Panggilan Tugas

233 9 0
                                    


Setelah hampir dua bulan lamanya aku bekerja jadi kuli bongkar muat di Pasar Induk Kramat Jati, akhirnya aku menerima surat dari Ustadz Zainuddin yang isinya memintaku untuk segera kembali ke pesantren selambat-lambatnya tanggal 6 September 2001 untuk persiapan berangkat ke tempat tugas. Aku masih mempunyai waktu dua hari untuk persiapan.

Besoknya aku berpamitan kepada Bang Syueb dan teman-teman dan kemudian pergi ke Pondok Gede untuk membeli sepatu dan tas sekolah buat Nisa yang dulu sudah kami lihat sewaktu membeli jaket dan bajunya Nisa. Sekalian kubelikan dua pasang kaos kaki dan satu set alat tulis. Lalu kumasukkan dalam sebuah kardus dan membungkusnya dengan kertas kado dan meletakkannya di kolong tempat tidur Nisa. Aku bermaksud membuatnya lebih berkesan dengan memberitahunya menjelang keberangkatanku besok siang. Sampai saat ini dia belum tahu kalau aku besok akan berangkat. Aku sengaja melakukannya dan melarang ayah dan ibu untuk memberitahunya agar dia tidak bertingkah aneh-aneh. Biasanya kalau dia tahu kapan aku akan kembali ke pesantren, sehari atau dua hari sebelumnya dia akan bertingkah manja banget, yang minta digendong lah, diantar kemana lah, diajak kemana lah, pokoknya ada aja.

Akhirnya saat perpisahan itu pun tiba. Ayah menyempatkan untuk pulang sebentar. Nisa sudah pulang sekolah dan aku baru memberitahunya kalau aku akan berangkat siang itu. Dia agak marah mendengarnya, karena kecewa karena aku baru memberitahunya.

" Abang jahat, baru memberitahuku sekarang ", ucapnya lirih dan mulai menangis sambil memelukku.

" Abang minta maaf ya, karena abang ingin kamu bisa belajar lebih tegar dan lebih dewasa melihat abang harus pergi. Karena selama ini kamu selalu bermanja-manja menjelang abang balik ke pesantren yang terkadang merepotkan abang, namun abang tak kuasa menolak. Sudah ah nangisnya...abang sudah beli sepatu dan tas yang kamu pilih dulu sewaktu kita beli jaket. Abang taruh di bawah tempat tidurmu, sudah sana lihat dulu ", ujarku sambil mengangkat kepalanya dari dadaku dan memeganginya. Kutatap matanya yang basah dengan airmata itu dalam-dalam, aku tersenyum padanya dan akhirnya dia pun tersenyum lebar.

" Aku hampir lupa kalau abang berjanji akan membelikannya. Terimakasih abang...", dia lalu mengusap air matanya dan bergegas masuk ke kamar untuk melihat barang-barang yang kubelikan untuknya kemarin.

Aku lalu memeriksa kembali isi tas dan kardus berisi oleh-oleh buatan ibu untuk para asatidz, lalu memasukkan tiket bis yang sudah dibelikan ayah tadi pagi ke dalam saku celana. Sebenarnya aku mau beli tiket sendiri, mengingat aku dapat uang yang lumayan selama bekerja di Bang Syueb, dapat satu juta lebih. Namun ayah bersikeras karena sudah jadi kebiasaan, jika waktu liburan ayah pasti sudah menabung untuk ongkos perjalanan dan uang jajanku, dan mungkin ini adalah yang terakhir kalinya. Tak lama kemudian Nisa keluar dengan memakai sepatu barunya dengan maksud ingn menunjukkannya padaku.. Wajahnya sudah ceria kembali. Aku lalu mulai berpamitan kepada ibu dan ayah.

" Ayah, Ibu, saatnya Faiz berangkat", ucapku seraya mulai mencium tangan ayah lalu ayah memelukku dan berkata , " Berangkatlah nak, doa kami bersamamu. Ayah bangga padamu, kamu sudah cukup dewasa, dan jangan ragu untuk melangkah. Ingatlah selalu bahwa kamu berjuang untuk umat, bukan hanya untuk dirimu sendiri. Itu saja pesan ayah ".

Aku lalu mencium tangan ibu dan kemudian memeluknya. Dengan mata berkaca-kaca dan suara yang bergetar, ibu bepesan, " jaga dirimu baik-baik nak, jaga kesehatanmu. Semoga engkau pulang nanti menjadi Faiz yang jauh lebih baik dari saat ini ".

Lau kuhampiri Nisa yang kali ini sudah bisa tersenyum sambil memakai sepatu barunya yang tampak pas di kakinya. Dia lalu menghambur memelukku, kuelus kepalanya yang terbungkus jilbab ungu, lalu kukatakan padanya, " Abang berangkat ya, belajar yang rajin dan jangan nakal. Nanti kalau memungkinkan dan ada kesempatan abang telpon lewat bu Atika ya. Tapi abang tidak tahu apakah ada sambungan telepon atau tidak di sana nanti ".

" Selamat jalan abang, semoga Allah SWT memudahkan urusan abang. Maafkan Nisa ya kalau selama ini ada salah ", ucapnya sembari melepaskan pelukannya dan diakhiri dengan senyumnya yang ceria.

Aku segera menyandang tas ranselku dan menenteng kardus. Lalu setelah mengucapkan salam, dengan perasaan yang campur aduk aku melangkah keluar meninggalkan mereka semua, menyusuri jalan kecil di depan rumah kami menuju Jalan Raya Bogor di mana aku akan naik angkot ke Terminal Kampung Rambutan. Meskipun aku sudah biasa meninggalkan mereka untuk kembali ke pesantren jika masa liburan sudah habis, tapi kali ini terasa berbeda karena aku berangkat ke tempat tugas yang belum kuketahui bagaimana kondisinya.

Ya Allah ya Rabbiy...aku titipkan mereka kepadaMu, jagalah mereka dan limpahkanlah rahmatMu kepada mereka, dan kumpulkanlah kami lagi dalam keadaan yang lebih baik, sesungguhnya Engkau sebaik-baik Penolong dan Pelindung bagi kami.

Angin dan BidadariUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum