Persiapan 2

61.7K 5K 128
                                    

Hari pernikahan semakin dekat. Tentu saja kesibukan kini dirasakan keduanya. Baik Bea atau Abid masih bekerja. Pernikahan yang sangat mendadak tentu saja membuat mereka tidak bisa seenaknya menggambil cuti. Jam terbang yang tidak bisa berubah, membuat Abid harus melakukan penerbangan selama beberapa hari. Semua persiapan pernikahan sudah selesai. Masalah gaun yang sempat diperdebatkan sudah diganti, dengan gaun yang sedikit tertutup dan nyaman dipakai Bea.

Terik matahari begitu menyengat, hingga menerpa kulit Bea yang kini di salah satu warung nasi untuk makan siang. Bea bukan tipe orang yang hidup dengan kesenangan. Ia lebih senang hidup dengan kesederhanaan, yang terpenting ada asupan makanan yang masuk ke  perutnya.

“Kamu mau pesan apa, Be?” tanya Nayla.

“Samakan saja,” jawab Bearista.

Nayla mengangguk, lalu ia memesan makanan. Tidak lama kemudian, penjual memberikan makanan yang mereka pesan. Bearista dan Nayla menenteng plastik yang berisi nasi.  Mereka kembali ke kantor. Nayla dan Bearista memang sudah terbiasa makan di dalam kantor, sekalian ia mencicipi masakan dapur yang biasanya untuk Bos dan karyawan kantor lainnya. Kalau bosan saja baru beli di luar.

“Calonmu kerja, ya?” tanya Nayla.

“Iya, jadwal penerbangan tidak bisa diubah. Mau tidak mau harus menjalankan tugas beberapa hari,” jawab Bea. Matanya tak henti melihat ke  sekitar. Mereka hendak menyeberang.

“Pernah dengar dari temannya tante yang kebetulan suaminya pilot, katanya sih tidak enak. Karena mereka harus siap ditinggal, kadang bisa berminggu-minggu. Dalam satu bulan, mereka hanya beberapa kali bertemu. Yakin ingin menikah dengan pilot, Be? Tidak takut kesepian?”

“Buat mereka yang saling mencintai, pasti kesepian, bahkan kehilangan saat suaminya sibuk. Lah, aku sama Abid tidak  saling mencintai. Jadi biasa saja. Lagian selama ini aku selalu kesepian. Kalau kesepian, aku hubungin kamu buat ke rumahku,” jawab Bea. Hanya Nayla yang tahu siapa Abid.

“Pokoknya kamu harus cinta sama Abid, kasih ponakan secepatnya!”
Bearista menyentil hidung Nayla pelan.
“Nikah saja belum, sudah minta ponakan saja,” cibir Bea.

Ia berjalan mendahului Nayla ke arah dapur untuk mengambil piring. Nayla cemberut ketika sahabatnya menyentil hidungnya. Hidung Nayla kecil, tidak seperti hidung Bea yang mancung. Kalau disentil, nanti semakin kecil. Dasar sahabatnya itu jahil sekali. Bea mengambil piringnya, tiba-tiba saja ia dikagetkan kehadiran Lukas di sampingnya.

“Maaf, Pak,” ucap Bea. Tadi piring yang Bea pegang tak sengaja mengenai Lukas. Pak Lukas memberikan satu kotak untuk Bea, tetapi Bea belum menerimanya.

“Ambil,” ucapnya. Dengan ragu Bea meraihnya. “Itu salad untukmu. Saya beli di kafe seberang jalan.”

“Terima kasih, Pak. Nggak potong gaji, kan?” tanya Bea memastikan. Sudah beberapa kali dalam satu bulan ini Lukas selalu mengirim makanan. Bukan hanya salad, terkadang kopi atau cemilan.

“Tidak,” ucapnya, lalu meninggalkan Bea.

“Cie ... cie....” Sorakan dari teman-temannya membuat Bea menoleh. Ia tidak sadar, ternyata di belakangnya ada beberapa teman kantor.

“Sudah kuduga.  Pasti nih, pasti,” ucap Ronald si bagian teknisi.

“Wah, wah, bakalan ada perang ketiga nih.” Kini Tania bagian HRD ikut berbicara. Bea yang tak mengerti maksud mereka, hanya diam sembari mengernyitkan dahi.

TraveLoveWo Geschichten leben. Entdecke jetzt