Merasa Kehilangan

72K 6.3K 158
                                    

Gemerlap ibu kota terlihat jelas di sepanjang perjalanan, bunyi klakson mobil dan motor menambah suasana malam menjadi ramai. Mereka tidak sabar segera pulang. Namun, harus pasrah dihadapkan dengan kemacetan. Jakarta yang ramai, sepi ketika hari raya tiba. Mereka mengeluh, menjerit, terkadang memukul setir untuk menumpahkan kekesalan yang ada. Untuk pulang saja, harus antre.
Firman terus mebunyikan klakson agar kendaraan di depannya sedikit bergerak, ia sedang buru-buru. Sesekali Firman melirik Abid yang diam sedari tadi. Rasa bersalah menyelimuti, tetapi ini adalah pilihan terakhir untuk Firman.

“Mas ….” Firman mencoba memanggil Abid. Abid menoleh tanpa suara.

“Maaf.”

“Mas tidak apa-apa, Man. Cepat jalankan mobilnya. Kita harus sampai di tempat pemakaman.”

“Kenapa tidak besok saja, Mas?”

“Lebih baik malam ini.” Firman mengangguk paham.

Tidak lama kemudian mobilnya bisa bergerak, meskipun pelan. Malam ini Abid baru saja dikabarkan bahwa ia baru saja kehilangan separuh hidupnya. Abis nyaris menangis, dadanya terasa sesak.

***

Abid masih jongkok, termenung di depan makam wanitanya. Tidak ada tangis, hanya diam dan menunduk. Mulutnya terasa kaku saat ingin sekali merapalkan doa. Abid masih tidak menyangka dengan kepergian kekasihnya yang begitu cepat. Mimpinya hancur dalam sekejap.
A

bid dipisahkan oleh kematian.

Seketika Abid tersadar dari lamunan, sekilas bayangan lima hari yang lalu kembali muncul di kepala Abid. Senyum, tawa, dan suara lima hari yang lalu masih sangat jelas ia lihat dan dengar. Ia masih tidak menyangka, ia kehilangan separuh dari jiwa dan cintanya. Air mata yang dari tadi Abid tahan akhirnya mengalir, ia kalah. Pertahanan Abid runtuh.

“Selamat jalan, Wanita Terindahku. Tenanglah di sana, kini kamu tidak lagi menahan sakit. Terima kasih, bersamamu memberi kenangan yang sulit untuk dilupakan,” lirih Abid.

Ia menumpahkan semua kesedihan, tidak bisa membayangkan bagaimana wanitanya merasakan sakit dan berjuang sendiri. Abid menyesal di detik terakhir hidup Gea, tidak bisa mendampinginya. Ia tidak bisa melihat wajah cantik Gea untuk terakhir kalinya, ia hanya bisa melihat batu nisan yang tertulis nama Gealina.

“Kita pulang ya, ini sudah malam, Mas,” ucap Firman.

Namun, Abid menggeleng ia ingin di sini, ia belum puas. Firman menyentuh bahu kakaknya.

“Mas, kamu harus pulang dan ganti pakaian. Mama, Papa, dan Mbak menunggu kita.”

Tidak ada firasat yang dirasa Abid. Hanya saat ia hendak menghubungi sang kekasih, tiba-tiba nomor bahkan sosial medianya dinonaktifkan. Ia pun bertanya pada adiknya. Tadinya Firman menjawab bahwa baik-baik saja. Namun, Abid tidak percaya dan kembali bertanya saat melihat wajah Firman seperti orang yang ingin mengatakan sesuatu.

Firman mengalah, akhirnya menceritakan semua tentang kekasih kakaknya ini. Benar saja, setelah diceritakan, Abid mendadak bungkam. Mendapat kabar kekasihnya tiada saat pulang dari penerbangan sontak membuat Abid kehilangan kesadaran. Ia mendadak seperti orang hilang arah. Ada di sini, tetapi raganya melayang entah ke mana.

Gea pergi, tepat di saat dirinya sudah memberikan segalanya. Semua hanya awal kehancuran untuk dirinya.

-TBC-

Tinggalkan vote dan komentar. Terima kasih

Instagram: Marronad.wp

Marronad

TraveLoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang