Douchebag #34

11.8K 385 53
                                    

Writing this chapter since: 27 Januari 2016


Question:

Bayangan alur ending di pikiran kalian bagaimana?


_______________

Douchebag #34

(Not edited)

_______________

YESSA


Aku di sini, sekarang, akhirnya. Setelah tiga bulan lamanya aku melawan rasa takut itu dan membuang jauh-jauh rasa gengsiku yang besar. Tapi memang tidak bisa kupingkiri, aku merindukannya. Sangat merindukannya. Tiga bulan itu juga aku hampir gila karena terus mengingat sosoknya, dan kata-kata terakhir yang ia ucapkan padaku sebelum aku sudah tidak pernah melihat atau mengetahui bagaimana keadaannya lagi. Apakah dia makin kurus, atau dia juga sama gilanya sepertiku?

Kuharap jangan. Dia sudah terlalu menderita fisik mendekap di dalam penjara. Biarlah aku yang merasakan sakit mentalnya, karena itu lebih sulit untuk disembuhkan.

"Anda sudah bisa masuk, Nona."

Aku mendongakkan kepalaku saat lamunanku terbuyar. Laki-laki tinggi besar lengkap dengan seragam polisinya tersenyum ramah padaku. Perlahan aku berdiri dari kursi dan membalas senyumannya, walaupun hanya dengan senyum lemah. Jujur, aku masih takut untuk bertemu dengan dia, yang selalu mengisi pikiranku setiap detiknya. Mungkin, selamanya. Doakan saja tidak.

Aku menarif nafas panjang saat tanganku masih tidak bergerak memegang gagang pintu menuju suatu ruangan yang bisa kuimajinasikan cukup luas dan pengap itu. Ingin rasanya melangkah balik dan membatalkan keputusanku untuk bertemu dengannya, tapi itu semua terlalu terlambat. Petugas itu membukakan pintunya untukku saat melihat keraguanku tadi. Aku sudah tidak ada kesempatan untuk membalikkan badan dan pergi—karena mata kami saling bertemu, hanya dibatasi sebuah kaca transparan.

"Silahkan, Nona." Ucap Petugas itu, mungkin karena aku masih berdiri di tempat merasa ragu, gugup, dan bingung harus melakukan apa. Mau tidak mau aku melangkahkan kakiku satu per satu, rasanya seperti melangkah selama satu tahun lamanya. Begitu lama, aku yakin Roland juga bisa merasakannya, sedari tadi matanya tidak bisa terlepas dari gerak-gerikku.

Ini kesempatanku, sudah lama aku menanti-nantikan untuk berani menemuinya, berani mengatakan yang sebenarnya padanya. Aku ingin setelah ini, saat aku pulang ke rumah, aku ingin tidur dengan tenang tanpa harus dihantui rasa bersalah dan penyesalan, juga cintaku yang belum diucapkan. Aku ingin semuanya terselesaikan dengan baik dan damai, tanpa harus adanya air mata yang menetes. Entah itu milikku atau milik Roland. Mungkin milikku, aku tidak pernah melihat Roland menangis. Setidaknya, tidak di hadapanku.

Aku duduk di kursi yang sudah di sediakan, kini kami saling berhadapan, dengan jarak hanya beberapa puluh senti dan dibatasi oleh sebuah kaca anti pecah. Walaupun sudah dekat, aku merasa begitu jauh darinya karena masih ada hal yang membatasi kami, membuatku tidak bisa menyentuhnya sedikit saja. Jika kaca ini tidak ada, mungkin aku sudah kehilangan kendali dan memeluk tubuhnya seerat mungkin lalu menumpahkan tangisan rinduku di dadanya yang selalu membuatku merasa aman dan nyaman. Hanya dia, hanya bersamanya.

"Hai," Ucapnya tenang, dengan sebuah senyuman dan mata cokelat yang selalu mampu membuat hatiku berdegup sangat kecap. Entah itu hanya aku atau apa, tapi suaranya terdengar berbeda. Dan saat kuperhatikan lebih baik wajahnya, dia semakin... kurus.

"Hai." Jawabku sekenanya. Mata kami masih saling menatap, begitu lekat.

"Apa kabarmu?"

"Aku... baik. Kau?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 02, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mr. & Ms. PopularWhere stories live. Discover now