BAB 13.2 : TANGHI

351 57 7
                                    

Akademi Kumala Santika, 12.00 WITA

"Hao Apai, Nama berita Indai enggau Apai? [Bapak, bagaimana kabar Ibu dan Bapak?]" begitu kalimat pertama yang terlontar dari mulut Nara ketika panggilan video ponselnya tersambung dengan ponsel ayahnya.

"Apai bai-bai! [Bapak baik-baik saja kok!]" jawab ayahnya, seorang pria bermata sipit dengan rambut yang mulai beruban sambil tersenyum lebar kepada Nara.

"Mana Indai?"

"Masih tidur," ayahnya mengarahkan ponselnya ke arah sosok wanita yang berwajah pucat, kurus, dan rambutnya telah habis itu. Wanita yang tak lain adalah ibu Nara itu tampak tidur dengan pulas dan Nara pun paham kenapa ayahnya tak mau membangunkan ibunya.

"Habis kemoterapi tadi pagi," kata ayahnya lagi, "Enam kali kemoterapi semoga sudah bisa operasi. Nama berita Nara?"

"Bai!" jawab Nara sambil berusaha keras tidak berekspresi sedih apalagi menangis.

"Ah, dokter panggil Apai, mau jelaskan hasil katanya. Apai pergi dulu ya? Nanti malam kalau kamu tidak sibuk belajar, telepon Apai lagi saja, ya? Apai di sini terus sampai lusa kok!"

"Oke, sampai jumpa lagi Apai!"

"Nara!" tiba-tiba terdengar seseorang memanggilnya.

"Oka?"

"Kamu nggak apa-apa?"

"Ng-nggak! Kenapa? Ada panggilan tugas?"

"Ya," Oka mengangguk, "Giliran kamu dan Sitanggang! Kabut darah sudah muncul!"

"Oke, pamitkan aku di kelas ya?"

"Oke!"

******

Pantai Timur Tanjung Paser, 12.40 WITA

Ketika Nara dan Sitanggang tiba di pantai, mereka mendapati satu-dua Layon – Kroda berwujud seperti mayat hidup dengan kulit kelabu dan licin serta berbau seperti ikan busuk – sudah bermunculan di bibir pantai.

"Aduh! Sudah muncul saja!" keluh Sitanggang yang langsung membuka kotak logam yang ia bawa di atas jok motornya, "Nara? Urus mereka dulu ya? Aku mau taruh meriam gattling di pantai!"

"Siap!" Nara langsung mengeluarkan pistolnya dari kompartemen zirah di bagian paha kanannya lalu menembak kedua Layon yang hampir sampai di bibir pantai itu tepat di kepala mereka.

Dua kroda itupun langsung rubuh, tapi sejenak kemudian Nara merasakan ada hawa tidak mengenakkan menguar dari balik kabut darah itu. Nara langsung mematerialisasi terabi – perisai – miliknya untuk menangkis sesuatu yang mungkin saja muncul dari dalam kabut itu tapi ia tampaknya kurang cepat.

Baru saja terabi miliknya usai bermaterialisasi, sebuah kekuatan yang setara hantaman truk gandeng langsung menghantam Nara sampai-sampai gadis berzirah kuning itu terpental sampai jalan raya yang jaraknya beberapa meter dari bibir pantai.

"Nar? Kenapa? Ada apa?" Sitanggang yang sudah usai mengaktifkan meriam gattling terkejut karena Nara sampai terpental begitu.

"Antu Jai!" kata Nara.

"Apa?!" Sitanggang kebingungan karena tidak paham bahasa Nara.

"Ada roh jahat!" Datu Merah menerjemahkan maksud perkataan Nara untuk Sitanggang, "Ada kroda kuat menerobos kemari tapi wujudnya belum tampak!"

Sitanggang langsung mematerialisasi tongkatnya sekaligus menarik keluar pistolnya dari kompartemen senjata. Matanya nyalang waspada, sementara baik Datu Merah dan Sarita hening berkonsentrasi.

Lokapala Season 1 : Usana | #Wattys2018Donde viven las historias. Descúbrelo ahora