Chapter 20 - Keras kepala.

1.1K 42 0
                                    

Tidak, tidak, tidak, aku tidak bisa menyelundup masuk ke dalam perusahaan Evarado. Aku memang penasaran, namun aku tidak mau mengambil resiko. Meskipun Nako juga ikut masuk ke dalam, tapi tetap saja kemungkinan besar kami akan tertangkap. Aku tidak mau ternodai oleh tangan-tangan brengsek.

Lagipula, untuk apa dia mengajakku masuk? Lalu akan melakukan apa jika sudah masuk ke dalam? Penjagaan di sana pasti sangat ketat, juga pasti banyak CCTV, tidak mungkin kami keluar masuk dengan bebas layaknya berada di supermarket.

"Woi uno kuy!"

Aku melirik ke arah Aldan, Marsel, Zio, Hasta, dan teman-teman sekelasku yang lain yang sudah duduk manis melingkar tidak jauh dari tempat dudukku.

Sampai saat ini aku masih di kacangin sama mereka. Kenapa sih mereka tidak mencoba untuk melihat dari sisiku?

Aku lantas berjalan ke arah mereka dan duduk di antara Zio dan Hasta. "Gue mau main juga dong." seruku

Marsel yang kebagian mengocok kartu sempat melirikku sekilas, dia lalu mulai membagi kartu ke teman-temanku, tapi tidak denganku.

"Kok gue nggak di bagi sih? Gue kan juga mau main!" protesku

"Pemainnya udah pas." jawab Marsel

Aku cemberut. Ish, menyebalkan! Aku lantas mengambil paksa kartu yang ada di tangan Zio.

"Gue dulu ya yang main, sekali aja." ucapku memohon

Zio memutar bola matanya. "Pengkhianat nggak boleh main."

Aku melotot. Pengkhianat?

"Udah sana!" usir Zio

Aku semakin cemberut, dengan kesal aku keluar kelas lalu duduk di kursi yang ada di depan kelas.

Mereka tuh kalau sekalinya marah bikin orang mau telan monas. Kesal banget, sumpah. Sampai kapan sih mereka mau mendiamiku? Bentar lagi UN dan SBMPTN, seharusnya semakin solid, bukan malah berantem seperti ini.

Aku memang banyak kenal dengan teman-teman seangkatanku dan bisa saja aku bermain bersama salah satu di antara mereka, tapi aku merasa tidak enak kepada mereka. Aku datang ke mereka disaat aku dijauhi oleh keempat manusia itu. Kesannya datang kalau lagi butuh atau bosan doang. Aku tidak mau di cap seperti itu. Lagipula aku juga sudah nyaman bermain bersama keempat manusia itu, dan juga Alodie tentunya.

Aku menatap koridor sekolah dengan bosan. Orang-orang yang ada di koridor saling melemparkan candaan dan tertawa bersama teman-temannya, sedangkan aku hanya duduk di kursi depan kelas sendiri. Betapa sedihnya aku.

"Assalamualaikum, perhatian untuk semua siswa dan siswi, berhubung hari ini akan diadakan rapat mengenai persiapan UN, maka diberitahukan kepada seluruh siswa dan siswi untuk belajar di rumah."

Seketika sorakan langsung menggema ke setiap sudut sekolah, dan tanpa berpikir lagi semuanya langsung masuk ke dalam kelas lalu berhamburan keluar kelas dengan membawa tas masing-masing.

Aku masih tetap duduk di kursi, biasanya aku semangat jika pulang cepat dan langsung main bersama sahabat-sahabatku, tapi sekarang entah mengapa aku tidak ingin pulang ke rumah.

Aku menunduk, mengayunkan kakiku sambil menunggu koridor kelas 12 sepi. Enaknya pergi ke mana ya? Apa main ke rumah Alodie saja? Berhubung dia lagi sakit, sekalian aku jenguk dia, ah tapi jauh banget. Ongkosku tidak cukup untuk ke sana.

Saat dirasa koridor sudah sepi aku baru masuk untuk mengambil tasku. Kupikir sudah tidak ada orang di kelas, ternyata tebakanku salah. Selagi membereskan barang-barangku, dari sudut mataku aku melihat keempat manusia itu lagi membicarakan sesuatu di kursi Marsel.

AZURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang