Awal

105K 7.3K 120
                                    

Dari yang muda hingga tua, pasti menginginkan berlibur. Karena berlibur salah satu penyembuh dari penat aktivitas. Banyak dari mereka ingin mengunjungi semua tempat di dunia. Begitupun dengan Bearista Atmarini, salah satu orang beruntung yang bisa keliling dunia.

“Sumpah. Gue paling suka kalau udah ke Bali,” ucap Ronald antusias.

“Alah, palingan juga karena lihat cewek-cewek seksi di sana,” sahut Nayla

“Nah, itu salah satu obat cuci mata gue,” jawab Ronald

“Insaf, Mas. Ingat umur,” kata Bea.

“Umur gue masih muda. Kakak gue aja belum nikah, Be. Hidup itu harus dinikmati, kalau udah mati susah buat hidup lagi.”

Bea setuju dengan ucapan Ronald tentang menikmati kehidupan. Mereka duduk di salah satu ruang tunggu pesawat. Menunggu selama beberapa jam. Mereka akan kembali ke Jakarta, karena besok harus bekerja kembali. Jika terlalu lama, mereka akan mendapat ocehan dari atasan.

Teman-teman memanggilnya Bea, bahkan ada yang memanggil ‘Beasiswa’. Mereka memang paling mengganti nama orang. Bea juga fine-fine, yang penting masih terdengar baik.

“Mama ingin punya cucu!”

“Ingat Bearista, umurmu tidak muda lagi.”

“Adikmu sudah gede, dia juga harus menikah. Kalau kamu belum menikah, dia tidak bisa menikah. Mama tidak mau adik meloncatimu.”

“Bea itu cantik, masa nggak ada cowok yang mau sama kamu?”

“Ini semua karena kamu selalu pakai baju hitam, jadi gini deh. Cowok-cowok di luar sana lihat kamu gelap terus.”

“Nikah Bea, nikah!”

Mengingat beberapa ocehan Mama saat Bearista di rumah. Padahal kalau ia pulang, harusnya disambut baik. Namun, ia tidak pernah merasakannya, karena Mama selalu mengoceh seenaknya. Untung telinga Bea kebal, jadi anggap saja motivasi. Papa seorang pelukis yang kebetulan mempunyai rumah sendiri dan memisahkan diri dari Bea. Padahal Papa sering menyuruh Bea tinggal bersamanya. Bea selalu menolak, ia tidak mau merepotkan mereka.

“Be, lihat deh.” Tiba-tiba Nayla mendekati Bea sembari menyodorkan ponsel. Di sana nampak foto laki-laki berbadan kekar dan tinggi, memakai jas hitam.

“Apa sih, Nay?"

“Lihat.” Nayla semakin mendekatkan ponselnya pada Bearista, bahkan tepat di depan matanya. Untung saja ia tidak terjengkal.

“Eh, Somplak!” Buru-buru Bea menjauhkan ponsel Nayla dari hadapannya.

“Lihat dulu dong, Be.” Nayla kembali menyerahkan ponselnya.

“Aku sudah lihat, kenapa?”

“Ada, teman, sekarang dia sudah jadi CEO di salah satu stasiun televisi.”

“Ya terus, hubungannya sama aku apa?”

“Dia masih single, mau kenalan nggak?” bisik Nayla.

Bearista memutar bola matanya malas. Untuk kesekian kalinya, Nayla menawari pria. “Nggak!” tolak Bea.

“Bea, aku kenalin, ya.”

“Nggak perlu, Nay! Aku bisa cari sendiri.”

“Kalau kamu yang cari kelamaan,” bisik Nayla.

“Nggak. Besok juga langsung dapat,” jawab Bea.

“Pokoknya besok aku bicara sama pria ini untuk kenalan sama kamu!” tegas Nayla. Ia yakin kali ini cocok untuk Bea.

Bearista mengabaikan ucapan Nayla. Ia memasang headphone, mendengarkan musik keras sembari menunggu pesawat mereka.

***

Jakarta, 07:00 PM.

Seorang pria berjalan meninggalkan bandara untuk pulang. Selama lima hari berturut-turut melakukan penerbangan. Hari ini, ia baru bisa kembali ke rumah.

“Kapt, saya duluan, ya,” ucap salah satu pramugari bernama Filipi Anggun Tyasduta. Kebetulan Filipi sudah dijemput lebih dulu. Sedangkan dirinya masih harus menunggu sang adik menjemput.

“Ya, hati-hati di jalan.” Abid melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan dengan Filipi.

Abid Pranaja, pria dua puluh sembilan tahun yang kini menjadi seorang pilot di salah satu maskapai penerbangan. Pilot adalah cita-cita yang sejak dulu ia inginkan, Abid sangat menikmati pekerjaan yang menurut orang lain tidak mudah untuk dilakukan.

Abid menunggu di luar bandara, ia duduk di salah satu tempat tunggu. Tadi ia mengganti pakaian agar orang lain tidak mengenalinya sebagai pilot, Abid menyalakan ponsel yang sudah lima hari ia nonaktifkan. Lelah yang ia rasa memudar ketika membaca pesan dari orang spesial. Baru pesan saja membuat Abid semangat, apalagi jika bertemu. Semua lelah yang ia rasakan pasti hilang seketika.

Abid merindukan perempuan ini. Lima hari di dalam pesawat membuat dirinya ingin memeluk tanpa lepas. Pesan itu dikirim dua hari lalu. Abid mencari pesan terbaru, tetapi tidak ada. Akhirnya Abid mencoba menelepon, sayang nomor yang dituju ternyata tidak aktif. Abid tetap berpikir positif, mungkin sedang tidak mengaktifkan ponselnya.

“Mas Abid!” panggil seseorang yang berjalan mendekati dirinya.

“Maaf telat, Mas. Tadi jalanan macet parah,” ucapnya.

Ternyata sang adik sudah datang. “Iya nggak apa-apa, ayo kita pulang. Mas sudah lelah.”

“Iya, Mas.”

Setelah masuk ke mobil, Abid terpejam. Sang adik menoleh sebentar, lalu ia mengembuskan napas mengamati wajah kakaknya, ia semakin tidak tega bahkan tidak sanggup melihat apa yang akan terjadi, ketika Abid tahu yang sebenarnya.

-TBC-

Tinggalkan vote dan komentar :)

Terima kasih

Instagram: Marronad.wp

Marronad

TraveLoveWhere stories live. Discover now