Maafkan Bea

72.5K 4.5K 73
                                    

“Tadi siapa yang kirim chat?” tanya Bea penasaran.

“Dari operator,” jawab Abid.

“Serius?”

“Iya, operator mengucapkan cepat sembuh untuk istri saya.” Abid mengusap kepala Bea dengan senyum kecil agar Bea percaya.

“Coba aku lihat.” Bea menjulurkan tangan.

“Baru saja saya hapus.”

“Lho, kok dihapus?” Bea mengerutkan kening heran.

“Tidak penting, hubungan kita jauh lebih penting,” jawab Abid.

Bea hanya mengangguk, ia mulai memainkan jemari Abid, tidak menyia-nyiakan suasana seperti. Jika nanti berpisah dengan Abid, pasti akan merindukan hal ini. Bea melepaskan tangannya dari jemari Abid, lalu Bea mengusap perutnya yang masih datar.
Bea menikmati setiap usapan yang Abid berikan di kepalanya, akhir-akhir ini dirinya selalu merasa nyaman.

Harusnya Bea menjauh agar tidak terlalu dalam kenyamanan itu ia rasakan. Tanpa terasa Bea kembali terpejam, semenjak sakit selain sering muntah, Bea juga mudah mengantuk.

***

Ini sudah hari keempat sepulang dari penerbangan Abid. Kondisi Bea membaik, tidak ada infus di telapak tangannya. Dokter hanya menyuruh agar Abid lebih memperhatikan kondisi Bearista. Makanan yang Abid berikan selalu Bearista makan walaupun tidak semua, Abid cukup senang meskipun perempuan itu masih diam. Setidaknya ada asupan makanan untuk tubuhnya.

“Kamu tidak usah masak, biar saya beli di luar,” ucap Abid yang melihat istrinya sibuk di dapur, Abid mendekatinya.

Semenjak infus terlepas, Bea begitu rajin membereskan rumah, merapikan semua baju Abid, termasuk seragam pilotnya. Saat Abid melarang, Bea selalu menjawab, “Nggak apa-apa, aku sudah sehat.”

Abid mengambil pisau yang sedang dipegang Bea, lalu menaruh pisau itu jauh dari mereka. “Belum sembuh total. Saya nggak mau kamu kenapa-kenapa,” ucap Abid.

“Jangan berlebihan, aku benar-benar sudah sehat.” Bea berusah mengambil pisau, tetapi dicegah oleh Abid.

Abid melepas paksa celmek pada tubuh Bea, lalu menjauhkan Bea dari area dapur.

“Abid, kamu apa-apaan sih? Aku udah sehat, kamu tidak berhak melarang.” Nada Bea sedikit meninggi.

Abid mengalah, melepaskan Bea kembali.

Bea melanjutkan membuat sarapan dengan mudah, hanya bubur ayam kesukaan Abid dan air lemon hangat.
“Selamat menikamati, Tuan,” ucap Bea sembari tersenyum, meletakkan sarapan di depan Abid.

“Kamu tidak makan?” tanya Abid. Abid sempat kesal dengan sikap Bea, tetapi Abid memilih meredakan amarah.

“Nggak, pagi ini lagi nggak pengin sarapan.”

Abid yang ingin menyendok bubur mendadak memperhentikan aktivitas istrinya. “Saya nggak akan sarapan kalau kamu nggak sarapan.”

“Kok gitu? Tapi, beneran aku lagi nggak pengen.”

“Kita makan sama-sama, saya nggak mau makan sendiri.” Bukan Abid namanya kalau tidak pintar memaksa, akhirnya mereka sarapan bersama.
Hingga sarapan mereka selesai, dengan gugup Bea kembali mendekati Abid. Sepertinya pagi ini waktu yang tepat untuk berbicara dengan Abid.

TraveLoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang