BAB 24

7.7K 641 25
                                    

Tidak ada yang berubah selama hampir 2 minggu terakhir, termasuk sifat bunda Divo yang masih belum mau menerima Arumi. Pertunangan bodoh yang direncanakan bunda dan tante Ajeng pun tidak pernah ada, karena Divo sudah jelas-jelas menolak. Hal tersebut tentu saja membuat Mustika sedih, bagaimana pun juga ia berharap agar Divo mau melihatnya walau sebentar saja. Sejak pertama kali melihat Divo ketika ia duduk di bangku SMP kelas 2, Mustika sudah tertarik pada Divo. Saat itu, mama mengajaknya mengunjungi rumah bunda Divo untuk membuat kue, karena keduanya adalah peserta kursus membuat kue di Boga Cakra. Ketika kedua ibu-ibu tersebut sedang sibuk membuat adonan kue, Mustika mendengar samar-samar suara Saxophone. Mustika pamit untuk mencari asal dari suara yang mengalun indah tersebut dan sampailah ia di depan studio milik keluarga Divo yang terletak di bagian paling belakang rumah, dekat dengan taman dan kolam ikan. Pintu studio tersebut terbuka setengahnya dan Mustika pun tanpa sadar sudah berdiri di depan pintu dengan tatapan takjub. Di dalam sana, seorang anak laki-laki yang usianya diperkirakan tidak jauh darinya, sedang memainkan Saxophone dengan sepenuh hati. Matanya terpejam seolah-olah ia sangat menghayati setiap nada yang ia bawakan, dengan senyum samar disela-sela tiupannya membuat nafas Mustika seolah terhenti. "Ya Allah, ganteng banget," batin Mustika saat itu.

Divo tidak menyadari keberadaan Mustika hingga ia menyelesaikan lagu tersebut, saat membuka mata, pandangannya langsung tertuju pada Mustika yang berdiri di depan pintu sambil memegangi dada kirinya. Divo tersenyum dan menghampiri Mustika, "Lo siapa?" tanya Divo bingung. Mustika adalah gadis yang sangat lemah lembut dan berpakaian sangat feminim, wajahnya sangat imut dan membuatnya terlihat jauh lebih muda dari umurnya.

"Aku Mustika," jawab Mustika sambil malu-malu. Bagaimana tidak malu jika ia ketahuan mengintip?

"Mau cari siapa ya?" tanya Divo lagi, setahunya ia tidak mempunyai teman bernama Mustika.

"Aku...kesini bareng mama, mamaku lagi buat kue sama mama kamu."

"Ooh, gue masih mau main musik, lagi latian buat ujian praktek. Mau ikut masuk atau mau disini aja?"

"Emang boleh?" Mustika merasa takjub.

"Kalo gak boleh, lo gak bakalan gue izinin masuk."

"Oh, yaudah," lalu keduanya pun masuk ke studio.

***

Mustika selalu suka saat melihat Divo memainkan alat musiknya, selain bertalenta dalam memainkan beberapa alat musik, Divo juga sangat menjiwai setiap melodi yang ia mainkan. Setelah pertemuan pertama mereka, Divo dan Mustika berteman. Mustika selalu menjadi orang pertama yang Divo beritahu tentang lagu baru yang ia ciptakan, Mustika akan mendengarkan Divo memainkan alat musiknya dengan fokus dan meskipun ia bukan expert dalam bidang musik, Mustika dan Divo mempunyai ikatan yang cukup kuat dalam hal musik. Divo selalu merasa lebih baik setelah Mustika mendengarkan aransemen baru yang ia mainkan, ia juga selalu merasa percaya diri saat Mustika menonton konsernya.

Mustika sangat mencintai Divo. Wajahnya yang tampan, sikapnya yang masa bodoh tetapi pintar, terutama dalam bidang musik membuat Mustika tak bisa memalingkan wajahnya dari Divo. Umur Divo 1 tahun lebih tua daripada Mustika, namun Mustika merasa jika Divo pantas menjadi pendampingnya. Divo memperlakukannya dengan sangat baik, mempercayainya dengan sepenuh hati, dan juga melindunginya.

Tetapi Divo, ia hanya menganggap Mustika sebagai adiknya yang harus ia lindungi, sebagai pendengarnya yang paling setia dan penasehat terbaiknya.

Divo tidak sadar, jika selama ini Mustika menahan sakit hati yang teramat sangat saat Divo bercerita tentang Arumi dan sebesar apa rasa cintanya pada gadis yang baru ia temui itu. Lebih parahnya lagi, hati Mustika merasa sangat sesak ketika Divo membela Arumi di depannya, keluarganya, dan beberapa orang lain. Mustika kalah telaj daei Arumi.

Mustika tahu tentang ambisi Divo berkuliah di Helsinki, ia juga membantu Divo untuk meyakinkan bunda agar ia diizinkan berkuliah di sana dan selama 4 tahun Divo berada di Finlandia, selama 4 tahun juga Mustika harus menderita mendengar curhatan Divo setiap harinya, dan ya, seperti yang sudah ia tebak, curhatan Divo selalu tentang Arumi dan betapa ia sangat merindukan gadisnya itu.

Cinta dalam diam membuat Mustika tersiksa, tapi ia tidak pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan selama hampir 9 tahun ini.

***

"Umi, abi bakal pulang ke Finlandia weekend ini."

Divo dan Arumi sedang menikmati liburan singkat mereka di Bandung. Divo memang hanya mengambil cuti sebentar dan ia harus kembali bekerja setelah libur tahun baru usai.

"Aku tau," jawab Arumi yang sedang sibuk dengan teh poci hangatnya.

"Bunda belum ngerestuin kita, aku belum tenang mau balik kesana," Divo sudah merasa frustasi dengan bundanya.

"Aku tau," respon Arumi masih sama.

"Aku harus gimana, Rum? Bantu aku nemuin cara lain biar bunda mau nerima kamu."

Arumi tersenyum masam, "Aku bingung, Div. Bunda susah banget diambil hatinya. Aku mau usaha bareng-bareng sama kamu, tapi gak tau lah, Div."

"Aku bakal tanya kak Windi, gimana caranya biar bunda mau nerima kamu," kata Divo lagi.

Arumi mengangguk percaya. Memangnya apalagi yang dapat ia lakukan selain percaya pada Divo?

***

Divo mendatangi kediaman Windi, ia butuh seseorang yang dapat ia ajak berbicara.

"Tumben kamu main kesini, ada maunya pasti," tebak Windi saat ia melihat adik tersayangnya.

"Tau aja nih bumil, hehe. Mau curhat dong kak," kata Divo, ia langsung menuju dapur dan mengambil minuman dingin di kulkas.

"Adik gak tau diri," cibir kakaknya. "Mau cerita apaan?"

"Ya tentang aku sama Arumi lah kak, apa lagi?" Divo sedikit sewot dan kak Windi hanya tertawa melihat ekspresi kesal adiknya.

"Bunda belum mau nerima Arumi?" Windi menebak-nebak masalah apa yang sedang dihadapi adik bungsunya tersebut.

"Iya, padahal minggu ini aku mau balik ke Helsinki."

"Kamu udah pernah ngobrol sama bunda?" tanya Windi lagi.

"Udah, tapi bunda nyolot terus," Divo meletakkan gelasnya yang sudah kosong di atas meja,"Mustika terus yang dibawa-bawa. Aku tuh ga pernah punya perasaan apa-apa sama dia, aku cuma cintanya sama Arumi, titik."

Windi tersenyum melecehkan, "Dulu ada yang nangis pas Mustika di rawat di rumah sakit," godanya.

"Ya itu kan waktu masih SMA, yaelah belum tau cinta-cintaan," elak Divo.

"Ya emang kamu engga ngerti, tapi kakak ngerti, Div. Kamu juga sempet kalang kabut saat temen kamu si Malik suka sama Mustika," tambah Windi.

"Ya itu karena aku dah anggap Tika sebagai adik aku, kak," jawab Divo tak mau kalah.

"Div, saran kakak, kenali perasaan kamu. Yang mana cinta dan yang mana obsesi. Kakak sih setuju-setuju aja kamu mau sama Arumi atau Tika, asalkan kamu tahu betul perasaan kamu," Windi mendekati adiknya dan mengelus lengannya, "Kamu udah dewasa sekarang, cobalah menilai sesuatu dengan objektif. Kakak tau, pasti bakal ada salah satu dari mereka yang terluka. Tapi kamu harus tegas sama perasaan kamu," tutupnya.

Divo terdiam, nasehat-nasehat kakaknya terus berputar dalam benaknya.

"Arumi atau Mustika? Cinta atau obsesi?" Tanyanya dalam hati.

Divo benci keadaan ini, meminta bantuan Windi tidak membantunya sama sekali, malah menambahnya.

***

3 Desember 2017

Pilih:

Arumi dan Divo?

Atau

Mustika dan Divo?

The OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang