Satu

7.5K 425 424
                                    

"Lantas, siapa sangka kalau pertemuan tak terduga kita justru awal dari semua kebahagiaan dan kepahitan yang akan kita rasakan lebih dalam"

💫💫💫

      Tetes demi tetes air hujan turun membasahi bumi. Meninggalkan hawa dingin yang menusuk tulang. Hujan disertai dengan petir itu membuat orang-orang lebih memilih meneduh. Namun, tidak dengan seorang gadis yang tetap berdiri di tempatnya, tanpa berniat untuk pindah ke tempat yang dapat melindungi tubuhnya dari terjangan air hujan.

Rasa sesak dan sakit hatinya lebih mendominasi dibandingkan rasa sakit karena air hujan yang menerpa wajah dan tubuhnya. Suara petir yang menggelegar tidak ada apa-apanya dibanding dengan keterkejutannya akan fakta baru yang sekarang menimpanya.

Orang itu, pemuda itu, yang selama ini selalu terlihat ceria dengan senyum lebarnya, terakhir ia lihat sudah terbujur kaku dengan kulit pucat dan dingin. Jika beberapa waktu terakhir orang itu akan berdiri di sampingnya, kini sudah tak akan dapat lagi melakukan hal yang sama.

Ia menatap nanar batu nisan bertuliskan nama; Angga Alfarega. Setetes bening luruh menyusuri pipinya dan pecah di tanah. Isakan pun terdengar dari bibirnya. Telapak tangan kanannya bergerak menutupi bibirnya, upaya agar isakannya tidak bertambah keras. Namun sepertinya usahanya sia-sia. Bukannya mereda, isakan itu justru semakin menjadi-jadi.

Ditepuk-tepuknya dadanya yang sudah sangat penuh oleh rasa sesak. Ingin rasanya ia pulang dan pergi tidur, berharap saat ia bangun, wajah Angga yang sedang tersenyum menyambutnya. Berharap kalau semua ini hanya mimpi.

Tapi, faktanya Angga sudah pergi. Semesta sepertinya tak mengizinkan mereka untuk bersama lebih lama lagi.

Dia menyerah. Dijatuhkannya tubuhnya ke tanah, tepat di sisi nisan. Kepalanya tertunduk dalam, air mata terus jatuh sampai rasanya matanya membengkak dan perih.

"Ngga...," lirihnya perih.

"Jahat..."

"Jahat..."

"Jahat..." Lirihan menyayat hati itu terus terlontar dari bibirnya. Bahkan sekarang hujan sudah mereda dan langit mulai terang. Ia masih saja belum ada niat untuk pergi dari sana. Ia tak tega meninggalkan Angga seorang diri.

Bagaimana kalau Angga ketakutan saat ia mulai melangkahkan kakinya?

Bagaimana kalau Angga merasa terkhianati kalau ia pergi dari sana?

Banyak kata bagaimana berkecamuk dalam pikirannya. Ia menghapus air matanya lalu mendongak menatap langit. Bahkan langit pun tak ingin berlama-lama menemaninya bersedih. Langit pun tak ingin menyimpan kepedihan lagi, sehingga ia menghentikan tangisannya.

"Angga..., kamu nggak mau ya temenin aku sebentar di sini?" Lagi. Air matanya menetes perlahan namun rasanya sangat deras, sehingga sulit untuk dihentikan.

Ia menggelengkan kepalanya kuat. "Nggak gitu Ngga, nggak gitu. Maksud aku, kamu duduk disini, di samping aku. Temenin aku, Ngga," ucapnya di sela isakannya.

Ia memejamkan matanya seraya menghembuskan napas panjang. Berusaha untuk menetralisir sesak di dadanya, agar air mata yang dibenci Angga itu tidak lagi keluar.

💫💫💫

"Chandra tunggu! Kamu mau kemana?"

Cowok berwajah blasteran yang baru saja tiba di bandara Soekarno-Hatta itu menghentikan langkah lebarnya. Ia berbalik dan membuka kacamata hitamnya.

Bunga (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang