Just a Nightmare

48 14 0
                                    


[Jack]

Boring.

Itulah yang sekarang terjadi denganku. Bukannya sembuh, malah makin parah. Aku tidak melebih-lebihkan, namun memang kenyataannya seperti ini.

Malam minggu yang biasanya kerap kuhabiskan untuk menonton pertandingan bola di stadion ataupun televisi, kurasa harus gagal.

Apa mau dibuat jika jadinya seperti ini.

Tapi, masa bodohlah dengan tenggorokanku ini. Aku harus menonton pertandingan bola antara Barcelona vs Arsenal yang disiarkan secara live di televisi.

Kulangkahkan segera tungkaiku menuju ruang tengah.

Namun langkahku terhenti.

Suara deringan bel memekakkan kupingku.

"Oh Lord !"

"Jack! Buka pintunya!" itu pasti Hana. Tumben ia berteriak seakan dikejar hantu.

Ah! Apa lagi ini?

Frustasiku tiba-tiba muncul. Segera langkahku menuju pintu depan.

"Jack?!" Hana berseru dengan kilatan mata yang khawatir menatapku.

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu." Jawabku datar terlampau malas.

Tampaknya terdapat sebuah luka di dahinya.

Wanita ini segera menutup pintu terburu-buru. Apa maksudnya?

Ia langsung bergerak menuju sofa dan aku mengikutinya berniat meminta penjelasan dari tindakan anehnya ini.

Sialnya, entah mimpi buruk apa yang aku dapat hingga harus mengalami hal selanjutnya yang tidak kuduga sedikitpun.

Sebuah peluru memecahkan jendela. Tepatnya hanya berjarak beberapa inchi saja dari kami berdiri sekarang.

[Hana]

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu." Jawabnya datar, mataku mengalihkan pandangan ke pipinya ternyata memang membengkak. Terlukis sekilas kegelisahan di raut wajahnya.

"Jack,...hah-haah..." Ucapanku terputus akibat pasokan oksigen yang menurun. Aku harus mengambil nafas lebih banyak.

"...tadi seperti ada yang menguntitku... h-hah..sepertinya ia menyembunyikan sesuatu di saku jaketnya," terdapat getaran yang menyertai ucapanku.

Pria itu. Ia seolah siap untuk melakukan hal mengerikan selanjutnya yang sudah ada dalam pikiranku sejak tadi.

Ternyata hal itu memang terjadi.

Praaang!!

"Awas!" sorakan Jack menggema di penjuru ruangan, seraya mendorong tubuhku ke arah tembok dan tubuhnya langsung terjatuh ke arah berlawanan.

Aku sudah langsung tahu bahwa itu adalah suara tembakan dari senapan.
Tak tanggung-tanggung, tembakan itu berulang untuk ke sekian kalinya.

Menimbulkan pecahan kaca di mana-mana.

Ya Tuhan, kumohon akhirilah kejadian mengerikan ini. Tak henti-hentinya hatiku merapalkan doa.

Tubuhku meringkuk di sudut tembok yang kurasa dapat melindungiku dari hujaman peluru-peluru itu.

Kepalaku kian berdenyut sehingga menghasilkan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang. Tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Oh. Apakah aku hanya sedang bermimpi saat ini ?

Sayangnya tidak. Aku disadarkan oleh rasa perih di telapak tanganku akibat sebuah kepingan kaca berukuran cukup besar telah menancap cukup dalam.

"Aakkh!"

Dengan memberanikan diri aku mencabut kepingan kaca itu. Baru kali ini aku merasakan pedih yang sangat.

Tanpa sadar, air mataku telah jatuh mengalir di kedua pipi.

Nafasku masih saja tersengal-sengal.

Aku sudah tahu pasti, wajahku saat ini sudah pucat karena cairan merah itu alias darah telah mengalir dengan bebasnya di tangan kananku.

Lagi-lagi tangisku semakin pecah. Namun ku gigit bibir bawahku agar tidak semakin larut. Kurasa usahaku berhasil.

Tak lama lagi mungkin aku akan kehilangan kesadaran. Aku tertawa lemah akan diriku sendiri yang seperti ini.

Tiba-tiba Jack muncul dari arah depanku seraya berjalan mengendap-endap dengan badan membungkuk berlindung di balik tembok. Dirinya memberitahuku melalui gerakan isyarat tangannya agar tetap berada pada posisi sudut tembok.

Lantas ia berjalan ke sudut lain hingga punggungnya menghilang di balik tembok yang tidak terlalu jauh dari posisiku.

Setelah lumayan lama, kurasa tembakan yang bertubi-tubi itu telah usai. Tapi tetap saja aku masih berlindung di balik tembok ini.

Lalu, sekelebat rasa penasaran menjadikanku untuk mengintip dari sela tembok. Aku tak dapat melihat apa-apa selain lampu mobil Jack yang hidup mati karena alarmnya. Selebihnya hanya kegelapan malam.

Di menit berikutnya telingaku benar-benar berdengung, tidak dapat mendengar apa-apa seperti ribuan tawon yang memasukinya.

Penglihatanku memburam dalam sekejap. Apa yang terjadi?

Badanku sulit untuk menemukan keseimbangannya.

Dengan langkah kaki yang lunglai bagai tidak bertulang, aku nekat untuk melihat kondisi luar.

Lampu teras dan lampu halaman telah pecah akibat tembakan dari orang sialan itu. Masih jelas tercium oleh indra pembauku aroma asap yang ditimbulkan dari senjatanya apinya.

Kondisi dalam tak kalah parah.
Kepingan kaca yang sudah berserakan di mana-mana ditambah perabotan lain juga menjadi korban.

Aku meringis tak henti-hentinya, seraya melangkah untuk menemukan keberadaan sahabatku.

Hingga akhirnya saat kudapati keberadaan Jack, darah segar telah menghiasi bahu kanannya.Wajahnya telah berubah pucat pasi. Ia berada dalam posisi duduknya bersandar di sisi tembok.

Aku segera menghampirinya dengan pikiran yang semakin kalut .

Dirinya masih saja memasang ekspresi setenang mungkin walaupun sesekali dapat kutangkap ia meringis menahan pedihnya timah panas yang bersarang di tubuhnya.

Ia berusaha bangkit saat menyadari kedatanganku.

Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan saat ini juga.
Pikiranku semakin mengarah ke hal yang tidak-tidak.

"Jack..." Lirihku disertai ringisan ketika mendekatinya.

"Kau tidak apa-apa?"

Disaat kondisinya yang seperti ini ia masih sanggup menanyakan keadaanku?

Tapi seolah tubuhku tidak selaras dengan keinginanku saat ini, yang berniat merogoh ponselku dari saku, akhirnya pertahananku roboh hingga semua menjadi gelap.

Sebelumnya aku sempat mendengar teriakan dari suara yang sangat kukenali menyerukan namaku dan juga Jack. Derap langkah itu semakin jelas mendekat menuju ke tempat keberadaan kami saat ini.

---



Don't forget to vote + comment yaa
😉

-thankyou-

Black RoseWhere stories live. Discover now