C27 Panggilan Terakhir

30 1 24
                                    

"Aa.." aku berusaha memecah keheningan

"Aku.. bakal pikirin perkataan tadi, lagi.." aku menurunkan tangan yang membawa kalung, dan menutup mukaku dengan satu tangan, "Hm? Yang mana?" ehanjir, ni anak pake nggak paham. Bikin tambah malu!

"Y..yang tadi. Masalah dikasih restu." ughhh, aku benar-benar ingin kabur karena malu, tapi kuberanikan untuk melanjutkan kalimatku, dengan tegas, "Tapi aku tidak menerima kata pacaran." ku beranikan untuk mendongak dan melihat wajahnya. Ehhhhh??! Apa??

Wajah Aresh sekarang sudah memerah, sama sepertiku. Dia hanya menutup mulutnya, kemudian berjalan sedikit, dan berjongkok, "Ugh.. Lussi juga suka aku?! Alhamdullilah!"

"Apa, sih Resh! Jangan teriak. Aku malu!" aku kaget mendengar kata-katanya tadi, tapi.. seneng juga sih. Alhamdullilah.

"Luss. Kaya'nya kita nggak bisa ketemu dulu setelah ini." Aresh bangkit kemudian menatapku. Aku bingung, "Maksudnya?"

"Aku harus berjuang, biar aku bisa jadi imam yang kamu perlukan dan impikan." Aresh tersenyum, "Memang rencananya aku tidak ingin pacaran. Jadi, mau nggak, kamu nunggu? Jaminannya, kalung itu dulu."

Aku yang kaget, hanya bisa terpana dan membalas pertanyaannya dengan anggukan. Entah karena aku yang tidak memperhatikan wajahnya, atau bagaimana, ternyata Aresh memang ganteng dan–eh zina!

"Insya Allah. Jangan lupa sholat yang rajin." kataku tersenyum, yang dibalas dengan anggukan Aresh

"Waduh waduh, dua orang cowok cewek ngapain di luar itu, aduuhh bahaya ini, panggil polisi ah." apa?! Jadi dari tadi ada yang nguping? RAI?!

"Oh men, plis." Aresh yang sudah terlanjur malu hanya bisa mengelus dahinya

"kalo pacaran jangan disini, ganggu orang lain." sudah kubilang, aku tidak pacaran!

"Men, yang kau maksud ganggu orang lain itu, ganggu dirimu sediri ya?"

"Oh, dan kenapa aku harus terganggu?"

"Ya kan secara, elu jomblo tingkat tinggi, men, jadi wajar kalo terganggu. Maaf ya, pasti berat buatmu ya men?"

"Wah.. ternyata cowoknya minta mati ya?"

"Sudah sudah." Aku lebih baik mengakhiri percakapan minus manfaat itu. "Apa aja yang kamu tahu?"

"Nggak banyak kok, cuma setelah pria tadi pergi aja."

"ITU SEMUANYA!" kataku nggak woles hampir melemparkan kalungku ke Rai, "Ku kasih tahu Nadya perasaanmu, kapok!"

"Nadya udah ku kasih tahu. Nggak tahu dianya peka apa nggak." Rai membalas dengan tertawa dan menjulurkan lidahnya, "Tapi nggak kusangka, ternyata kalian udah kenal dari lama, toh? Eh Resh, kalo udah kenal ama dia, ngapain lu minta dikenalin sama cewek lain?"

"Bisa nggak itu mulut nggak usah ngumbar-ngumbar rahasia?!"

"Oh, jadi ternyata Aresh.." aku hanya menatapnya kaget, kaget yang dibuat-buat untuk menggodanya

"Nggak Luss, beneran. Itu karena di kantor yang ada cuma cowok terus, dan kamu nggak pernah dateng. Aku jadi kangen kamu. Aku aja bilang ke dia suruh cari yang alim, dan kebetulan banget dia bilangnya kamu."

"Masa'? cewek alim banyak lho."

"Udah lah Luss, percaya aja. Terima aja si Aresh. Dia kaya'nya kalo nggak sama kamu bakal ngehomoin aku. Masa' kamu rela cowok alim begitu jadi homo? Dan itu sekalian bebasin aku dari jerat homo dia." kata Rai sambil bersandar di pilar teras rumah makan

"Tenang men, jangan sedih, aku tidak akan melupakanmu kok."

"..Jijik."

"Terserah deh. Aku mau makan, tadi nggak jadi pesen." aku pura-pura mengabaikan Aresh, dan berjalan masuk ke rumah makan. Tapi, karena tidak tega, akhirnya aku memanggilnya juga.

HUJAN DI MUSIM PANASWhere stories live. Discover now