“Bangun, bantuin saya. Saya terlambat.”

Bea yang mendengar kata terlambat tentu saja bangkit dari ranjang, ternyata benar apa yang ia pikirkan semalam. Pagi ini pasti terlambat, ini semua karena Abid tidak mau tidur duluan. “Ini karena semalam kamu tidak mendengar ucapanku. Coba semalam kamu nurut pasti tidak akan terlambat,”  ujar Bea.

“Jarak dari sini ke bandara lumayan jauh, harusnya kamu paham. Ja—” Sebelum Bea mengoceh kembali, Abid sudah meletakkan jari telunjuknya di bibir Bea.

“Bukan waktunya ceramah, saya tahu saya salah. Sudah ya, sekarang bantu pasangkan dasi ini.” Abid memberikan dasinya pada Bea.

“Memangnya kamu tidak bisa memakainya?” Bea heran. Ia menerima dasi tersebut lalu berdiri.

“Tidak terlalu rapi, biasanya Mama yang bantu pasangkan. Kadang—” Ucapan Abid terhenti.

“Kadang siapa?”

“Ya, kadang siapa aja yang ikhlas memasangkan dasi,” jawab Abid.

“Berarti Gea juga pernah memasangkan dasi?”

“Sering.” Padahal ia sedang menjauhi semua yang berhubungan dengan Gea, kenapa Bea malah menyebutnya? Bea fokus memasangkan dasi, tanpa sadar Abid memandangi mata perempuan di depannya itu.

Bea mengerjapa ketika Abid tiba-tiba meniupnya matanya. “Abid!” Tentu saja Bea terkejut, ia sedang fokus memasang dasi.

“Jangan terlalu serius, nanti cepat tua,” ucap Abid.

Bea mempercepat gerakan agar segera rampung. Bea menepuk dada bidang Abid sebagai tanda dasi sudah rapi. Setelah selesai memasangkan dasi Abid, Bea berlari ke arah dapur. Sebenarnya semalam sudah merencanakan kalau pagi ini akan membuat sarapan, tetapi semua gagal karena keterlambatan mereka. Untung saja tadi malam sempat membeli roti, terpaksa pagi ini mereka memakan roti saja.

Bea dengan cepat membuat air hangat dengan perasan lemon, lalu ia kembali mendekati Abid yang sedang memasang sepatu. “Sarapan dulu.” Bea meletakan sarapan di dekat meja.

“Tidak perlu.”

“Lima menit aja, sarapan.”

“Nggak.”

Bea mengambil lagi roti dan air lemon hangat itu.

“Buka mulutnya!”Bea menyodorkan roti di depan mulut suaminya. “Buka mulutnya, Abid!” Bea semakin tidak sabar, karena Abid hanya diam.

Abid menuruti, ia masih memasang sepatunya. Bea dengan begitu teliti menyuapi Abid, Bea kasihan jika Abid terbang dalam keadaan perut kosong.

“Saya kenyang,” ucap Abid mengambil gelas yang dipegang Bea.

“Tinggal dikit lagi.”

“Habisin sama kamu saja.”

“Nggak. Nanti jadi kebiasaan.”

“Tapi, saya beneran kenyang, Sayang,” balas Abid. Ia masih fokus memasang sepatunya yang tadi dilap dahulu.
Mendengar kata terakhir Abid tentu membuat Bea merona, pertama kalinya ia mendengar Abid mengatakan itu.

TraveLoveWhere stories live. Discover now