"Ah, anak ini punya bakat lain juga, rupanya." tahu-tahu, ada suara dari arah pintu masuk, dan kami melihat sosok Pak Kepsek yang sepertinya sudah dari tadi mengamati. Saka sepertinya juga sudah selesai memainkan pianonya.

"Wehe, makasih, pak! Apa kabar pak?" masih di tempat duduk piano itu, dia melambaikan tangannya pada Pak Kepsek, seperti orang yang sudah mengenal sejak lama

"Baik Sak. Ah iya, Bu Laras, ada tamu di ruangan saya untuk Ibu."

"Ah baik, pak. Anak-anak, sudah tidak ada yang akan dinilai lagi, kan? Kalian boleh kembali ke kelas."

"Saya sudah dinilai, kan, Bu?" Saka berdiri dari kursi piano, tapi masih tetap disitu

"Sudah Nak."

"Makasih Bu. Rai, Nad, Luss, teman-teman, ayo kembali." Saka dengan entengnya membawa bukunya kemudian keluar dari pintu setelah Bu Laras dan Pak Kepsek pergi. Meninggalkanku dan teman-teman yang masih melongo dengan permainan halusnya tadi.

"Eh, itu si Saka tadi main beneran? Bukan rekaman?" kata teman A

"Rekaman, kali!"

"Iya, dia pasti nipu Bu Laras."

Yah, aku hanya bisa diam. Wajar saja, lah, kalau teman-teman sampai bisa berkata begitu. Aku tidak ambil pusing dengan pemikiran seperti itu. Aku melangkahkan kakiku keluar. Menatap Saka, Nadya, dan Lussi yang sudah berjalan duluan sambil mengobrol bahagia. Setelah kupikir-pikir, kau, Saka Arjasa, yang dari luar begitu aneh membuat orang selalu meremehkan. Dan ketika kau suka sesuatu, kau mendalaminya, bahkan menguasainya walaupun itu terlihat aneh bin tidak mungkin. Hingga kau memberi kejutan dengan muka anehmu itu. Kau benar-benar licik. Tapi menggunakan rekaman, bagi Saka Arjasa? Ah, itu terlalu umum. Liciknya dia tidak mungkin yang semainstream itu.

"Ah, tidak-tidak, Saka bukan orang yang seperti itu." aku menenangkan diriku sendiri yang dari tadi berpikiran buruk terhadap Saka.

"Rai? Kenapa woy? Sakit perut? Minum oralit, gih." Saka dari tadi ternyata menungguku. Kalau saja kata-katanya tadi benar sedikit, aku tidak akan membalasnya dengan leparan buku. Yah, buku itu sekarang sudah mendarat tepat di kepalanya dan menggeser perbannya

"Aduh!! Sakit bego!!"

"Ga usah ngomongin orang bego, bego!"

Yah, dia memang begitu, dan akhirnya aku tetap tidak bisa membencinya.

Aku berjalan kearahnya, kemudian menarik kerah seragamnya, dan berjalan kearah UKS, "Kamu belum ganti perban hari ini. Ayo ganti dulu. Kalo nggak dipaksa nggak bakal jalan kamu pasti." "Siap kapten." dasar, kenapa jawabnya enteng banget? Nadya dan Lussi juga mengikuti kami di belakang. Yah, pembaca pasti bingung, kan, bagaimana caranya dia bisa tidak mengganti perban padahal harus mandi. Jangan tanya aku, deh.

Di UKS, aku langsung mengambil perban dan obat. Kali ini, kupastikan dulu obatnya agar tidak keliru mengambil minyak urut lagi. Nadya dan Lussi jelas menunggu di luar. Saka hanya duduk diam sambil memandangiku dengan heran. Ini anak, nggak pernah lihat perban, ya?

"Sak, mau cerita sejak kapan kamu bisa main piano?" aku yang terpaksa memecah keheningan karena risih ditatap matanya terus. Mana natapnya nggak woles pula. Aku menanyainya sambil mengganti perban dan kasanya.

"Rai.. kamu.."

"Kenapa?"

"Kepo yaaaaaaaa.... hahahaha aduh!!" hoi, aku tanya serius, malah dijawab dengan candaan, ketawa pula. Refleks plesternya kucabut dengan keraslah.

"Jangan bercanda. Aku tanya beneran. Kukira aku yang lebih mengenalmu, ternyata masih ada yang belum aku tahu darimu."

"Haaaahhh? Kamu nggak pernah lihat aku main piano, kah? Padahal dari TK mama dan papaku membuatku les alat musik itu terus, lho."

"HAH?!" tunggu, tunggu. Selama ini aku kemana?

"Yah, mungkin kamu nggak pernah tahu karena aku malas juga, sih, nunjukkin ke orang lain. Apa lagi setelah kepergian mamaku, aku jadi makin males pencet tutsnya. Tapi setelah aku lihat pianonya SMA ini kualitasnya bagus, jadi pengen main lagi." dia tersenyum bahagia. Jujur, ini pertama kalinya mendengar pengakuannya tentang keahlian bermain piano ini.

"Alasanmu, terlalu simpel, bodoh!" aku sedikit menampar pipinya. "Tapi ya, jawaban darimu itu cocoknya simpel, sih, kalau rumit nanti otakmu nggak sampai."

"Ya simpellah, hidup itu simpelin aja, lagian kalau rumit nanti kamu nggak paham, Rai." apa?! Belajar dari mana bocah ini, beraninya dia menghinaku. Dengan hinaan seperti itu, lagi.

"Bicara apa kau tadi? Hmm.. sepertinya lukamu sudah mulai kering. Mau kubuat luka baru lagi? Sepertinya menyenangkan." dia yang seenaknya menghinaku memang enak dilempar sesuatu lagi. Bagaimana bisa dia berpikir aku, Amarai Wardana, tidak dapat memahami sesuatu?!

Untung saja niat itu kuurungkan dan tetap melanjutkan mengganti perbannya. Akhirnya, tugasku untuk mengganti telah selesai. Dia keluar duluan, sambil berkata, "Makasih, ya, Rai." "Ya." aku hanya menjawabnya tanpa menengoknya.

Keluar UKS, bel pulang sudah terdengar. Kalau begitu, saatnya tim kebersihan beraksi. Kenapa ? karena pulang sekolah itu saatnya piket. Hehe, itu artinya juga saatnya aku, Amarai Wardana ikut turun tangan. Kenapa? Karena hari ini, adalah hari Selasa. Jadwal piketku itu hari Selasa, begitu juga dia. Yah, itulah sebabnya mengapa aku kembali harus menyeretnya yang aku yakin bukan rekayasa 'ingin pulang tanpa piket'. Tapi berhubung ini si Saka, jadi, ya pasti alasannya tidak piket itu karena dia lupa kalau dia piket hari ini, atau mungkin malah lupa kalau piket itu ada. Pertama, karena dia sudah pergi duluan dari UKS aku memutuskan berjalan ke kelas sambil mencarinya. Lagipula aku memang harus ke kelas memastikan dan memberi koordinasi pada tim kebersihan hari Selasa. Ketimbang orang yang piket hari Selasa, aku lebih suka menyebutnya tim kebersihan, terdengar lebih hebat, bukan?

Aku cukup terkejut, karena aku menemukan Saka sudah ada di depan kelas dengan sapu di tangannya, fenomena yang luar biasa. "Rai, lihat aku sudah piket lho, lihat, aku sudah menyapu kelas sampai bersih, hehe." Dia berkata dengan bangganya dengan sapu masih di tangan. Boleh juga, aku melihat ke dalam kelas, tapi ada yang aneh.

"Sak, kamu yakin sudah piket? Kelas ini terlihat belum tersentuh sapu."

"Sudah Rai, kamu tidak lihat? Bahkan kali aku sendiri yakin itu sudah bersih, lihat itu lihat baik-baik!" dia berkata sambil menunjuk dengan ujung sapu yang masih setia dia pegang.

Berpikir sejenak, Ah aku paham sekarang. "Saka, kamu nyapunya emang bersih, tapi, yang kamu sapu itu, kelas sebelah!" ini anak bego apa kurang kerjaan, sempat-sempatnya malah menyapu kelas sebelah.

"Eh? Lalu bagaimana? Apa aku kembalikan lagi ini sampah yang kusapu dari kelas sebelah, mumpung belum masuk tempat sampah."

"Ha?! Ya gak usah lah!" diam sejenak, menenangkan diri dari kaget mendengar ide tak bermutu Saka. "Mending sekarang kamu lanjut dengan menyapu kelasmu sendiri, seperti yang seharusnya, yang sudah terlanjur menyapu kelas sebelah, anggap saja beramal."

"Oh, oke." Pada akhirnya Saka mengiyakan, aku juga akhirnya ikut ambil sapu dan mulai menyapu. Tapi tunggu, gara-gara sibuk dengan Saka aku jadi tidak sadar, sudah tidak ada manusia selain aku dan Saka di kelas. Itu berarti mereka, anggota tim kebersihan hari Selasa, juga pulang, tanpa menunaikan tugas! Beraninya mereka, memanfaatkan aku yang terlambat kembali ke kelas setelah pelajaran musik.

Sudahlah, biarkan aku pulang dengan tenang, ke rumah tentunya.

***

Halo pembaca setia! setelah berdiskusi dengan penulis satunya, maka kami memutuskan hanya update 1 chapter. dan karena kami masih newbie, jadi ya pasti alasannya masih perlu dirombak. Tapi tenang, kita nggak berhenti kok. jadi, tetep setia ya :v dan selamat hari Ibu bagi Ibu di dunia!

Lyris SbN

Kesha Mutia

HUJAN DI MUSIM PANASDonde viven las historias. Descúbrelo ahora