Kembali ke Keluarga yang Selalu Merindukanku

97 4 0
                                    

Pukul 11.35 WIB pesawat mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, dan 10 menit kemudian aku sudah keluar dari terminal kedatangan karena tidak ada barangku yang di bagasi. Aku lalu memanggil taksi dan segera meluncur meninggalkan bandara.
“ Mau kemana mas?”, tanya sopir taksi ramah.
“ Ke RS Pasar Rebo pak, kalau bisa agak cepat ya. Ingin segera beremu dengan ayah saya yang sakit di situ”.
“ Baik mas. Tenang saja, saya usahakan secepatnya tapi tetap mengutamakan keselamatan”, balas sopir taksi itu dengan sikap tenang. Dan benar saja, kira-kira 40 menit kemudian aku sudah sampai di RS Pasar Rebo.
Aku segera menuju bagian informasi menanyakan di mana ayah dirawat. Seorang bapak yang berjaga menyambut dengan ramah.
“ Maaf pak, dimana Bapak Fahrudin Hakim dirawat ? Saya anaknya”, tanyaku kepada petugas itu.
“ Oh, Pak Fahrudin yang kecelakaan angkot ya dik ?”, tanya bapak itu untuk memastikan.
“ Iya betul pak”, sahutku.
“ Pak Fahrudin di ruang ICU. Adik lurus saha kesana, mentok belok kanan, mentok lagi belok kiri. Nanti ada tulisan Ruang ICU besar-besar di sana”, uajr bapak itu memberi petunjuk. Setelah mengucapkan terimakasih aku pun bergegas menuju ruang ICU sesuai petunjuk bapak itu.
Ketika mulai menyusuri lorong yang menuju ruang ICU, di kejauhan kulihat ibu dan Nisa sedang duduk di sebuah bangku panjang di depan sebuah ruangan. Nampak ibu sedang membaca mush-haf Al Qur’an, sedangkan Nisa menyandarkan kepalanya di bahu ibu. Mereka tidak menyadari kedatanganku hingga aku mengucapkan salam kepada mereka.
“ Assalamu’alaikum...”, ucapku.
Keduanya langsung menoleh ke arahku dan serentak menjawab salamku, “ wa’alaykum salam...”.
Nisa langsung menghambur memelukku erat sekali dan mulutnya bergumam,” syukurlah abang sudah sampai dengan selamat”.
“ Kamu sehat-sehat saja kan dik ?”, tanyaku seraya mengelus kepalanya dan ia hanya mengangguk pelan. Sudah bertambah tinggi adikku ini, sekarang sudah sejajar pundakku.
Setelah Nisa melepaskan pelukannya aku lalu menghampiri ibu dan bersimpuh di hadapannya seraya mencium tangan ibu dan ibu kemudian mengusap-usap kepalaku. Aku kemudian bangkit dan duduk di samping ibu.
“ Di mana ayah dirawat Bu ?”, tanyaku. Ibu lalu mengajakku menuju ruangan dengan pintu kaca yang besar. Dari jendela kaca di samping pintu kami mengintip ke dalam.
“ Di ruangan bertirai itulah ayahmu di rawat”, ujar ibu seraya menunjukkan ruang yang dimaksud.
“ Kita tidak boleh masuk kecuali jika dipanggil perawat atau dokternya”, lanjutnya.
“ Bagaimana dengan kondisi ayah Bu ?”, tanyaku lagi.
“ Shubuh tadi ayahmu sudah sadar dan sempat mengqadha shalat tapi masih sangat lemah lalu tak lama kemudian tak sadarkan lagi. Kemudian jam 8 pagi tadi dia sadar lagi dan sempat berbincang dengan kami. Dia menanyakanmu nak. Dan tampak sangat senang ketika kuberitahu bahwa kamu sudah dalam perjalanan pulang naik pesawat. Dia terus tersenyum sampai kemudian kembali tidak sadarkan diri. Menurut dokter kondisinya memang sangat lemah tapi stabil dalam tidak bertambah parah. Dokter dan perawatnya tidak memebritahu secara detail kondisinya, hanya sebatas itu yang diberitahukan kepada ibu. Katanya mereka akan memberitahu secara detail kepadamu. Tapi perasaanku mengatakan kondisi ayahmu sangat parah sampai dokter tidak tega memberitahu kami. Setiap kudesak selalu bilang tunggu putra ibu datang”, ujar ibu dengan suara bergetar. Kulihat cairan bening mengalir perlahan di pipinya.
“ Sebaiknya kamu segera menemui dokternya, karena dia sudah menunggumu. Biar kita segera tahu bagaimana kondisi ayahmu yang sebenarnya. Kamu ketuk saja pintu itu, nanti ada perawat yang membukanya”, lanjut ibu.
Aku lalu bergegas mengetuk pintu kaca bertuliskan besar-besar “ICU” dan di bawahnya ada tulisan “ Steril Area, alas kaki harap dilepas”. Aku melepas sandalku dan tak lama kemudian datang seorang perawat membukakan pintu.
“ Ada perlu apa mas ?”, tanya mas perawat itu ramah.
“ Saya anak Pak Fahrudin ingin bertemu dengan dokter. Kata ibu, saya diminta segera menemui dokter sesampainya saya di sini”, jawabku.
“ Oh iya. Silahkan masuk mas. Memang sudah ditunggu-tunggu. Mari ikut saya”, ajaknya ramah. Aku lalu mengikutinya masuk ke sebuah ruangan di sudut sebelah kanan pintu masuk. Di dalamnya ada seorang dokter paruh baya yang sedang duduk membaca lembaran-lembaran kertas.
“ Ini dok putranya pasien atas nama Fahrudin sudah datang”, kata perawat tadi kepada dokter tersebut.
“ Oh, silahkan duduk mas. Mas siapa namanya ?”, sambut dokter itu ramah sembari berjabat tangan denganku.
“ Faiz dok”, jawabku singkat seraya duduk dii hadapan dokter itu.
“ Bagaimana kondisi ayah saya dok ?”, tanyaku.
“ Begini mas Faiz... Berdasarkan rangkaian pemeriksaan dan observasi yang telah kami lakukan, ayah Anda mengalami luka dalam yang sangat serius, terutama organ dalam rongga dada. Ada 3 tulang rusuk sebelah kanan dan 2 tulang rusuk sebelah kiri yang patah. Menurut keterangan polisi, ayah Anda ketika dievakuasi posisinya terjepit roda kemudi mobil. Kemudian ada trauma di kepala tapi tidak seberapa, memar-memar di kedua paha dan kaki, dan memar di bahu dan lengan kanan. Yang paling parah memang di bagian dada, sehingga menyebabkan pendarahan di dalam rongga paru-paru, trauma sedang pada jantung, dan trauma ringan pada liver. Organ yang paling parah rusaknya adalah paru-paru. Itulah mengapa yang beliau keluhkan pertama kali selalu sesak nafas dan sakit di dada ketika bernafas. Kami sudah mengeluarkan sebagian pendarahan di paru-paru, tetapi kami harus melakukannya sedikit demi sedikit untuk menghindari penurunan kondisi secara drastis”, dokter itu berhenti sejenak.
“ Lalu, kemungkinan untuk bisa pulih seberapa besar peluangnya dok ?”, tanyaku lagi.
“ Sebelumnya kami mohon maaf mas Faiz. Terus terang kondisi ayah Anda saat ini pada kondisi yang dilematis bagi kami. Peralatan di tempat ini terbatas, sementara untuk dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap peralatannya, kondisi ayah Anda masih sangat lemah. Untuk sementara ini yang bisa kami lakukan adalah menstabilkan kondisi beliau terlebih dahulu. Bila dalam 1 x 24 jam ke depan kondisinya terus stabil seperti sekarang ini, mungkin kami akan merujuknya ke RSUP Ciptomangunkusumo atau yang lainnya. Berdoalah semoga masih bisa tertolong”, terang dokter dengan tenang. Aku mengangguk-angguk mencoba memahami alur penjelasan dokter tersebut.
“ Dok, bolehkah saya melihat kondisi ayah ?”, pintaku.
“ Oh silahkan, tapi tidak bisa diajak bicara ya karena sedang tidur atau tidak sadarkan diri”, pesannya.
“ Baik dok, tidak masalah. Sebentar saja kok”, sahutku dengan tak sabar.
Dokter yang cukup ramah itu lalu membawaku ke ruangan di mana ayah dirawat. Begitu melihat kondisi ayah dengan kepala yag diperban, selang infus di pergelangan tangan kiri, selang oksigen di hidungnya, dan beberapa instrumen kabel yang dipasang di dada dan di ujung jarinya, aku tercekat. Air mataku menetes pelan. Ayah... bertahanlah, gumamku dalam hati. Terbayang dalam benakku berbagai kejadian penting dalam hidupku bersama ayah... Ah, sekarang ayah sedang terbaring tak berdaya.
“ Apakah jika sedang sadar ayah bisa diajak bicara dok ?”, tanyaku kepada dokter yang berdiri di sampingku.
“ Bisa, tapi pelan-pelan dan mungkin agak terbata-bata. Jadi sabar saja. Beliau memang berpesan kepada saya sewaktu sadar sebentar jam 10 pagi tadi, jika putranya sudah tiba beliau ingin bicara. Sepertinya Anda ini anak yang sangat beliau banggakan. Oh ya, Anda ini ada berapa bersaudara ?”.
“ Hanya dua bersaudara dok, saya dan adik perempuan saya yang bersama ibu di luar itu. Oh ya dok, saya rasa sudah cukup. Nanti bila sewaktu-waktu ayah sadar segera beritahu kami”, pungkasku.
“ Baik. Berdoalah semoga terus stabil sehingga bisa diambil tidakan lebih lanjut. Jika dilihat dari angka-angka dalam indikator ini, meskipun masih lemah tapi cukup stabil”, ujarnya sambil menunjuk ke alat atau indikator yang dimaksud. Aku lalu segera kembali menemui ibu setelah mengelap sisa air mataku yang mulai mengering.
“ Bagaimana kata dokter Faiz ?”, tanya ibu begitu aku duduk di sampingnya.
“ Alhamdulillah, meski kondisinya parah tapi saat ini sudah cukup stabil. Menurut dokter, bila dalam 24 jam ke depan bisa tetap stabil seperti saat ini, baru bisa diambil tindakan selanjutnya”, jelasku tanpa menceritakan kondisinya secara rinci.
“ Syukurlah kalau begitu. Agak lega ibu mendengarnya”, sahut ibu.
“ O ya bu, bagaimana dengan biaya perawatan dan pengobatan ayah ini ?”, tanyaku.
“ Alhamdulillah, sejauh ini semua ditanggung perusahaan truk yang menabrak ayahmu”, jawab ibu.
“ Syukurlah. Kalau begitu Faiz mau shalat dhuhur dulu bu. Ibu sudah shalat ?”
“ Sudah barusan sama Nisa”, jawab ibu sambil tersenyum. Aku lalu buru-buru pergi ke musholla rumah sakit yang tak jauh dari situ untuk menunaikan shalat dhuhur.
Selesai shalat dhuhur aku segera kembali menemui ibu dan Nisa. Sambil menunggu sampai ayah sadar lagi aku membuka tas dan mengeluarkan foto-foto dokumentasi kondisi desa dimana aku bertugas selama 9 bulan. Aku menunjukkannya kepada ibu dan Nisa dan menjelaskan tentang masing-masing foto. Dan aku hampir lupa tentang hadiah dari istrinya Pak Burhan. Aku lalu mengeluarkannya dan memberikannya kepada ibu, juga menyampaikan salam dari Pak Burhan dan Bu Farida. Kemudian aku juga memberikan hadiah pemberian Pak Yamin, dan terakhir aku menyerahkan tiga buah amplop pemberian Pak Kades, warga, dan Pak Burhan. Aku meminta agar ibu membantu menghitung isinya, karena aku sama sekali belum membukanya sejak menerimanya. Ongkos taksi tadi pun aku baru menggunakan uang saku yang kubawa dari rumah dulu karena selama ini untuk kebutuhan sehari-hariku pemberian dari Pak Burhan dan warga sudah lebih dari cukup.
Setelah kami menghitungnya, isi amplop dari Pak Kades berjumlah Rp. 1.000.000, dari warga berjumlah Rp. 3.000.000, dan dari Pak Burhan Rp. 1.500.000 sehingga totalnya ada 5,5 juta. Ibu tercengang dengan jumlahnya.
“ Banyak sekali ini nak. Ibu merasa bangga dan terharu, karena ini menandakan kehadiranmu di sana sangat berharga bagi mereka dan mereka sangat mencintaimu”, tutur ibu dengan mata yang berkaca-kaca. Mungkin ibu ingat bagaimana susahnya membesarkan aku dulu.
“ Faiz, tahukah kamu betapa ayahmu sangat gembira setiap kali habis berbicara denganmu di telepon dan mengulang-ulang ceritamu di depan kami berdua. Dia selalu berkata kepada ibu dengan bangga, “ Anak kita sudah dewasa dik, dan in sya Alloh kita telah memiliki tabungan di akhirat yang masih akan terus bertambah seiring semakin banyaknya manfaat yang dapat diberikan putra kita kepada Islam dan kaum muslimin”. Kulihat butiran bening menetes dari mata ibu. Aku pun terbawa ikut menitikkan air mata mengingat kondisi ayah saat ini.
Melihatku dan ibu menangis, Nisa yang sedari tadi asyik membuka-buka foto yang kubawa lalu duduk di sampingku dan merebahkan kepalanya di bahuku sambil bergumam, “ Apakah ayah masih bisa pulih bang ?”
“ Kita berdoa saja, semoga masih bisa pulih lagi”, ujarku sambil mengusap kepalanya. Dia mengangguk pelan dan kulihat air matanya pun menetes di pipinya. Kami pun larut dalam suasana itu untuk beberapa saat lamanya.

Angin dan BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang