BAB 30

9.3K 626 20
                                    

Setelah acara meminta restu yang penuh drama dan air mata, kelima orang tersebut memutuskan makan siang bersama tanpa ayah, Windi dan suami Windi, Subhan. Ayah sedang melakukan gladiresik bersama murid-muridnya yang akan tampil dalam acara pembukaan pameran seni ASEAN yang kali ini dilaksanakan di Indonesia. Sedangkan Windi dan Subhan sedang mengunjungi orang tua Subhan di Tangerang.

"Bun, nanti malem ke rumah Arumi ya sama ayah. Ngobrol-ngobrol aja dulu sama orang tua Arumi, kedepannya bakal gimana baiknya," pinta Divo. Ia memang tidak ada harapan untuk melamar Arumi saat ini juga, selain itu Divo dan Arumi sepakat untuk saling mengenal terlebih dahulu. Walaupun sebenarnya mereka bisa saling mengenal setelah menikah, tetapi keduanya sepakat untuk tidak terburu-buru. Lagipula usia Divo masih 24 tahun dan Arumi akan berusia 24 tahun dalam 6 bulan lagi.

"Kamu gak minta bunda sama ayah langsung ngelamar kan, dek?" bundanya jujur saja belum siap, bukan karena ia tidak rela jika Divo menikah muda, tetapi ia belum mempersiapkan apapun untuk acara lamaran. Bunda juga yakin, orang tua Arumi pun belum siap.

"Engga kok, bun. Kami udah sepakat untuk gak buru-buru, lagian aku udah ngelamar Arumi walaupun belum resmi," Divo mengangkat tangan kiri Arumi dan memamerkan cincin yang ia berikan.

"Lo gak papa kan Div kalo abang duluan yang nikah sama Tika? Rencananya abang pengen ngelamar Tika pas dia ulang tahun, bulan depan. Trus nikah pas abis lebaran, lo balik kan? Pas liburan musim panas itu," Nias membeberkan rencananya sedangkan Mustika hanya tersipu malu.

"Ih gila lo bang, gercep banget. Gak kuat ya si uler kadut minta dikandangin? Awas Tik abang gue suka matuk, hahaha," ejek Divo dan semua yang ada di meja makan tertawa, hanya Mustika yang diam, menyembunyikan wajahnya di pundak Nias.

"Dek ih kalo ngomong tuh dijaga, apalagi depan perempuan," bundanya memperingatkan, "Liat tuh Tika jadi malu."

"Ah bun, mereka udah pada gede ini. Udah bisa menghasilkan bayi, iya gak Um?" Divo kali ini menaik turunkan kedua alisnya sambil menatap Arumi. Kali ini gentian Arumi yang malu dan menyembunyikan wajahnya di meja.

"Malu-malu tapi mau," goda Nias, "Tika juga mau tuuuuh," tambahnya lagi. Kedua wanita muda itu semakin tak kuasa menahan malu, dicubit dan pukulnya pasangan masing-masing, kedua pria itu pun tergelak dan menghindar sedangkan sang bunda hanya menggeleng-geleng pasrah melihat kelakuan kedua anak lelakinya.

"Kamu udah ngomongin rencana kamu bang ke mamanya Tika?" tanya Bunda.

"Udah, bun. Awalnya mama agak kurang yakin karena Tika belum cinta sama abang, tapi pas Tika bilang kalo Tika sedang belajar dan abang ngeyakinin mama kalo usahaku bakal berhasil, mama baru ngizinin."

"Dih pede banget si pulau Nias," ejek Divo dan abangnya hanya membusungkan dadanya bangga.

"Yaudah nanti kita obrolin lagi masalah kamu sama Tika. Oh iya, Rum, bilang orang tua kamu ya kalo bunda sama ayah ntar malem mau kesana. Gak usah repot-repot, kita Cuma mau bertamu aja," kata bunda.

"Iya bun, nanti Arumi sampaikan."

Setelah makan siang selesai, Divo mengantarkan Arumi pulang, sekalian memberitahu orang tua Arumi jika ayah dan bunda akan mengunjungi mereka.

***

Di perjalanan, Arumi dan Divo sama-sama tak berhenti tersenyum. Perasaan lega yang luar biasa ditambah kebahagiaan yang membuncah di dada keduanya membuat Arumi dan Divo tak bisa mengekspresikan kebahagiaan mereka, bahkan mereka dapat berkomunikasi hanya sedang saling melempar senyum. Tipikal orang dimabuk asmara.

Sesampainya di rumah, Divo dan Arumi disuguhi pemandangan yang menggelikan, yaitu ayah dan ibu Arumi yang sedang kejar-kejaran. Ayah menggunakan sarung sebagai sayap dan bunda menggunakan tutup panci sebagai perisai.

The OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang