Douchebag #21

27.3K 848 80
                                    

Writing this chapter since: 10 Juni 2014

mau tau nih, kalian TEAM JULIAN atau TEAM ROLAND?

comment di bawah oke? ;)

Btw, aku TEAM JULIAN!!!!!

_______________

Douchebag #20

(Not edited)

________________

YESSA

"JADI, intinya sekarang kau sudah mulai menyukainya?"

"Entahlah, Wen. Sepertinya iya. Maksudku dia tidak seperti dulu dan dia sebenarnya juga tidak seburuk itu. Ternyata Roland adalah orang yang peduli dan suaranya bagus! Oh dan jangan lupa gombalannya itu..."

"Apa? Roland menyanyi?"

Ekspresi wajah Wendy terlihat tekejut sekaligus bingung. Oh iya, aku lupa menceritakan bagian saat Roland menyanyi untukku di kencan tadi malam. Baru saja aku menyelesaikan cerita pengalaman kencan pertamaku kepada Wendy. Ada sesuatu yang berbeda dari Wendy saat aku bercerita tetapi aku tidak tahu apa. Yang pasti itu bukanlah hal baik.

Dia hanya tersenyum paksa saat aku bercerita, tidak seperti biasanya. Apa mungkin Wendy tidak suka aku bercerita tentang Roland karena mereka berdua adalah musuh? Tapi sepertinya hanya Wendy yang tidak menyukai Roland sedangkan sikap pria itu baik-baik saja kepada sahabatku. Aku juga tidak mengerti sebenarnya apa sih masalah mereka, tapi lebih baik aku tidak bertanya karena itu kan urusan pribadi mereka.

"Iya, Wen. Dia menyanyi untukku diiringi gitar yang dimainkannya kemarin malam. Apalagi Roland sangat pintar memilih lagu yang romantis,"

Aku mulai flashback pada suara Roland tadi malam saat dia menyanyi untukku. Jujur saja, belum ada satu pun orang yang pernah menyanyikan lagu untukku sekalipun itu lagu anak-anak. Malam kemarin terasa sempurna, aku jadi ingin mengulanginya lagi.

"Jangan sampai kau jatuh cinta padanya.." Aku bisa mendengar Wendy bergumam sendiri, mungkin ia tak sadar telah mengatakan hal itu tetapi aku menyadarinya.

Karena refleks, aku langsung terkesiap membuat Wendy menyentakkan kepalanya ke arahku.

"Kenapa aku tidak boleh jatuh cinta padanya...?" tanyaku pelan. Sahabatku masih menatapku dengan shock dan dia terlihat linglung akan pertanyaanku.

"Yessa, maksudku bukan itu.." ucap Wendy kemudian menggemgam tanganku.. "Kau tahu pasti Roland itu seperti apa, dia adalah playboy senior dalam kamusku! Aku hanya tidak mau kau tersakiti nantinya..."

Sekarang tatapan Wendy berubah, aku bisa merasakan ada kekosongan di tatapan itu, seperti matanya tidak mengatakan sesuatu, hanya mulutnya. Tetapi aku tidak mau membawa masalah ini lebih jauh. Jadi, aku hanya menganggukkan kepalaku mengerti dan tersenyum kecil untuk meyakinkan Wendy bahwa aku tidak apa-apa.

"Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan Justin? Sudah lama aku tidak mendengar kabar tentang kalian berdua," tanyaku untuk mengganti topik.

"Kami sudah putus, Yessa." jawab Wendy seraya memandang lantai di bawah daripada menatapku.

Aku sedikit kaget dengan jawabannya, kenapa dia tidak menceritakan padaku dari dulu tentang ini? Pantasan saja belakangan ini Wendy terlihat sedih dan murung. Grr, lihat saja kalau sampai Justin yang memutuskan hubungan mereka. Aku tidak akan segan-segan melakukan rencana yang sudah kupersiapkan dari dulu kalau Justin sampai menyakiti hati Wendy.

Aku tidak akan segan-segan memutuskan kepala dari tubuhnya dan menarik ususnya keluar lalu aku akan menjadikannya tali untuk menggantung papan pengumuman bertuliskan "JUSTIN LARTHON SUDAH MATI. KAU BISA LIHAT USUSNYA DI ATAS SINI. JANGAN SUNGKAN-SUNGKAN UNTUK MENJADIKANNYA RAMEN SEBAGAI MAKAN SIANGMU."

Tak kusangkan aku masih mengingat rencana bodoh nan mengerikan itu. Jika saja polisi melegali hal itu dan tidak memasukkanku ke dalam penjara, maka itu akan beneran terjadi.

"Kenapa kalian putus?"

"Itu adalah keputusan yang baik, Yessa. Kurasa aku dan dia tidak terlalu cocok. Lagian masih banyak pria lain yang mau denganku." Wendy mengibaskan rambutnya ke belakang lalu berpose seperti seorang model, dan itu langsung membuatku terkikik.

"Kau yakin dia tidak mematahkan hatimu atau mungkin dia selingkuh dengan wanita lain?" Aku bertanya lagi, kali ini lebih serius. Sahabatku menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Baiklah, kurasa aku tak perlu memaksa orang-orang untuk menjadikan usus Justin sebagai ramen,"

Wendy tertawa terbahak-bahak mendengar ucapanku sampai ia memuncratkan percikan air liur dari mulutnya. Kurasa suasana ini lebih baik daripada yang tadi, aku bisa kembali bercanda ria bersama Wendy seperti ini. Aku sangat menyayanginya.

"Sudah lama kita tidak bercanda seperti ini," ujarku, kini menatap ke mata cokelat Wendy dengan dalam. Sahabatku memberikanku senyuman kecil, mata cokelatnya menatap intens ke arah mata abu-abuku. Entahlah, tapi kurasa ada sesuatu berbeda dari tatapannya kali ini, aku tidak bisa menjelaskannya..

Aku tidak sadar kenapa wajah Wendy saat ini sangat dekat sekali dengan wajahku, aku bisa melihatnya sedang menatapi bibirku. Tunggu dulu, apa aku sudah gila? Kenapa aku bisa membayangkan hal seperti ini?

Sepertinya aku tidak gila karena ini terasa asli sekali! Bahkan aku bisa merasakan nafas hangat Wendy menggelitiki bibir atas dan hidungku. Mungkin saja yang ada di depanku ini sebenarnya Roland atau Julian? Apa aku sedang berfatamorgana? Oh Tuhan!

Aku melirik ke arah Wendy atau siapalah itu yang sedang membasahi bibirnya lalu makin mendekatkan wajahnya padaku. Aku memejamkan mataku menunggu sesuatu yang datang menyentuh bibirku.

"Yessa..."  Itu suara Wendy, ya ampun itu memang suaranya! Aku tidak berfatamorgana. Yang ada di depanku saat ini ternyata adalah Wendy, sahabatku sendiri. Dan dia mencoba menciumku?

Entah kenapa aku tidak bisa membawa diriku menjauh darinya walaupun aku sangat ingin. Aku bisa mencium bau parfum Wendy yang sangat nikmat dan berbau seperti strawberry.

"Whoa! Girls, easy!" Sebuah suara terdengar dari sudut kamar, membuat aku dan Wendy melompat kaget dan menjauhkan diri kami. Di ambang pintu sedang berdiri Julian yang menatap aku dan Wendy seakan kami baru saja membunuh seseorang. Ugh! Ini benar-benar bencana besar. "Jadi, kalian... lesbian?"

"Julian, ini tidak seperti yang kau lihat..." kataku mencoba memikirkan alasan yang paling ampuh agar Julian bisa percaya. Aku takut jika dia memberitahukan hal ini kepada orangtua aku dan Wendy, atau lebih mengerikannya lagi Roland. Wendy yang duduk di sampingku hanya menundukkan kepalanya dan terlihat panik.

"Tapi kurasa tadi aku baru saja melihat kalian hampir berciuman.." Julian memiringkan kepalanya, kali ini ekspresinya sedikit melembut.

Aku tidak tau lagi apa yang harus kukatakan pada Julian. Maksudku, bukan aku yang menyebabkan hal 'hampir berciuman dengan Wendy' itu. Aku tidak tau apa-apa. Wendy yang memulainya! Grr, kenapa anak ini tidak membantuku sih.

Aku menyenggol lengan Wendy dengan sikuku agar dia tidak terus diam dan segera membantuku. Wendy akhirnya mengangkat kepalanya dan melotot ke arahku lalu kembali memandang Julian.

"Aku.. ngg.. aku tadi hanya mau membersihkan sesuatu di leher Yessa," kata Wendy lancar. Ia memang paling pandai kalau soal berbohong. "Aku bersumpah kami tidak berniat untuk berciuman! Itu gila sekali!" Wendy memaksakan untuk tertawa agar Julian mau percaya, terpaksa aku juga harus ikut tertawa dengannya.

"Iya, Julian! Bagaimana kau bisa mendapatkan ide segila itu? Hahaha,"

Kini wajah Julian berubah menjadi semerah tomat. Jadi hanya segampang itu dia percaya? Ya ampun Julian bodoh sekali.

"Baiklah.. a-aku harus p-pergi!" kata Julian terbata-bata, ia segera berlari keluar dari kamar dan membanting pintu kamarku karena terburu-buru. Ia malah lebih terlihat seperti seseorang yang dikejar setan.

Setelah beberapa menit dalam keheningan, aku memberanikan diriku berpapasan dengan wajah sahabatku yang masih terlihat panik dan hanya menundukkan kepalanya sedari tadi. Jujur saja, aku masih kaget dan bingung dengan apa yang ia coba lakukan padaku tadi? Apa benar dia mau menciumku atau hanya ingin membersihkan sesuatu di leherku? Tapi aku lebih yakin ke pilihan satu...

"Jadi... apa maksud tingkahmu barusan?"

Mr. & Ms. PopularOù les histoires vivent. Découvrez maintenant