Saran Dari Mereka

Start from the beginning
                                    

“Nggak kok, Be. Kamu baru pulang?”

“Iya, Pa. Tadi kerjaan numpuk banget. Ke kafe sebentar sama Nayla, terus ngantar Nayla pulang dulu.”

Ia melepaskan helm, lalu menyalami Bram. Bearista bergegas membuka pintu rumahnya, lalu mempersilakan Papa Bram masuk ke rumahnya.

“Be ... Papa ingin bicara sama kamu.”

“Boleh, Pa. Tapi tunggu dulu, Papa mau minum teh apa kopi?” tanya Bea.

“Kopi aja.”

Kesukaan kedua papanya ini berbeda, jika berkunjung ke kontrakan Bea. Alex lebih menyukai jus jeruk, sedangkan Bram lebih suka kopi.

“Bea bikin kopi dulu, baru kita bicara.”

Bea dengan segera masuk ke  dapur. Tidak perlu lama untuk membuat kopi, Bea kembali sembari membawa kopi Papa Bram.

“Papa ke sini hanya ingin bertanya.”

Dahi Bea melipat, tumben papanya ingin bertanya. Dilihat dari raut wajahnya, seperti serius sekali. “Ada apa, Pa?” tanya Bea penasaran.

“Apa kamu serius dengan perjodohan ini?”

Bearista terdiam. Mengapa hari ini ia selalu ditanya tentang hal ini. Tadi di kantor saat ia curhat dengan Nayla, Nayla pun menanyakan hal yang sama.

“Kamu bisa menolaknya Bea. Kalau kamu nggak berani nolak, Papa siap membantu kabur.”

Ucapan Bram tentu saja membuat Bea terkejut. Bukankah selama ini Papa tidak terlalu peduli dengan Bea? Bahkan saat malam itu Bea meminta Papa Bram membawanya kabur, papa tirinya tidak merespon.

“Papa akan bawa kamu jauh dari sini,” tawar Bram.

Setelah dipikir-pikir, memang ada baiknya perjodohan ini dibatalkan. Awalnya Bram setuju, tetapi saat ia tahu bahwa Leli hanya pura-pura sakit membuat Bram berniat membatalkan, karena perjodohan ini hanya kebohongan para orang tua.

“Bea tidak bisa menolak, mereka berharap lebih pada kami,” ucap Bea.

“Tapi, Bea … Papa tidak mau kamu menyesal di kemudian hari.”

“Pokoknya semua akan baik-baik saja, Papa Bram doakan Bea, ya.” Bea mengakhiri obrolan tentang perjodohan. Sungguh Bea pusing karena masalah ini.

“Baiklah jika kamu maunya seperti ini, Papa pasti mendoakan kamu ....”

“Terima kasih, Pa ....” Bea memeluk ayah tirinya tanpa canggung. Walaupun mereka jarang berdekatan, tetapi Bram selalu baik pada Bea.

“Jangan lupa untuk meminta restu Papa Alex.”

“Rencananya besok kita ke sana, Pa,” jawab Bea.

“Bagus, itu baru anak Papa. Kalian pergi tanpa Papa suruh.”

“Pasti, Pa. Kan kalian semua Papa Bea,” sahut Bea. “Papa makan malam di sini ya, sama Bea.”

“Nanti Papa merepotkan.”

“Nggak dong,” jawab Bea.

***

Lima hari yang ditunggu. Abid mendarat setelah lima hari berturut-turut menjalankan tugas. Lelah dan kantuk Abid rasakan, untung ia selalu meminum vitamin untuk menjaga daya tahan tubuh. Kalau tidak, mungkin saat ini sudah berbaring lemah di kasur. Ia takut berkendara dengan keadaan seperti ini. Abid meminta bantuan Rio—sahabatnya—karena Firman sibuk dengan pekerjaannya sebagai CEO salah satu stasiun televisi. Sedangkan Meliana sibuk dengan anak-anaknya. Abid tidak mau merepotkan mereka. Saat di hotel tempat kru penerbangan beristirahat Abid malah sulit terpejam, memilih menonton film.

“Kapt, mau bareng?” tawar Rayhan.

“Nggak, Han. Saya dijemput,” jawab Abid.

“Oh, begitu. Kalau begitu saya duluan, Kapt. Hati-hati di jalan.”

Thanks, Han. Kamu juga hati-hati.”
Abid masih menunggu Rio yang belum menampakkan kehadiran. Mungkin jalanan macet, apalagi jam lima sore adalah waktu pulang kantor. Abid memilih duduk di salah satu tempat tunggu. Tidak lama kemudian, Abid mulai lega karena telah melihat Rio yang berjalan ke arahnya.

Sorry lama,” ucap Rio.

“Santai aja, Ri. Diantar siapa?”

“Istri, mana kunci mobil lo?”
Rio sengaja tidak membawa mobil sendiri, agar mobil Abid bisa dibawa pulang. Abid menyerahkan kunci mobil miliknya dan mereka mulai meninggalkan bandara.

Sorry ya, selalu ngerepotin. Terima kasih banyak, Ri,”  ucap Abid sungkan.

“Kita temanan berapa lama? Sampai bilang ngerepotin.”

Abid tersenyum, memang dari dulu hanya Rio yang bisa ia andalkan.  “Baby Embul siapa yang jaga?” tanya Abid.

“Ada Mama datang ke rumah, beberapa hari ini Nania muntah-muntah terus,” jawab Rio. Baby Embul sebutan untuk anak Rio yang berumur delapan bulan. Walaupun baru delapan bulan, badannya sangat berisi. Abid menyebutnya baby embul. Sedangkan Nania adalah istri dari Rio.

“Jangan bilang Nania isi lagi?”

“Pas diperiksain positif, Ab,” ujar Rio santai.

“Hamil lagi!” Abid tak menyangka. Padahal baby embul baru delapan bulan, bisa-bisanya mereka memberi adik. Terlalu dini menurut Abid.

“Nania nggak mau ikut KB, jadi risikonya hamil lagi. Nggak bisa maksa juga.”

Abid menggeleng tak percaya. “Harusnya nunggu si baby satu tahun atau dua tahun biar mendingan. Lagian nggak bisa menahan diri, kasihan Nania.”

“Sudah terlanjur, Ab. Nikmatin aja. Banyak anak banyak rezeki, kasih sayang kita ke baby embul nggak bakal berkurang,” ucap Rio.

“Lo yakin mau menikah, Ab?” tanya Rio. Rio ingin memastikan sendiri Abid benar-benar siap. Ia tahu Abid pria baik meski baru saja ditinggal Gea, Abid tidak akan menjadi brengsek dengan perempuan lain.

Abid hanya menjawab dengan gumaman.

“Sekiranya berat lebih baik jangan. Hati perempuan itu lemah, sekali menyakiti perempuan sama saja lo nyakiti Mama Leli. Pikirkan baik-baik, pernikahan bukan untuk mainan,” ucap Rio menasehati sahabatnya satu ini.

“Gue sama dia serba salah, mundur menyakiti, maju malah kita yang sakit. Dari dulu Mama adalah prioritas gue, kalu dengan pernikahan bisa membuat beliau bahagia maka akan gue lakukan,” jawab Abid.

I know ...  you are good man. Tapi, untuk sebuah pernikahan harus dipikirkan, Ab.”

“Doakan aja, semoga ke depannya membaik. Percuma nunggu Gea, dia nggak akan balik.”

-TBC-

Tinggalkan vote dan komentar. Terima kasih...

Instagram: Marronad.wp

Marronad

TraveLoveWhere stories live. Discover now