Gara-Gara Kopi

58.8K 5.2K 117
                                    

Bandara Soekarno Hatta ....

Kemacetan ibu kota seperti biasa membuat Abid sedikit terlambat hari ini. Tadi ia terjebak setengah jam. Biasanya jam tujuh lebih empat puluh lima menit dirinya sudah sampai, tetapi hari ini jam delapan lebih sepuluh menit ia baru sampai. Abid tergesa-gesa masuk ke bandara.

Abid tidak bosan dengan pemandangan bandara, Abid berjalan tanpa melihat apa pun. Tubuh tegap dan menatap ke depan. Biasanya sebelum memasuki bandara, ia akan duduk dulu sebentar dan menemui Gea. Bahkan mereka memasuki kafe untuk sarapan. Sebelum Abid bertugas, biasanya Gea selalu menasehatinya. Sekarang ia harus terbiasa dengan kehampaan. Tidak ada lagi sosok yang hadir menunggu dan mengantar bekerja. Lagi-lagi, Abid terpaksa mengingat kenangan bersama Gea.

“Pagi, Kapt,” sapa Filipi. Untuk hari ini, ia kembali menjadi pramugari. Ia sangat menyukai bekerja sama Abid.

“Pagi.” Abid tersenyum simpul.

“Aku kira Kapten nggak masuk hari ini,” ujar Filipi, ia berjalan di samping Abid.

“Saya tetap melakukan kewajiban saya,” jawab Abid.

Filipi menatap Abid sebentar, lalu ia mengalihkan pandangan. “Kapt ... kami turut berduka cita atas kepergian Mbak Gea.” Filipi mengucapkan dengan nada pelan, ia tidak mau Abid semakin sedih.

“Terima kasih, Fi.”

“Jika Kapten sedang tidak baik, lebih baik istirahat saja. Jangan melakukan penerbangan.”

“Saya baik-baik saja, kamu tenang saja. Kalau gitu, saya ke toilet dulu ya, Fi.”
Abid sengaja menjauh agar tidak mendengar ucapan Filipi yang sepertinya terlalu peduli dengan Abid.

Ia juga yakin akan melakukan penerbangan dengan baik, ia tidak akan membawa kesedihan itu saat bekerja. Abid bukan pria lemah, ia mampu membuang kesedihannya sebentar.

Filipi memandang kepergian Abid nanar. Pria itu memang tidak mau dikasihani. Padahal semua orang yang kenal Abid peduli, tetapi ternyata Abid memang paling pintar menutupi kesedihan.

Seperti tujuan Abid, langkahnya menuju toilet. Namun, tiba-tiba tubuhnya tergoyah, ada orang menabraknya. Kekesalan Abid hadir. Ia ingin memaki perempuan di depannya ini. Mengapa tidak bisa berhati-hati? Bagaimana ia bisa melakukan penerbangan jika seragamnya kotor?
Ini masih sangat pagi, masalah datang tanpa permisi.

***

Bearista menunduk tanpa berani menatap pria yang ia tabrak. Ini semua karena terlalu asyik menelepon Nayla.

“Nay, gawat! Matikan dulu.”

Di saat genting seperti ini, Bea masih sempat-sempatnya berbicara dengan Nayla. Bearista mengigit bibir, entah kata apa yang harus ia ucapkan. Ia nampak berpikir sejenak, sebelum berani mengucapkan maaf. Bearista mengutuk keteledorannya. Saat seperti ini, ia malah membuat kesalahan fatal. Ia membayangkan pria di depannya itu akan marah besar.

Pagi ini Bearista sudah dua jam menunggu untuk menuju Surabaya. Sempat mengantuk, ia memutuskan membeli kopi di salah satu mini market. Setelah ia membeli, tiba-tiba Nayla menelepon Bearista. Karena Bearista terlalu fokus menelepon—sambil berjalan—  Bea tidak sadar ada pria di depannya.

“Maaf ....” Bearista terlalu banyak berpikir, tetap saja ia hanya bisa mengucapkan kata itu. Ia pasrah seandainya pria itu marah.

TraveLoveWhere stories live. Discover now