini kalau bukan karena kasih sayang mereka yang masih terselip di hati mereka tanpa mampu diungkapkan pada Aluna.

Yang harus Fatih lakukan nanti saat Aluna bangun adalah,

Mengingatkan gadis itu bahwa masih ada kasih sayang yang tersisa. Serta hidupnya, tidak sepenuhnya kosong dan sia-sia.

***

If you read this and like it, let me know you've been a part of this story by voting it.

© 2019
Revisi 2021

I'M ALONEWhere stories live. Discover now