C30 Keadaan Terdesak

Start from the beginning
                                    

Pada akhirnya, aku sangat lega. Mama, Papa.. Rai, Nadya, dan Lussi adalah sahabat terbaikku

Ceklek ceklek!

Ah, dia sudah mengatur senjatanya, ya? Ma, Pa, aku sudah bersikap baik, kan? Sudah banyak kompetisi yang kuberikan untuk kalian. Sekarang waktunya aku menemui kalian.

"Rai, terimakasih untuk semuanya." aku sedikit berbisik

"Diamlah, bodoh!" hah? dia mendengarku?

DOR!

Aku memejamkan mataku.

...

...

Tunggu, kenapa aku tidak merasa sakit? Dan, INI KENAPA TANGANKU BISA LEPAS DARI BORGOL?

"Rai? Apa yang kamu lakukan?" aku menatapnya bingung?

"Makanya, jangan kebanyakan nonton sinetron. Aktingmu bagus juga jadi tokoh sinetron, casting sana!" dan dia mengatakan itu semua sambil melihat isi pelurunya, kemudian mengembalikannya lagi, menembakkan pada ikatan Nadya dan Lussi yang sudah dalam posisi siap, dan mengacungkannya pada Pak Kepsek yang ada di ruang seberang.

"Hoi, aku tidak sedang ingin berakting. Semua yang kukatakan tadi murni pemikiranku sendiri. Kau juga punya keluarga sendiri, Rai."

"Ah, sayangnya percuma saja sepertinya mengorbankanmu. Toh, pastinya Pak Kepsek tidak akan membiarkan kami lolos semudah itu. Yah seperti ayahmu." dia menatapku sebentar, kemudian kembali menatap Pak Kepsek diseberang sana.

"Yah, setidaknya, kan, kalau aku mati, tidak perlu bertemu Bu Age.." aku memonyongkan bibirku

"APA?! Jadi itu alasanmu ingin mati? Bisa kok, kubuat mati sekarang." dia mendekatiku dan menjitakku, kemudian langsung menembakkan pistolnya ke kaca ruangan Pak Kepsek. Hm? Sepertinya Pak Kepsek sudah menghilang duluan. Salah Rai juga sih, harusnya tadi dia nembak ke Pak Kepsek dulu baru marah-marah. Makanya, emosian tu jangan dipelihara.

"Lagian kalau kau mati, tidak ada orang bodoh diantara kami." Rai, Lussi, dan Nadya tersenyum memunggungiku. Aku hanya bisa melongo, kemudian melompat memeluk mereka semua dengan haru. Lussi mundur tapi tetap tersenyum bersama kami.

===

"Yah, itu tadi drama yang bagus, tapi aku masih belum menghilangkan keinginanku untuk membunuh Saka Arjasa, lho." dari seberang sana, Pak Kepsek berjalan diikuti pengawalnya. Tahu-tahu, sudah lebih dari 17 orang mengepung kita di ruangan itu, dengan 2 bersenjata, tidak termasuk Pak Kepsek.

"Nad, Luss, mohon bantuannya." aku langsung dengan posisi siap untuk menembak, sasaran utama, pasti Pak Kepsek. Tidak peduli beberapa orang mengacungkan senjatanya padaku. Aku, Amarai Wardana sudah diberi pelatihan di organisasi ini, lho. Jangan remehkan aku.

"Sebenarnya untuk apa menargetkan Saka? Toh dia tidak bisa mengingat apapun, dan dia bodoh." aku menatap Pak Kepsek dengan geram.

"Yah, bagiku, musuh terkecil harus tetap dibasmi." dia duduk dengan santainya di kursi yang telah diambil penjaganya

"Rai, Rai, sungguh bodoh kau itu, harusnya kau bunuh saja dia, dan kalian bertiga bisa keluar dengan damai. Apakah thinker kita ini sudah dikuasai perasaan daripada logika?"

"Sejak awal memang aku tidak selalu bermain dengan logika. Aku tidak seperti orang tuaku." ya, bahkan orang tuaku sendiri yang berpesan padaku agar jangan mengikuti jejak mereka masuk organisasi ini. Kebetulan saja aku 'kecantol' mereka. *kebetulan macam apa?!*

"Ah, bagaimana dengan executive kita? Tidak ada yang mau membunuh Saka?" Pak Kepsek menatap kebelakangku. Ya, menatap Nadya dan Lussi

"Hah, jangan samakan aku dengan executive pengecut yang kusebut orang tua itu! Setelah tergiur dengan harta, mereka malah memintaku yang maju kepada organisasi. Mana sudi!" Lussi yang menimpali. Kata-katanya memang keras kurasa, tapi kenyataannya memang begitu.

"Hahahahahah, lucu sekali kalian ini." Pak Kepsek tertawa keras. Dia malah tertawa?! dia pikir kami membuat drama komedi untuk hiburan makhluk macam dia? Tidak sudi! Kalau membuat skenario kematian untuk makhluk itu aku akan mau memikirkannya, dengan senang hati. Maunya sih begitu, tapi dilihat dari kekuatan, jumlah, dan senjata jelas bakal susah nyiapin skenario kematian orang itu, skenario bertahan hidup saja mungkin agak ribet mikirnya, aku harus mikir ekstra untuk ini.

"Pak Kepsek!"

"Sak! Nggak usah bergerak! Kamu itu terluka!" Nadya memperingati Saka untuk tetap diam di tempatnya. Tapi sepertinya Saka nekad melakukannya.

"Pak.. kalau mau bunuh saya, jangan libatkan mereka! Kan, saya sudah masuk dalam jerat anda. Tolong bebaskan mereka!" Saka tetap nekad angkat bicara

"Hmmm. Sepertinya itu tawaran menarik."

Wussshhh! Ccrash! Der!

"WAARGHH!"

"APA-APAAN DENGAN ITU TADI?!" aku menoleh ke Pak Kepsek kemudian mengacungkan moncong pistolku ke arahnya. Bisa-bisanya dia menembak Saka?! Seneng banget, sih, nembak orang. Tapi, kok ya nembak pake senapan gitu lho? Mbok ya lebih romantis lagi. Pake bunga, kek?

"Ya untuk tawaran itu kamu harus menebusnya juga, kan, Sak? Nah, sekarang setidaknya tanganmu sudah tidak bisa melawan, haha."

"Rai. Pergilah, biar aku yang dia sekap. Sampaikan salamku pada Bu Age, ya?" aku melihat dia tersenyum. Senyum yang dari dulu tidak ingin kulihat.

"Sampaikan salammu sendiri! Kita akan kembali bersama!" aku menutup luka tembak Saka dengan kain, "Pegang ini, dan tunggu sampai urusan ini selesai!"

"Eeee.. kenapa dari tadi kalian membahas Bu Age?! Ini tidak sedang di sekolah, lho, kawan-kawan." Lussi yang dari tadi konsentrasi ke musuh, menoleh kearah kami bertanya-tanya. Sepertinya dia juga sudah mulai konslet.

Tidak ada dari kami yang masih waras disini. Nadya sudah dalam posisinya untuk melawan, status : menjadi gila. Belasan lebih orang dewasa dengan persenjataan melawan tiga orang remaja dengan persenjataan yang tidak jelas. Situasinya rumit, kusut sekali, pilihan hanya ada satu atau malah tidak ada pilihan. Maju melawan kemungkinan selamat tipis, diam dan menyerah paling nanti dibunuh juga. Lihat? Tidak ada pilihan! Saat begini, mungkin tidak ya, Pak kepsek tiba-tiba jantungan terus ambruk? Kan, kita jadi lebih gampang nglawannya.

Kalau sudah seperti ini, enaknya pake cara itu.

"Nad, Lus, mau nyobain sensasi tawuran nggak? Tawuran level dewa!" tanpa merubah arah pandang, sebuah ajakan penuh kenekatan aku berikan pada mereka.

"Hm.. Boleh juga. Aku sebenernya sering penasaan sama sensasi tawuran. Tapi, tuan ensephalon, kau ada rencana? Atau mau mode tanpa kewarasan?" sangar juga jawaban Lussi. Oke, bagus! Lussi siap. Nadya? Aku yakin dia selalu siap, lalu rencana?

"Rencana? Gak usahlah ya?" aku sempat tertawa pelan sebelum menjawab begitu, aku yakin sekarang kewarasanku sudah hilang entah keselip dimana

***
Kira-kira, Rai mau ngapain ya?

Tunggu chap selanjutnya ya!

Lyris SbN

Kesha Mutia

HUJAN DI MUSIM PANASWhere stories live. Discover now