BAB 8.5 : PANCA MUKHI

605 76 19
                                    

Dorongan kekuatan yang amat kuat segera saja melemparkan Toka bersama keempat Lokapala keluar dari gedung setengah jadi itu. Kelimanya jatuh berguling-guling di pelataran parkir dan Ignas yang pertama kali mampu berdiri dibuat terkejut dengan runtuhnya bangunan yang masih dalam proses konstruksi itu.

Semua yang ada di sana memicingkan mata mencari-cari tanda-tanda keberadaan Mahapati atau Kroda berbentuk tokek barusan itu. Tak butuh waktu lama mereka menemukan satu dari dua makhluk yang mereka cari. Si Tokek, namun kali ini wujudnya membesar menjadi 1,5 kali ukurannya semula. Ada aura panas memancar di sekelilingnya, bahkan keempat Lokapala yang berdiri agak jauh itupun bisa merasakannya.

Keempat Lokapala itu bersiaga untuk menyerang, masing-masing telah menghunus senjatanya namun kesiagaan mereka ternyata kurang cepat. Lidah Si Tokek menyambar tubuh Tino yang dirasuki Toka lalu melontarkan anak malang itu tinggi-tinggi ke angkasa.

"TINO!" Regina langsung panik ketika membayangkan apa jadinya jika tubuh anak yang sudah menderita kanker stadium akhir itu membentur tanah dari ketinggian seperti itu. Dan karena pikirannya terpecah, Regina lagi-lagi tak sempat menghindar ketika Tokek menghantam dirinya dan timnya lalu melontarkan mereka ke arah berbeda sehingga terpencar.

Sementara itu tubuh Tino yang tadi terlemparkan tampaknya sudah akan segera membentur tanah tanpa terelakkan lagi. Namun kemudian datanglah seorang prajurit berzirah hitam yang langsung melompat dari mobil jeep yang ia kendarai dan menangkap tubuh Tino yang dirasuki Toka tepat pada waktunya.

"Lari!" begitu perintah Panji, "bawa Tino jauh-jauh dari sini."

Toka mengangguk dan langsung berlari menjauh meski sesekali masih menoleh ke belakang, berharap gurunya itu mau menghentikan aksi tidak warasnya itu.

Panji sendiri pun langsung mengeluarkan senjata Sika Warak dan mulai menyerang Tokek yang telah membesar itu. Namun belum sempat serangannya masuk, lidah Si Tokek sudah menyambarnya dan melemparkannya ke tumpukan kayu dan batako yang ada di pelataran parkir.

"Nji! Ose tuh mikir apa sih?" omel Regina di visor Panji, "tenaga Warak kan belum sepenuhnya pulih, kok ose malah nekat maju perang sih?"

"Kalian berempat juga nggak bisa ngalahin dia tanpa aku kan?" balas Panji.

"Harusnya bisa kalau bukan karena dihalangi Toka dan dua cowok tidak berguna ini tadi!" sahut Nara yang masih kesal niatnya tadi dihalangi Toka dan teman-temannya.

"Sudah! Ayo bentuk lingkaran mengelilinginya, lalu masukkan magasin warna ungu di kompartemen kiri kalian ke pistol laser masing-masing!" seru Panji memberi perintah.

Keempat temannya segera menuruti perintah Panji sementara Si Tokek itu masih menatap mengancam kepada segenap lawannya. Benar saja, sekali lagi lidahnya melesat dan nyaris saja mengenai Nara kalau saja Nara tidak gesit menghindar.

"Semua pada posisi, Panji!" ujar Regina melaporkan.

"Semua Tuan-Tuan Usana, mohon bantuannya!" ujar Panji sembari memasukkan magasin warna ungu ke dalam pistol lasernya dan diikuti pula oleh empat temannya.

"Panca Mukhi Usana – Lima Jalur Serangan Usana!" seru kelimanya bersamaan.

Berkas laser sesuai warna zirah masing-masing dari mereka langsung melesat ke arah Si Tokek. Si Tokek tampak menggeram namun sekilas tak nampak terlalu terpengaruh namun setelah beberapa detik erangannya makin keras dan ... *BUM*, Kroda itupun meledak menjadi serpihan-serpihan daging berdarah yang bertebaran di sekeliling kelima Lokapala itu.

******

Taman Hiburan Rainbow Land, Tanjung Paser, 3 hari berikutnya

Panji dan Empat Lokapala lainnya bersama dengan Oka dan Profesor Denny serta Dokter Janggan sudah berada di taman bermain ini sejak 2 jam yang lalu. Tidak, tidak, mereka tidak ada di sini untuk liburan. Kehadiran mereka di sini tak lebih hanya untuk sekedar mendampingi Tino yang bersama dengan kedua orangtuanya dari Kota Baru mencoba aneka permainan di sini mulai dari komidi putar, sampai roller coaster. Raut ceria tergambar jelas di wajah Tino yang keinginannya sudah terpenuhi. Sementara Panji dan kawan-kawannya berusaha mati-matian untuk tampak ceria pula meskipun itu sulit bukan main sebab mereka tahu hidup Tino tak lama lagi.

"Nah, Tino mau naik apa lagi nih?" tanya ibu Tino, seorang wanita yang katanya berprofesi sebagai penjual kue di Kota Baru sana kepada Tino yang masih bersemangat.

"Tino mau duduk dulu di sana sama kakak-kakak, Ibu dan Bapak beliin es krim dong di sana!" Tino menunjuk kedai es krim yang letaknya jauh dari tempat dia ingin duduk.

"Ya sudah, Pak, Mas, Mbak, saya titip Tino dulu ya," ujar Sang Ibu sembari mendudukkan Tino di bangku taman berwarna putih itu.

Ayah dan Ibu si anak pun beranjak pergi sementara Denny dengan penuh selidik melirik Tino yang sejatinya raganya tengah dirasuki Toka.

"Tino mau pamit, sama Pak dokter, Pak Denny, dan kakak-kakak semua," ujarnya polos, "Toka bilang sudah nggak bisa lagi panjangin umur Tino dan dianya sendiri juga mau pulang. Nanti sampaikan salam Tino ke Bapak dan Ibu ya?"

Dada semua yang hadir mendengarkan ucapan perpisahan seperti itu terasa amat sesak. Apalagi ketika sosok Toka kemudian keluar dari tubuh Tino dan perlahan mewujudkan wujud astralnya menjadi sosok bocah berkain satin merah lalu melirik kepada lima anggota Lokapala dengan tatapan sayu. Para Usana pun turut mewujudkan roh astral mereka dan turut berdiri menatap Toka tanpa kata-kata.

"Saya mohon pamit, terima kasih atas bantuan Rama Warak dan teman-teman. Maaf jika saya banyak merepotkan," Toka membungkuk memberi hormat sebelum akhirnya membentuk portal pusaran hitam dan hendak memasukinya namun urung ia lakukan.

"Kenapa kamu tidak segera masuk?" tanya Panji.

"Tino barusan pamit, dia sudah pergi," kata Toka lirih.

Kontan saja semua mata yang tadi mengarah ke Toka langsung balik menatap tubuh Tino yang tampak tertidur di bangku taman. Dokter Janggan segera berinisiatif memeriksa nafas, denyut nadi, dan melakukan resusitasi (pemijatan jantung) namun tidak berhasil membawa Tino kembali.

Panji pun mendekat ke jasad Tino yang mulutnya tampak menyunggingkan senyum sambil berujar, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un wa inna ila rabbina lamunqalibun. Allahumma uktubhu 'indaka fil muhsinin waj'al kitabahu fi 'illiyyin. Wakhlufhu fi ahlihi fil ghabirin wala tahrimna ajrahu wala taftinna ba'dahu."

******

Terjemahan :

Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali dan kepada Tuhan kami semua akan kembali. Ya Allah! Tulislah dia (yang meninggal dunia ini) ke dalam golongan orang-orang yang berbuat kebaikan di sisi Engkau dan jadikanlah tulisannya itu dalam tingkatan yang tinggi serta gantilah ahlinya dengan golongan orang-orang yang pergi dengan ketaatan Pada-Mu

******

Dan ketika orangtua bocah itu kembali, menilik dari tatapan sendu para hadirin yang ada di sana, tak perlu repot-repot bagi Dokter Janggan untuk menjelaskan bahwa putra mereka telah berpulang ke Rahmatullah. Tangis Sang Ibu langsung pecah, dihampirinya jasad anaknya dan dipeluknya erat-erat sementara Sang Ayah mencoba tegar dan tidak menangis meskipun hatinya perih juga. Panji dan teman-temannya mau tak mau merasa terenyuh pula menyaksikan pemandangan itu. Anak sekecil itu telah menunjukkan keberanian yang luar biasa, yang bahkan mungkin tak mampu mereka tunjukkan apabila mereka berada dalam posisi Tino. Dada mereka semua terasa sesak bahkan Ignas pun tak kuasa untuk tidak menangisi kepergian Tino.

Toka sendiri? Setelah berpamitan ulang dengan para Usana dan Lokapala ia pun segera masuk ke dalam portalnya dan menghilang, namun di dalam perjalanannya kembali ke rumahnya, mau tidak mau ia turut menangis pula. Menangisi teman kecilnya yang pemberani, yang mau mengorbankan dirinya untuk ia pakai sebagai wadah dan menemaninya dari Kota Baru sampai Tanjung Paser untuk tujuan yang ternyata sia-sia. Toka berharap ia dapat membalas budi dengan memperpanjang hidup anak itu, tapi ternyata tak dapat. Tubuh anak itu sudah terlalu rusak untuk diperbaiki oleh kekuatannya sekalipun. Toka berharap kondisinya lain, namun apa daya, hanya Sang Liyan yang berkuasa atas segala sesuatu di bawah kolong langit.

Lokapala Season 1 : Usana | #Wattys2018Where stories live. Discover now