Pelajaran Bersama Nisa

236 8 0
                                    


Pada hari Minggu pagi sesuai janjiku, dengan berboncengan naik sepeda kami berdua berangkat ke tempat kerjaku. Ibu membekali kami dengan sekantung plastik piang goreng untuk kami makan dan dibagikan kepada teman-teman di tempat kerja. Sampai di tempat kerja semua orang bertanya-tanya siapa anak perempuan yang aku bawa ini. Setelah mengetahui kalau dia adikku mereka pun menyambut dengan ramah, tak terkecuali Bang Syueb.

" Ini adikmu yang keberapa Iz ?", tanya Bang Syueb. " Ini adik saya satu-satunya bang, " jawabku.

" Oo, jadi kalian ini hanya dua bersaudara ya. Kelas berapa nak ? ", tanyanya kepada Nisa.

" Kelas VI pak", jawab Nisa.

" Oo, sama dengan anak pertamaku. Dia juga kelas VI SD. Abangmu ini pernah ketemu di rumah dan beberapa hari yang lalu juga kuajak kemari. Dia mau tanya-tanya tentang bagaimana belajar di pesantren keaa abangmu ", tutur Bang Syueb sambil memakan pisang goreng yang kami bawa dari rumah. Selesai kami menghabiskan pisang goreng, Bang Syueb lalu membagi tugas untuk kami di pagi itu. Aku dapat giliran menurunkan melon punya ibu yang dulu pertama kali kulihat berbincang dengan Bang Syueb sewaktu aku pertama kali datang ke tempat ini. Rupa-rupanya ibu itu senang dengan kerja kami, sehingga jadi langganan. Dalam seminggu ibu itu bisa 3-4 kali membawa buah-buahan kemari. Sambil menunggu truk yang membawa melon itu datang aku berbincang-bincang dengan Nisa. Menjelaskan tentang apa pelajaran yang bisa diambil dari para pekerja kasar yang ada di sini.

" Nisa, mereka ini adalah salah satu potret kehidupan masyarakat kita yang mayoritas muslim. Namun karena keadaan, mereka tidak sempat untuk belajar ilmu agama. Mereka ini sebenarnya perlu sentuhan dakwah, namun dakwah yang kita lakukan harus menyesuaikan dengan kondisi mereka. Dan orang yang mau mendakwahi mereka haruslah orang yang sabar, penuh pengertian dan dedikasi. Sebenarnya mereka ini bukannya tidak sempat untuk belajar, hanya karena sibuk kerja keras jadi tidak terpikirkan untuk hal itu. Untuk membuat mereka berpikir untuk belajar agama, kita harus membuka pikiran mereka pelan-pelan. Dan saat ini abang telah menemukan bagaimana cara membuka pikiran mereka, yaitu dengan banyak mendengarkan keluhan-keluhan mereka lalu memberitahunya pelan-pelan bahwa dalam ajaran Islam ada solusi bagi persoalan mereka. Abang melakukannya sambil bekerja bersama mereka dan di sela-sela waktu senggang, dan mereka senang dengan apa yang abang lakukan. Pelan-pelan abang mengajarkan hal-hal ang mudah dicerna tapi penting untuk segera diamalkan seperti akhlaq dan adab sehari-hari. Juga mulai mengajak mereka untuk menjaga shalatnya. Setidak-tidaknya dengan menerima penjelasan dari abang, mereka minimal ingin anaknya kelak lebih mendalami lmu agama meskipun mereka untuk saat ini masih kesulitan melakukannya.

Andai saja abang ditugaskan untuk berdakwah di sini, abang tidak keberatan. Bagi abang, di manapun kita berada, kita harus bisa mendatangkan perbaikan semampu kita. Atau jika tidak mampu maka setidaknya kita tidak boleh memperparah keadaan. Abang juga berharap, kamu pun nanti harus bisa begitu ". Aku menatap lekat-lekat wajah adikku.

" Apakah kamu bisa memahami apa yang barusan abang sampaikan ?", tanyaku sambil terus menatapnya dalam-dalam.

" In sya Allah aku mengerti bang, Akan kuingat kata-kata abang yang ini : "Di manapun kita berada harus bisa mendatangkan perbaikan semampu kita. Atau jika tidak mampu maka setidaknya kita tidak boleh memperparah keadaan ". Dan sekarang aku juga mengerti kenapa abang bisa begitu luwes dalam bergaul. Rupa-rupanya karena abang berpegang pada prinsip itu, dan abang orangnya sabar untuk lebih banyak mendengar dengan tetap menjaga akhlaq Islami. Betul nggak bang ?".

" Betul. Pintar sekali. Belajar di mana sih dik ? ", Tanyaku iseng.

" Diajarin ustadz Faiz Izzuddin, alumni pesantren yang ganteng, ramah, baik hati, dan sangat menyayangi adiknya ", jawabnya sambil tersenyum. Aku tidak bisa menahan tawa mendengar jawabannya dari pertanyaan isengku.

Tak lama kemudian ibu pemilik melon yang akan kami turunkan dari truk datang menghampiri kami lalu memberitahukan kalau truknya sudah datang di ujung sana yang tidak terlihat olehku dan teman-teman sudah menunggu.

Melihat ada Nisa di situ, ibu itu bertanya, " ini anak siapa Iz ?". " Adik saya bu", jawabku.

" Cantik, mirip kamu ya Iz " komentarnya singkat sambil mengulurkan tangannya menyalami Nisa.

" Abang pergi kerja dulu ya, kamu di sini saja. Kalau ada apa-apa abang ada di pojok sana tuh ", pamitku ke Nisa sambil menunjuk ke arah truk yang akan kami kerjakan.

" Adikmu biar menemani ibu di sini, biar ibu ada temannya ngobrol " ujar ibu itu.

" Baguslah kalau begitu. Dan saya pergi dulu bu, nggak enak sudah ditunggu teman-teman ", ujarku seraya meninggalkan mereka berdua.

Setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku segera kembali ke tempat Nisa. Dari kejauhan kulihat dia sedang asyik diwawancarai oleh teman-temanku yang sedang istirahat, dan ibu itu melihat ke arahku sambil senyum-senyum. Setelah sampai di hadapan mereka berdua aku memberitahu ibu itu kalau pekerjaannya sudah selesai dan sudah ditunggu pemlik lapak buah untuk menghitung harga yang harus dibayar. Ibu itu lalu bangkit dan menitipkan ongkos bongkar muatan melon miliknya kepadaku karena Bang Syueb sedang pergi keluar. Setelah mengucapkan terimakasih kepada kami, ibu itu lalu bergegas menemui pemilik lapak buah yang sudah menunggunya.

" Bagaimana Nis, sudah puas melihat-lihat suasana di sini ?", tanyaku kepada Nisa.

" Sudah bang... dan kesannya adalah seru banget pengalaman hari ni. Betul kan kataku, di mana abang berada, di situ pasti ada yang asyik buatku ", jawabnya riang.

" Ya syukurlah kalau begitu. Tapi ngomong-ngomong ini sudah menjelang dhuhur, yuk kita pulang ", ujarku.

" Baik abang ", ujarnya lalu bangkit dari duduknya. Setelah menyerahkan uang dari ibu tadi kepada salah satu temanku untuk diserahkan kepada Bang Syueb dan agar menyampaikan kepadanya kalau jatahku akan kuambil besok, kami lantas berpamitan dan bergegas pulang.

Sepanjang perjalanan pulang, Nisa bercerita tentang pengalamannya hari itu.

" Abang, aku tadi dikasih duit Rp. 20.000 oleh ibu Rahma ", ujarnya memulai ceritanya.

" Eh, ibu itu bernama Rahma ? ", tanyaku sedikt terkejut karena selama ini tidak pernah tahu namanya.

" Iya bang. Dan ibu itu ternyata tidak punya anak perempuan, ketiga anaknya semuanya laki-laki, jadi dia senang sekali bisa ngobrol denganku tadi. Terus aku juga menanyakan tentang abang kepada teman-teman abang, apa kesan mereka tentang abang...hehehe... Ternyata semua orang di situ menyukai abang lho. Mereka juga berharap kalau nanti abang sudah tidak bekerja di situ lagi, abang masih mengingat mereka dan sesekali masih mau datang mengunjungi mereka ".

" hmm...begitu ya. Alhamdulillah, berarti cara abang bergaul dan berinteraksi dengan mereka sudah benar. Semoga ke depan bisa lebih baik lagi, dan abang tidak akan melupakan mereka karena abang juga banyak belajar bersama mereka, karena ini adalah pertama kalinya abang berinteraksi dengan orang-orang di luar lingkungan kita selama ini ".

" Oh ya bang, uang ini kita bagi dua ya ?"

" Tidak usah, buat kamu saja semuanya. Abang kan sudah dapat upah. Lagipula itu hadiah dari bu Rahma buatmu ".

" Terimakasih abang, Nisa sayang abang ", ucapnya sambil memelukku sebentar dari belakang sementara aku terus mengayuh sepedaku menembus ramainya lalu lintas di Jalan Raya Bogor menuju rumah kami.

Angin dan BidadariWhere stories live. Discover now