C3 Saatnya Sekolah

86 3 1
                                    

Anak itu memang, benar-benar, ya. Apakah dia tidak melihat dua tangan yang terulur untuk menyalaminya? Padahal dia, kan, nggak pake kacamata hitam.

Ah, sebenarnya, dua tindakan itu tadi tidak berpengaruh apapun. Kepalanya itu memang kepala batu secara harfiah, bukan kiasan. Dia memang pernah bilang padaku, kalau kelakukannya keterlaluan, pukul saja sampai berdarah. Herannya, Bu Age juga menerima hal tersebut ketika aku menyampaikan kepada beliau.

"Ah maaf, hari pertama kalian berdua harus disuguhi film horror." Aku beralih ke dua murid baru yang sekarang sudah benar-benar menempel di tembok seberang.

"Kenalin, namaku Rai, Amarai Wardana, dia Saka, Saka Arjasa. Jangan hiraukan perilakunya, dia memang begitu."

"Ah iya, nggak papa, tapi kaya'nya temenmu itu butuh perawatan. Namaku Lussi, Lussiana Sakti." Aku melihat ada yang lain dengannya. Apa ya?

"Kalo aku Nadya, Nadya Mustika. Salam kenal." hmm, kenapa temannya yang satu ini tidak terpengaruh? Apa memang itu inner beautynya si Lussi?

"Oke, kalian semua sekarang duduk di tempat kalian masing-masing. Untuk Lussi dan Nadya bisa duduk di belakangnya Rai dan Sak- anak itu kemana?!" Bu Age seketika menyapu pandangan ke seluruh kelas, pandangan terakhir jatuh di aku. Otomatis aku harus mencari anak itu.

Dasar bocah!

***

"Ah, sepertinya aku melakukan hal yang keterlaluan. Sampai Rai saja memukulku dua kali." Aku berguman kepada diriku sendiri.

"Ah, darahnya tambah banyak." Aku memegang bagian belakang kepalaku. Jujur, itu nggak sakit.

"Dibersihin dulu, deh. Baru diobati." Aku bersiul sambil melangkahkan kakiku ke UKS.

Sampai di UKS untuk pria, aku langsung melepas seragamku. Kemudian membasahi kepalaku di wastafel UKS. Baru saja aku hampir selesai mencucinya, aku dengar pintu UKS dibuka dengan keras.

"SAKA ARJASA!"

Aduh, saking kagetnya, aku membentur kran wastafel, tepat di bagian yang terluka. Ngilu oy.

"Rai, kamu tau." kataku tanpa menatapnya, aduh. Sakit banget ini.

"Apa? Waktunya kamu kembali kekelas, dan apa-apaan sikap setengah telanjangmu itu?"

"Ini krannya nancep di kepalaku."

"APA?!"

***

Sebenarnya, aku ingin tertawa kencang seandainya tidak kulihat tubuhnya yang gemetaran dan cengkeramannya di bak wastafel. Aku buru-buru mengambil beberapa obat yang bisa ku raih di kotak P3K.

"Sini." Aku membantunya agar dia tidak mengenai kran dua kali. Kemudian mendudukannya di kursi, mengelap lukanya dengan kain yang kutemukan di atas tempat tidur, dan mengolesi lukannya dengan obat yang tadi ku ambil."

"Rai, kok panas, ya?"

Hah? Aku melihat label obat tersebut, anjir, disitu ditulis

"MINYAK URUT"

"Ah, sepertinya aku salah ambil."

"Nggak papa, cuma perih aja." Ini anak kulitnya badak kali, ya? Meski begitu, dia tak memarahiku. Tumben sekali anak ini tidak protes padaku.

"Tunggu Rai, yang kamu bawa itu seragamku, kan? Kok ada bercak darahnya?" Dia menatap kain yang aku pegang. Tunggu, ini bukan kain.

Inikan seragamnya dia?!!!

"Ah biarin deh, paling tadi ada bagian tubuhku yang luka juga." Kenapa dia tidak sadar dan segoblok itu, sih?

"Orang normal kalau ketancep kran biasanya langsung mati, loh. Kok, kamu belum ada tanda-tanda?" aku membantunya memasang perban. Kali ini tidak salah, karena aku memang selalu benar, kecuali kalau aku salah.

HUJAN DI MUSIM PANASWhere stories live. Discover now