Dua Manusia

78.8K 6.7K 91
                                    

Makan malam berlangsung sangat romantis, di mana sepasang kekasih menikmati makanan yang disajikan ditemani musik genre jaz. Abid tidak bisa fokus, sesekali melirik wanita di depannya. Malam ini Gea sangat cantik, sehingga Abid enggan untuk mengedip.

“Abid jangan lihat Gea terus.” Gea menutup wajah dengan tangan agar Abid mengalihkan penglihatannya.

“Kamu cantik banget malam ini,” puji Abid. Gaun merah menutup bahunya, riasan wajah yang sangat tipis, gambaran penampilan Gea malam ini.

“Sudah sepuluh kali Abid berbicara seperti itu.”

“Aku mau mengucapkannya lebih dari sepuluh kali, Sayang,” jawab Abid tanpa malu.

Gea tersipu. Kekasihnya ini memang selalu memuji ketika mereka sedang berdua. “Abid kapan terbang lagi?”

“Besok.” Abid mulai menyuap makanan ke mulutnya.

“Harus banget besok?” Wajah Gea yang semula ceria berubah menjadi murung.

Abid mengambil tangan Gea, lalu menggenggamnya. “Maaf, Sayang ….”

“Padahal Gea masih kangen ....” Gea memberengut.

“Hanya lima hari,” ucap Abid.

“Serius?”

Abid mengangguk.

Ucapan Abid sukses membuat Gea memancarkan wajah ceria. Bagi Gea, lima hari waktu yang sangat sebentar. Biasanya Abid akan terbang berhari-hari. Gea ingin sekali melarang, tetapi ini risiko menjalin hubungan dengan pilot.

Abid menyuapi Gea dengan mesra, suasana restoran mendadak penuh cinta dan hangat. Tiba-tiba Gea merasakan sesak, napas Gea mulai tidak beraturan. Ia memegangi dadanya sambil mengambil napas,  terasa susah sekali saat ia mencoba untuk menghirup udara. Gea mengeluarkan semua isi tasnya, mengambil sesuatu untuk mengobati sesaknya.

Abid yang sedang fokus makan mendongak, terlihat Gea mencari sesuatu di dalam tasnya. Ada yang janggal. Abid mendengar deru napas Gea tak beraturan.

“Sayang, kamu kenapa?” Abid mendekati Gea. Gea ingin sekali menjawab, tetapi tidak bisa.  Hingga akhirnya Gea menemukan apa yang ia cari. Dengan cepat alat itu ia hirup. Setelah beberapa menit, Gea merasa lebih baik. Ia menunduk, memejam sebentar, menetralkan napas.

“Sayang, are you okay?” tanya Abid.
Gea mengangguk sebagai balasan.

“Asmaku kambuh,” jawab Gea saat sudah lebih baik.

“Kita ke rumah sakit, ya?”

“Tidak perlu ... ini sudah lebih baik.”

Abid memeluk Gea, mengusap punggungnya. Paling tidak suka saat asma Gea kambuh, karena ia tidak tega melihat bagaimana kekasihnya menahan sakit. “Kita pulang ya, kamu harus istirahat.” Abid melepaskan pelukan.

“Tapi, aku masih mau berduaan sama kamu.”

“Masih ada malam lain untuk berduaan lagi, Sayang. Kita pulang, ya?”

“Baiklah.”

Perlahan langkah mereka meninggalkan restoran, Abid menggenggam tangan Gea erat. Raut kekhawatiran begitu terlihat di wajah Abid.

***

Malam di mana Bearista terpaksa harus menunggu seseorang di sebuah kafe yang ditunjuk oleh Nayla. Padahal Bea sudah menolak, tetapi Nayla memaksa. Apalagi perempuan itu sempat memohon-mohon.

Jemari Bea mengetuk meja, sesekali ia menggoyangkan kaki untuk menghilangkan bosan. Setengah jam lebih ia menunggu. Kalau saja tidak demi Nayla, Bea sudah pulang lebih dulu. Bagi Bea, waktu adalah hal yang berharga. Menunggu hanya akan membuang waktu.

Bea meraih gelas berisi jus mangga, lalu meminumnya. Gadis itu mengambil ponsel, mengetik pesan untuk dikirimkan ke Nayla, mengatakan pada Nayla ia akan pulang karena menunggu terlalu lama.

“Hai.”

Bea berhenti mengetik, lalu mendongak. Seorang pria berdiri dengan pakaian formal. Bea mengerjap, memastikan dirinya tidak salah lihat. Apakah pria ini yang akan dikenalkan untuknya?

“Bearista?” tanyanya memastikan.

Bea mengangguk pelan. Pria itu menarik kursi, lalu duduk di depan Bea.

“Elang.” Ia menyodorkan tangan.
Bea tidak menerima sodoran tangannya, ia malah menangkap tangan di depan dada. Ia terlalu gugup, sehingga tidak mampu menerima tangan Elang.

“Bearista,” balas Bea.

Elang mengerti sehingga ia menarik kembali tangannya. “Sahabat Nayla?” tanya Elang.

“Iya. Kamu juga teman dia?”

“Iya.”

Canggung, entah dari mana mereka harus mulai berbicara. Bagi Elang, pertama kalinya ia bertemu dan duduk berdua dengan seorang perempuan. Ia adalah pemimpin perusahaan televisi yang sibuk dengan pekerjaan.

“Papa!”

Teriakan anak kecil membuat Bea menoleh. Anak kecil itu berlari mendekati mereka, yang dipanggil Papa menyambut, Elang mendudukkan gadis kecil itu di sampingnya.

“Namaku Sabrina, Tante,” ucapnya dengan mimik menggemaskan. Bea tersenyum tulus pada gadis kecil di depannya.

“Panggil saja Kakak Bea.”

Anak itu hanya mengangguk, lalu fokus pada makanannya.

“Bea ...,” panggil Elang. Matanya tak lepas menilai penampilan Bearista. Perempuan di depannya cukup cantik dan sederhana.

“Ya?”

“Sabrina ini anak saya dengan mantan istri saya,” ucap Elang. Setiap bertemu perempuan, ia selalu jujur bahwa memiliki anak.

Bea mengangguk. Cukup terkejut, tetapi ia menyembunyikan. Ternyata teman Nayla duda. Tangan Bea terulur ingin menyentuh gadis kecil di sampingnya, tetapi gadis kecil itu malah menepis tangan Bea.

“Pa, Sabrina nggak suka sama tante ini!” ucapnya tiba-tiba, ekspresinya berubah seketika. Tentu saja Bea terkejut, karena tadi gadis kecil itu menyambutnya dengan ramah.

“Adik, dijaga omongannya.”

“Pokoknya, Sabrina nggak mau Papa nikah sama tante ini,” tegas Sabrina. Sabrina turun dari kursi, lalu berlari. Hal itu membuat Elang meminta maaf atas sikap anaknya pada Bea dan pamit karena Elang harus mengejar Sabrina.

Sabrina, gadis berumur enam tahun itu baru saja kembali menolak perempuan yang ingin dekat dengan papanya. Memang tidak mudah mendapatkan perempuan yang cocok untuk Sabrina, menggantikan sosok ibunya.

Bearista mengerti dengan segala keadaan hari ini.

-TBC-

Tinggalkan vote dan komentar.

Instagram: Marronad.wp

Marronad

TraveLoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang