BAB 8.1 : TOKA

554 71 2
                                    

Tanjung Paser, 22.00 WITA

"Tekek! Tekek! Tekek!" suara tokek menggema di sebuah ruang kamar hotel di mana sepasang suami istri berusia paruh baya tengah mencoba tidur. Tapi suara binatang yang masih satu genus dengan cicak itu benar-benar mengganggu mereka, terutama bagi sang suami. Sang suami, seorang pria dengan rambut sudah menipis dan telah berwarna abu-abu itu langsung beranjak bangun dengan sebal dan berjalan menuju panel yang berfungsi sebagai telepon dan langsung mengkontak resepsionis.

"Selamat malam Bapak, ada yang bisa saya bantu?" sapa resepsionis yang wajahnya terpampang di layar itu.

"Dengar ya Mbak! Saya dan istri amat lelah dan besok kegiatan kami padat, tolong kirim orang untuk hentikan suara tokek gila itu!"

"Baik Bapak, petugas kami akan mencoba menangkap tokek itu. Mohon bersabar sebentar."

*****

Seorang petugas pemeliharaan gedung hotel yang seharusnya sudah hampir pulang dipaksa oleh pihak resepsionis mencari dan 'mendiamkan' tokek yang mengganggu tidur seorang tamu. Bowo, nama petugas itu, sudah menguap berkali-kali karena sudah sejak pukul 7 pagi dia ada di gedung ini untuk memperbaiki pipa air yang sempat rusak dan sekarang saat dia sudah hendak pulang, pihak hotel masih saja membebaninya dengan tugas tambahan menangkap tokek. Alasannya hanya dialah satu-satunya petugas pemeliharaan yang masih ada dan mustahil ada office boy yang cukup cakap dalam menangkap hewan reptil itu.

Bowo, pria bertulang pipi menojol, dan rambut kaku berminyak itu lantas mengambil sebuah galah dengan sebuah jaring di ujungnya. Galah itu biasa dia pakai untuk menurunkan bangkai burung atau kalong yang nyangkut di tiang penangkal listrik hotel dan sekarang dia akan pakai galah itu untuk menangkap tokek sialan itu. Suara tokek itu asalnya dari atap. Untuk menuju atap sendiri ada dua cara, lewat tangga atau pakai lift. Tapi mustahil bawa galah sepanjang itu masuk lift, sehingga terpaksalah Bowo naik tangga.

Ketika Bowo sampai di atap, ia segera menyalakan senter dan menyorot tempat di mana suara tokek itu masih nyaring terdengar. Alangkah terkejutnya pria berusia kepala empat itu ketika menyaksikan tokek sumber suara itu.

Tokek yang ia lihat bukan tokek biasa yang paling besar berukuran 30 cm. Tokek yang ia lihat adalah reptil mirip cicak berkulit coklat kasar berbintil yang ukurannya setidaknya 2 meter. Mata bulat reptil itu mendelik ke arah Bowo dan pria itu cepat-cepat menjatuhkan galahnya dan berusaha kabur secepat mungkin dari tempat itu.

Sayangnya ia kalah cepat dari Si Tokek. Tokek itu merayap bak biawak dengan kecepatan setara kecepatan lari manusia lalu menggigit Bowo tepat di kakinya. Pria itu langsung mengaduh, menjerit, dan meronta namun ia tak lupa mengaktifkan HT-nya, mencoba meminta pertolongan.

"Tolong-tolong-tolong!" begitu pekik Bowo di HT-nya.

Si Tokek itu tampaknya sadar bahwa korbannya tengah meminta tolong. Maka dari itu ia segera merayap mundur sambil terus menggigit kaki korbannya lalu ia merayap menuruni dinding hotel dan menjatuhkan Bowo dengan melepaskan cengkeraman rahangnya. Pria itu langsung menjerit sejadi-jadinya.

"TOOLOOONG!!!"

Sebelum mendarat keras di atap sebuah mobil station-wagon, kendaraan operasional hotel, sampai alarm mobil itu berbunyi, atapnya penyok, dan seluruh kacanya pecah ditimpa tubuh yang dijatuhkan dari tingkat 30 itu.

Tubuh itu jelas sudah tak bernyawa, dan di puncak gedung, Si Tokek Raksasa menatap tubuh tanpa jasad itu selama beberapa waktu sebelum merayap ke sisi kanan gedung tersebut dan melompat turun ke arah pelataran parkir yang sepi. Tokek itu bersembunyi di balik pepohonan, menjauh dari pandangan para petugas keamanan yang tergopoh-gopoh meninggalkan posnya menuju keributan yang ditimbulkan alarm mobil itu. Segera sesudah itu ia kembali berlari menuju taman kota yang telah sepi.

"Rama Guru hendak ke mana lagi?" tegur seorang anak lelaki yang telah berdiri di jalanan berpaving di taman itu.

Tokek itu melirik ke arah anak itu, pupil matanya tampak melebar, mulutnya terbuka, menampilkan lidahnya yang berwarna merah muda dan dihiasi sedikit bercak darah milik korbannya barusan.

"DIAM!" kata Si Tokek itu dengan nada marah, "BUKAN URUSANMU TOKA!"

"Mohon maaf Rama Guru! Jangan berkata seperti begitu pada murid Guru ini. Toka hanya ingin membantu Rama Guru, jadi Rama Guru tak perlu melakukan hal seperti ini lagi."

"HA! MEMBANTU? MEMBANTU KATAMU?!" nada suara dari dalam mulut Si Tokek terdengar semakin meninggi, "BISA APA KAMU!"

"Rama Guru, tolong jangan terburu terbawa amarah. Sebab kata Guru Eka sebaiknya ...," perkataan si bocah berbaju kain satin merah itu tak berlanjut sebab ia sudah dijerat lidah Si Tokek yang menjulur keluar. Si bocah berbaju kain merah itu langsung dilemparkan jauh sekali ke arah timur. Sementara itu Si Tokek itu kembali merayap cepat menembus kegelapan menuju tempat yang tidak diketahui.

******

Panji sedang berpatroli bersama Ignas malam itu. Suasana Tanjung Paser tampaknya tenang-tenang saja. Sedari tadi mobil jeep yang ia kemudikan telah mengelilingi seputaran sisi selatan kota dan tidak tampak keanehan. Ignas yang berpatroli di sisi utara juga tidak melaporkan keanehan. Tapi segera aja Usana Warak yang berbagi hak kontrol atas baju zirahnya ini tiba-tiba menyuruhnya berhenti ketika ia melintasi sebuah lapangan tenis yang sudah ditutup.

"Ada apa Warak?" tanya Panji yang kaget karena tiba-tiba Warak mengambil alih kontrol kaki kanannya dan memaksanya mengerem mobil jeep militer ini.

"Turun Panji! Ada yang butuh bantuan kita!" ujar Warak.

Panji pun langsung menurut dan membuka pintu jeepnya lalu turun menuju lapangan tenis yang seluruh lampunya telah dimatikan itu. Sensornya menangkap ada seseorang di sana dan orang itu tampak terbaring sambil menggeliat-geliat. Panji berjalan menuju pintu masuk lapangan dan mendapati pintu itu telah dikunci oleh gembok dan rantai. Langsung saja Panji menghubungi Oka di ruang kontrol.

"Oka, aku lihat ada orang yang kayaknya terluka di lapangan tenis 'A'. Tapi pintunya dirantai dan digembok. Boleh minta izin menerobos?"

"Diizinkan, Sersan Mayor Panji, silakan terobos!" kata Oka.

Tangan Panji segera mencengkeram rantai yang melilit pintu itu dengan jeruji-jeruji lalu dengan satu tarikan, rantai pengunci itu putus berantakan. Panji segera membuka pintu lapangan dan masuk ke dalamnya lalu menghampiri bocah berbaju satin merah serta bercelana terompah hitam yang terbaring di sana.

"Hei, Dik! Dik! Kamu tidak apa-apa?"

"Ra-Rama Warak?" sebut anak itu ketika melihat Panji dalam balutan zirah Lokapala.

"Toka?" kali ini Warak yang menyahut dengan nada penuh keheranan, "sedang apa kamu di sini?"

"Saya ... menyusul Rama Guru saya yang pertama. Beliau dalam kesulitan. Augh!" bocah itu memeganginya dadanya yang sakit.

"Bicaranya nanti saja," kata Panji yang lekas mengangkat tubuh bocah bernama Toka itu dan membawanya ke mobil, "kita bawa dia ke Unit Lima dulu!"

"Bu-bukannya kita harusnya bawa dia ke IGD?"

"Di rumah sakit, Le! Raga anak ini selamat tapi Usananya di dalam raganya keburu tewas! Kau mau hal itu terjadi?"

Panji hanya diam menyadari dia tidak sempat berpikir sampai ke situ.

"Laporkan pada Denny, kalau ada bocah yang dirasuki Usana terluka dan butuh pertolongan kita, Panji! Denny bakal histeris kalau kita bawa dia sembarangan masuk Unit Lima. Bisa-bisa Denny bunuh dia kalau Denny pikir Toka ini Kroda!"

Lokapala Season 1 : Usana | #Wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang