Perpisahan yang Mengharukan

99 5 0
                                    

Suasana masjid di shubuh itu agak berbeda dari biasanya, lebih banyak orang yang datang untuk shalat shubuh di masjid. Yang biasanya hanya 3-4 shaff pagi itu sampai terisi 6 shaff. Apakah mereka datang untuk mendengarkan kuliah shubuh terakhir dariku ?”, hatiku bertanya-tanya.
Setelah selesai shalat shubuh dan berdzikir sebentar, Pak Yusuf  memberiku isyarat agar aku segera naik ke atas mimbar. Dengan sedikit berdebar karena ini adalah saat terakhir aku menatap wajah-wajah mereka yang hadir, aku maju menuju mimbar. Seusai memuji Alloh Ta’ala dan mengingatkan untuk mensyukuri nikmat dan karuniaNya, dan kemudian bershalawat atas Nabi SAW, aku pun mulai menyampaikan kesan dan pesanku sekaligus berpamitan nantinya.
“ Jamaah shalat shubuh yang semoga dirahmati Alloh Ta’ala...
Pada kesempatan ini saya tidak akan menyampaikan materi kuliah shubuh melainkan ingin menyampaikan kesan dan pesan saya setelah 5 bulan lebih saya berada di tengah-tengah masyarakat sini. Sekaligus saya juga ingin berpamitan untuk segera kembali pulang karena ayah saya tertimpa musibah kecelakaan yang barangkali sudah banyak yang mengetahui hal ini”.
Aku berhenti sejenak. Sekilas terbayang ayah yang sedang terbaring lemah di rumah sakit. Dan ketika aku menyapukan pandanganku kepada jamaah yang hadir, kulihat wajah-wajah yang menatapku dengan pandangan seakan-akan belum rela aku pergi meninggalkan mereka. Tiba-tiba perasaanku campur aduk antara ingin segera bertemu dengan ayah dan beratnya berpisah dengan orangorang yang selama ini begitu memuliakanku, menghormatiku, melayaniku, dan mengajarkan kepadaku banyak hal-hal baru. Aku melanjutkan lagi dengan suara yang agak bergetar menahan gejolak perasaan di dadaku.
“ Selama saya berada di desa ini dalam rangka melaksanakan tugas untuk melakukan penelitian tentang kehidupan masyarakat di sini, banyak hal yang saya dapatkan dari masyarakat sini. Saya telah belajar banyak hal bersama masyarakat sini. Saya belajar tentang kesederhanaan, tentang kegigihan, tentang kebersamaan, dan tentang kekeluargaan dari masyarakat sini. Saya juga belajar tentang bagaimana menghargai orang lain dengan berbagai latar belakang pemikiran dan tingkat pemahaman, belajar menyampaikan ilmu sesuai dengan kadar pemahaman orang yang saya hadapi, dan merasakan indahnya bisa bekerjasama saling membantu dan meringankan  beban masing-masing.
Dan ada hal yang sangat membahagiakan bagi saya, yaitu saya merasa begitu dicintai dan saya pun sangat mencintai desa ini dan semua warganya. Oleh karena itu... saya....”, suaraku tercekat menahan tangis sebagai puncak pergolakan perasaan dalam diriku. Terbayang bagaimana aku telah melalui banyak hal bersama mereka.
“ Oleh karena itu... saya... tidak akan pernah melupakan desa ini...”. Aku menghentikan kata-kataku dan mulai terisak. Lalu dengan suara yang tercekat-cekat aku kembali melanjutkan perkataanku.
“ Saya tidak ingin melepaskan ikatan ini... sampai kapan pun juga... meski... meskipun raga ini berada jauh di sana, tapi... hati saya akan selalu bersama warga desa ini...”. aku kembali terisak. Kulihat beberapa jamaah ada yang mulai menitikkan air mata sehingga suasana haru semakin terasa.
“ Meskipun saat ini kita harus berpisah, tapi saya masih akan selalu siap membantu dengan pikiran dan tenaga saya. Saya juga sudah berpesan kepada Pak Kades dan Pak Burhan untuk menghubungi saya segera apabila butuh bantuan saya”. Lanjutku setelah menguasai keadaan.
“ Jamaah sekalian yang semoga dirahmati Alloh SWT...
Selama saya di sini dan sejauh pengamatan dan pengalaman saya selama di sini, saya melihat banyak potensi-potensi hebat di desa ini dan dalam masyarakatnya. Ada banyak benih-benih kebaikan yang mulai tumbuh subur dalam masyarakatnya. Saya berpesan agar benih-benih kebaikan itu senantiasa dijaga dan dirawat agar terus tumbuh semakin besar. Jagalah ukhuwwah yang sudah terbina, terus perbaikilah akhlaq kita, dan tingkatkan terus ilmu agama kita.
Dan sejujurnya, bila Alloh Ta’ala mengizinkan, saya ingin kembali ke desa ini suatu saat nanti untuk mewujudkan  cita-cita saya, karena saya melihat desa ini sebenarnya memiliki semua potensi yang saya butuhkan untuk mewujudkan cita-cita saya. Namun untuk saat ini saya masih perlu menambah ilmu dan pengalaman terlebih dahulu. Jadi, anggaplah saya harus bersekolah lagi sebelum kembali lagi ke desa ini. Saya tidak berjanji akan kembali, tapi saya ingin sekali kembali lagi ke sini suatu saat nanti. Oleh karena itu, saya berharap apa yang telah kita capai saat ini terus dijaga dan tingkatkan lagi karena perjuangan kita masih panjang.
Kemudian, saya ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua warga masyarakat atas segala pelayanan, penghormatan, dan pengajarannya kepada saya selama ini. Jujur, saya senang sekali sekarang saya bisa mencangkul, memanjat pohon kelapa, mengolah sagu, memanen cengkeh, menyulam jaring, memasang jaring di laut, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Dan terakhir, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya bila selama saya di sini ada salah kata dan perbuatan yang disengaja maupun yang tidak sengaja. Semoga Alloh Ta’ala mengampuni kita semua dan menerima semua amal sholeh kita serta memudahkan urusan kita semua. Akhirul kalam, alhamdulillahi rabbil ‘alamiin, billahit taufiq wal hidayah, wassalaamu ‘alaikum warahmatullah wa barakaatuh”.
Aku lalu turun dari mimbar dan Pak Yusuf langsung memelukku dan kemudian menyerahkan sebuah amplop besar sambil berkata, ” Nak Faiz, semalam orang-orang mengumpulkan infaq lalu diserahkan kepada saya untuk diberikan kepadamu. Sesuai dengan isi ceramahmu tadi bahwa bisa saling membantu dan  meringankan beban adalah kebahagiaanmu dan kebahagiaan kami juga. Kami tahu kamu sekarang sedang kesusahan, maka terimalah sedikit harta dari kami ini, semoga bermanfaat dan  dapat membantu meringankan bebanmu”.
Aku menerima amplop itu dengan tangan bergetar dan mata yang berkaca-kaca karena terharu. Tiba-tiba menyeruak seorang bapak paruh baya yang kukenal dengan nama Pak Yamin, seorang bapak dari 6 orang anak dengan rumah yang sederhana dan berpenghasilan pas-pasan yang selalu menjadi langganan menerima kelebihan makanan dariku yang biasa kuterima dari warga.
“ Nak Faiz, saya tidak memiliki apa-apa untuk saya berikan kepada Nak Faiz sewaktu ada orang yang datang ke rumah untuk mengumpulkan infaq buat nak Faiz. Tapi saya ingin memberikan ini sebagai hadiah dan kenang-kenangan dari keluarga kami. Ini adalah kain selendang tenun khas daerah sini yang dibuat oleh anak pertama saya yang sekarang bekerja menenun kain untuk souvenir wisatawan. Mohon diterima ya nak Faiz”, ujarnya seraya menyodorkan bungkusan koran yang lusuh.
Ya Alloh... aku tak kuasa menahan air mataku. Aku memeluk Pak Yamin dan sambil terisak kukatakan padanya, “ Terimakasih pak, saya akan simpan ini dan akan selalu mengingatbapak dan keluarga bapak. Bapak adalah salah satu guru saya yang kesekian. Saya belajar tentang kesederhanaan dan sikap qana’ah dari keluarga bapak”.
“ Saya juga tidak akan melupakan Nak Faiz. Saya tidak akan lupa bagaimana Nak Faiz membantu membersihkan dan merapikan rumah kami dan mengajari anak-anak saya agar menjaga kebersihan. Sekarang rumah kami selalu bersih dan rapi berkat Nak Faiz”, sambungnya lagi.
“ Syukurlah kalau begitu pak”, sahutku.
Lalu orang-orang yang ada di masjid itu bergantian menyalamiku dan beberapa di antaranya ada yang memelukku. Sungguh suasana yang sangat mengharukan. Setelah semua selesai aku dan Pak Burhan kemudian segera pulang ke rumah untuk persiapan berangkat ke bandara.
Sesampainya di rumah aku langsung berganti pakaian, dan kemudian menyandang tas ranselku yang sudah siap dari tadi malam. Aku melangkah keluar menuju beranda untuk menunggu Pak Burhan. Tak lama kemudian Pak Burhan keluar bersama Bu Farida istrinya diikuti Furqan. Bu Farida menyerahkan sebuah kotak bekal makanan dan sebuah tas kertas kepadaku.
“ Ini untuk dimakan di bandara sambil menunggu pesawat nanti karena kamu tidak sempat sarapan. Dan ini oleh-oleh buat ibu dan adikmu, dua lembar kain khas tenun Ambon”, ujar Bu Farida lembut sambil menyerahkan kedua barang itu kepadaku.
“ Terimakasih banyak bu, jazakillah khairan...”, ucapku ketika menerimanya.
“ Sekalian saya pamit. Mohon maaf bila selama saya di sini ada salah kata dan perbuatan dan sekali lagi terimakasih atas segala bentuk kebaikan yang ibu lakukan kepada saya”, lanjutku sekalian berpamitan.
“ Ibu juga minta maaf jika selama ini ada yang kurang berkenan. Keberadaanmu selama ini banyak membawa kebahagiaan di keluarga kami”, ujar Bu Farida tersenyum lalu melirik ke arah suaminya.
“ Benar Faiz, kamu membawa kebahagiaan di keluarga kami dan kami senang bisa melayanimu sebagai tamu kami selama ini. Baiklah Faiz, mari kita berangkat”, sahut Pak Burhan.
Aku lalu menghampiri Furqan yang berdiri di samping ibunya memperhatikanku sedari tadi. Aku memeluknya erat sekali dan berkata, “ Abang harus pulang dulu, suatu saat nanti mudah-mudahan kita masih dipertemukan oleh Alloh SWT dalam keadaan yang lebih baik. Terimakasih atas semua kesenangan dan kegembiraan yang telah kita lewati bersama”. Aku lalu melepaskan pelukakanku dan kulihat Furqan tersenyum lebar. Di halaman Pak Burhan sudah menyalakan mesin mobilnya dan menungguku. Aku lalu bergegas masuk mobil dan sesaat kemudian mobil mulai bergerak meninggalkan halaman rumah. Terakhir aku melambaikan tangan kepada Furqan dan ibunya yang masih berada di beranda menatap kepergianku.
30 menit kemudian kami sampai di tempat agen tiket teman Pak Burhan untuk mengambil tiket dan membayarnya. Tak jauh dari situ ada wartel dan sebelum melanjutkan perjalanan ke bandara aku ijin kepada Pak Burhan untuk menelepon ke rumah dulu. Sesampainya di wartel aku bergegas masuk ke KBU yang kosong dan langsung menelepon Bu Atika, memberitahunya bahwa aku akan pulang naik pesawat pagi ini yang in sya Alloh sore nanti sampai rumah sakit.
Sesampainya di bandara, Pak Burhan mengantarku sampai ke depan pintu ruangan check in, dan di situlah aku harus berpamitan.
“ Saya mohon diri. Jazakumullah khairan atas segala kebaikan antum selama ini dan atas segala hal yang telah kita lewati besama. Mohon maaf bila ada salah perkataan dan perbuatan selama saya menjadi tamu di rumah antum”, pamitku kepada Pak Burhan.
“ Sama-sama Faiz. Berangkatlah untuk memenuhi kewajiban birrul walidayn. Sampaikan salamku untuk kedua orang tuamu. Dan ini ada sedikit pemberianku untukmu, terimalah”, balas Pak Burhan sembari menyerahkan sebuah amplop putih tebal kepadaku. Aku menerimanya dan kami lantas berjabat tangan dan berpelukan.
“ Jazakumullah khairan pak. In sya Alloh saya sampaikan salam antum”, ucapku setelah melepaskan pelukanku.
“ In sya Alloh kita akan bertemu lagi di pesantren Darul Ihsan jika kamu yang mengantarkan adikmu ke sana, karena aku juga akan mengantarkan Fatimah dan Furqan ke sana”, pungkasnya.
Kami lalu sama-sama tersenyum dan terakhir kuucapkan salam lalu bergegas memasuki ruang check in bandara.  Sambil menunggu jadwal keberangkatan pesawatku aku memakan bekal yang diberikan Bu Farida berupa 5 potong gogos yang sangat lezat. Baru habis 2 potong aku sudah merasa kenyang.
Tepat jam 8. 55 WIT pesawat yang kutumpangi bergerak perlahan menuju landasan pacu. Ini adalah pengalaman pertamaku naik pesawat. Di lorong kabin ada dua orang pramugari dan seorang pramugara sedang memberi arahan tentang petunjuk keselamatan dalam penerbangan, sementara pesawat terus bergerak menuju ujung landasan untuk persiapan take off. Aku mendapat kursi di dekat jendela sebelah kanan di belakang sayap pesawat. Setelah semua siap dan pesawat telah berada di ujung landasan, terdengar raungan suara mesin pesawat dan sesaat kemudian pesawat meluncur dengan  kecepatan tinggi lalu mulai lepas landas. Beberapa menit kemudian pesawat telah mencapai ketinggian yang merupakan jalur penerbangannya. Terdengar dari pengeras suara bahwa penumpang sudah boleh melepaskan sabuk pengamannya meski jika tidak kemana-mana lebih baik tetap memakai sabuk pengamannya.
Aku menolehkan kepalaku ke arah jendela, melihat Pulau Ambon di bawah sana yang semakin jauh kutinggalkan. Nampak gugusan perbukitannya yang indah. Sambil memandanginya aku teringat dengan kenangan-kenangan di salah satu sudut perbukitan itu. Bagaimana selama ± 3 bulan aku tinggal di tengah perkebunan di salah satu bukit itu untuk berlatih bongkar pasang senjata, menembak, beladiri, dan mengikuti pelajaran dari syaikh. Terbayang bagaimana aku beresmbunyi di balik semak atau di atas pohon dengan Remington 700 di tangan dan mata yang terus mengintip di balik teropong menunggu rombongan babi hutan yang lewat di kejauhan. Lalu ketika dapat sasaran aku menarik pelatuk dan.. bang! Seekor babi hutan langsung terkapar yang menyebabkan kumpulan babi lainnya kabur terbirit-birit. Itulah momen paling mengasyikkan selama pelatihan. Lalu terbayang juga hari-hari terakhir aku bersama syaikh di sana.
Aku lalu kembali mengarahkan pandanganku ke depan dan mencoba memejamkan mata, tapi tiba-tiba terlintas di benakku seraut wajah jelita yang tersipu di meja makan waktu itu. Entah mengapa tiba-tiba aku teringat lagi, padahal beberapa bulan terakhir ini aku sudah melupakannya. Aku lalu mencoba menikmati perjalanan perdanaku naik pesawat ini, melihat gugusan awan putih dan birunya laut di bawah sana. Dan pulau Ambon sudah semakin jauh kutinggalkan.

Angin dan BidadariWhere stories live. Discover now