Gadis yang Tersipu di Meja Makan

163 5 0
                                    

Suasana shalat Idul Fitri di lapangan pagi itu sangat semarak dan khidmat. Wajah-wajah bahagia nampak terpancar di mana-mana. Banyak di antaranya adalah wajah-wajah yang sudah biasa kulihat di masjid meski jauh lebih banyak yang belum. Mereka semua larut dalam kumandang takbir yang menggema dan sangat khidmat ketika mendengarkan khutbah Idul Fitri yang disampaikan oleh seorang ustadz dari kota Ambon. Setelah khutbah selesai semua warga saling bersalaman, berpelukan, dan saling mengucapkan selamat. Tak terkecuali diriku. Meski aku bukan penduduk sini tapi rasa kekeluargaan mereka sama terhadap diriku. Sejenak aku larut dalam suasana penuh kekeluargaan dan kehangatan itu, bercengkerama dan bercanda ria dengan mereka sampai Pak Burhan menghampiriku lalu mengajakku pulang.
Sesampainya di rumah aku langsung menuju ke kamarku dan langsung merebahkan badanku di atas kasur. Kubuka buku Tarbiyah Jihadiyah yang ada di meja tak jauh dari tempat tidur di mana aku menyelipkan sebuah foto keluargaku. Aku memandangi wajah ayah, ibu, dan Nisa di foto itu, lalu membayangkan aku sedang sungkem kepada ayah dan ibu, juga celoteh-celoteh Nisa yang periang. Ah... tiba-tiba rinduku kepada mereka begitu membuncah pagi ini. Tak terasa air mataku menetes, ketika  aku mengingat perjalanan yang telah kulalui hingga bisa seperti saat ini dan pengorbanan yang dilakukan oleh kedua orang tuaku. Terbayang kembali saat-saat kami susah dulu...
Ya Alloh ya Rabbal ‘lamiin... lindungilah dan jagalah mereka serta limpahkanlah rahmat dan ampunanMu kepada mereka. Aku sayang mereka tetapi Engkau tentu lebih menyayangi mereka. Yaa Allohu Yaa Rahman...jadikanlah apa yang sedang kulakukan di sini menjadi amal shalih bagiku dan amal jariyah bagi kedua orangtuaku. Aamiin...!
Aku meletakkan foto itu di dadaku dan memegangnya erat-erat, sementara mataku terpejam dan air mataku mulai berhenti keluar. Kemudian terdengar suara Pak Burhan memanggilku di depan pintu kamar. Aku segera bangkit membuka pintu sambil masih memegang foto keluargaku di tangan kiriku.
Melihatku demikian Pak Burhan tersenyum lantas memegang kedua pundakku dan berkata, “ kamu rindu dengan keluargamu Faiz ?”. Aku menangguk pelan.
“ Di sini kamilah sebagai pengganti keluargamu. Jangan sungkan dan jangan canggung lagi. Sekarang ayo kita makan bersama kami sebelum tamu berdatangan kemari. Yang lain sudah menunggu di ruang makan”, kata Pak Burhan seraya beranjak meninggalkanku. Aku lalu menutup pintu kamarku dan bergegas menyusul Pak Burhan.
Di ruang makan sudah menunggu istri Pak Burhan, Furqan, dan... sesosok gadis berjilbab besar warna ungu muda dengan wajah polos tanpa cadar. Aku seketika terkesiap, apalagi sepertinya mereka sedang menungguku. Dag dig dug jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat dari biasanya, aku mulai gugup.
“ Ayo Faiz, duduklah”, terdengar suara Pak Burhan menyuruhku duduk. Aku semakin gugup ketika menyadari satu-satunya kursi kosong yang tersisa adalah yang berhadapan dengan anak gadis Pak Burhan itu. Mau tidak mau aku pun duduk berhadapan dengan Fatimah. Debar jantungku serasa makin cepat ketika tak sengaja pandanganku beradu dengan mata bening Fatimah untuk beberapa detik, lalu buru-buru aku menundukkan pandanganku ke arah kakiku. Aku barusan seperti melihat sesuatu yang sangat indah yang belum pernah kulihat sebelumnya tapi tak dapat diungkapkan dengan kata. Wajahnya yang langsat dengan bola mata yang bening dan tatapannya yang teduh begitu menghujam kalbuku.
Aku mencoba menenangkan diriku dan dengan suara bergetar aku berkata kepada Pak Burhan, “ Maaf Pak Burhan, apakah saya boleh meminta agar putri antum bertukar tempat dengan Furqan agar tidak berhadapan dengan saya. Saya merasa tidak enak ini karena duduk berhadapan dengan putri antum”, pintaku kepada Pak Burhan dengan suara yang bergetar menahan gejolak perasaanku.
Pak Burhan malah tertawa mendangar perkataanku. “ Tidak apa-apa Faiz, tetap duduk di situ saja. Tidak mengapa, kan ada kami semua. Jadi ini bukan khalwat, tenang saja. Sengaja kami buat seperti ini justru agar dirimu merasa seperti sedang berada di tengah keluargamu sendiri. Anggaplah kami ini sebagai pengganti keluargamu karena kami telah menganggapmu seperti keluarga kami sendiri”.
“ Iya nak, biasa saja. Anggap  saja mereka ini adik-adikmu”, ujar istri Pak Burhan menimpali. Aku jadi makin salah tingkah, sebelum akhirnya aku mulai berhasil menguasai diriku.
“ Sekarang mari kita makan”, ajak Pak Burhan.
Kami pun lalu mulai makan dengan aneka hidangan yang istimewa. Di tengah-tengah makan rupanya baik aku maupun Fatimah suka mencuri-curi pandang, dan ketika pandangan kami bertemu spontan kami langsung tertunduk dengan tersungging senyuman tersipu di bibir. Dan karena aku menunduk lebih lambat aku sempat melihat wajahnya yang tersipu berhias senyuman kecil di bibirnya. Aduhai...wajah tersipu itu serasa menghujam kalbuku lebih dalam lagi. Astaghfirullohal azhiim... perasaan apalagi ini. Aku buru-buru menyelesaikan makanku dan segera pamit untuk kembali ke kamarku tetapi Pak Burhan melarangku dan memintaku menunggunya di beranda depan.
Sambil menunggu Pak Burhan aku memandang ke arah jalan raya yang mulai ramai orang yang melewatinya. Aku masih memikirkan kejadian di meja makan barusan. Untuk pertama kalinya ada perasaan aneh ketika aku berhadapan dengan seorang gadis. Aku jadi kikuk, canggung, gugup, dan salah  tingkah hanya karena ada seorang gadis duduk di hadapanku. Benar-benar sulit untuk kumengerti.
Tak lama kemudian Pak Burhan pun datang menyusulku ke beranda lalu mengajakku duduk di ruang tamu menunggu tamu-tamu yang akan berkunjung. Hari itu sampai aku menemani Pak Burhan menerima tamu sampai menjelang dhuhur. Dan setelah dhuhur Pak Burhan mengajakku berkunjung ke beberapa tokoh masyarakat sampai waktu ashar tiba.

Angin dan BidadariWhere stories live. Discover now