BAB 23

8K 717 12
                                    

Andai Arumi tidak dibesarkan dengan pendidikan moral yang baik, mungkin saat ini ia sudah melempar apapun yang ada di dekatnya kepada 3 orang wanita yang sedang duduk di sofa. Tetapi demi Divo ia berusaha menahan amarahnya dan menampilkan senyum palsu yang lumayan terlihat tulus. Sialnya lagi, kejadian tadi hanyalah permulaan dari kejadian menjengkelkan lainnya. Beruntunglah kak Windi sekali-kali mengajak Arumi mengobrol saat Divo sedang diperalat oleh ketiga iblis berwujud wanita anggun. Divo terlihat menghela nafas berkali-kali saat momennya dengan Arumi diinterupsi.

"Sabar ya, Rum. Bunda emang gitu orangnya," kata kak Windi berusaha menghibur Arumi yang terlihat tidak bersemangat mengikuti rangkaian acara baby shower ini, "Tapi kakak tau Divo, dia pasti bakal merjuangin apa yang dia mau. Sama kayak pas dia merjuangin mimpinya," lanjutnya.

Arumi hanya mengangguk, tidak tahu apa yang ingin dia ucapkan. Arumi sekarang memang berbeda dengan Arumi saat pertama kali masuk universitas. Dulu ia sangat tak punya malu, tidak peka dan bodoh. Tetapi sejak kejadian Dipta dan Divo, kepekaannya meningkat dan ia mengurangi kecerobohan dan kegilaannya sedikit demi sedikit. Kadang ia merindukan saat-saat dimana masalahnya hanya tugas kuliah yang tak kunjung habis, namun sekarang ia sudah tumbuh dewasa dan menjadi wanita yang harus menjaga diri dan kehormatannya.

"Rum," panggil kak Windi lagi. Saat ini mereka memang sedang duduk di kursi taman, setelah acara selesai, kak Windi meminta agar Arumi menemaninya karena katanya ia merasa kegerahan di dalam ruangan. Arumi tahu itu hanya alasan supaya Arumi tidak terus-terusan merasa terabaikan dan sedih saat melihat Divo dimonopoli bunda, tante Ajeng dan Mustika.

"Iya kak?" Arumi menolehkan wajahnya kearah Windi.

"Kakak cuma mau pesen, apapun yang bakal kalian hadapi nanti, kalian harus tetap bertahan dan lanjutin apa yang udah kalian rencanain," Ujar Windi sambil mengusap perutnya pelan.

"Maksudnya, kak?" Arumi ingin menegaskan maksud dari perkataan Windi.

Windi melirik jari manis Arumi, "Itu," tunjuknya dengan bola matanya, "Divo pasti udah melamar kamu secara pribadi kan? Tinggal tunangan resminya aja," Windi lagi-lagi tersenyum manis.

"Uh, iya kak. Setibanya dia di Indonesia, dia langsung ke rumahku dan ngasih ini," semburat merah muncul di kedua pipi Arumi dan cara bicaranya terlihat malu-malu.

Windi tertawa saat melihat ekspresi Arumi, "Hahaha anak itu emang bener-bener deh, takut banget disalip lagi. Dulu ya, Rum, dia pas patah hati curhat ke kakak sambil nangis-nangis. Konyol emang liat dia nangis kayak ABG alay diputusin pacar padahal baru jadian sejam, tapi kakak bisa liat ketulusan dia."

Tawa Arumi tak bisa ditahan lagi saat membayangkan Divo merengek dan memaksa Windi mendengarkan curhatannya, "Aduh, aku jadi ngerasa bersalah, tapi pengen ngetawain juga haha," kata Arumi yang tidak mampu menghentikan tawanya.

"Iya emang ngenes banget dia dulu, tapi dari situ dia belajar untuk lebih berani dan memperjuangkan apa yang dia mau, yaitu kamu dan kuliah di Finlandia."

"Kata Divo, bunda setuju, tapi saat makan malem kemarin yang aku denger malah beda," Arumi bingung.

"Sebenarnya bunda gak ngizinin Divo kuliah di luar, dia mau Divo kuliah di Indonesia aja, sekolah pilot atau apapun selain musik. Bunda pengen Divo engga ikut-ikutan ayah dan Nias karena katanya, pekerjaan itu tidak menjamin. Padahal ayah yang bekerja sebagai seorang pemusik mampu memenuhi kebutuhan kami, tapi bunda selalu merasa kurang. Divo tentu aja menolak perintah bunda, ia tetap nekat mendaftar di kampus itu tetapi gagal. Akhirnya bunda kembali memaksa Divo untuk kuliah di Indonesia, lebih tepatnya Jakarta, Divo menyetujui dengan satu syarat, dia mau kuliah di jurusan seni musik," jelas Windi panjang lebar.

"Terus gimana dia bisa kuliah di luar negeri?" Arumi penasaran dengan cerita Windi.

"Tahun berikutnya, dia kembali mencoba dan akhirnya dia diterima. Banyak pertimbangannya saat itu, salah satunya dia gak mau jauh dari kamu. Cuma dulu kakak saranin, kalo dia harus mengejar mimpinya dulu karena kakak yakin, kalian pasti bakal berjodoh. Agak aneh sih, tapi kakak ngerasa dia bakal sukses sama misinya, walopun dulu kamu enggak pernah ngelirik dia sama sekali."

Arumi menaikkan sudut kiri bibirnya kemudian menipiskan kedua bibirnya, "Trus bunda?"

"Bunda awalnya gak setuju dan tetep sama pendiriannya, trus saat ngeliat Divo putus asa, bunda pasrah. Dia kira Divo hancur karena kamu, padahal itu enggak 100% bener, larangan bunda jauh lebih bikin Divo sedih karena artinya ia harus kehilangan mimpi besarnya."

Arumi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian Divo datang dengan raut wajah yang terlihat marah.

"Rum, ayo kita pulang," kata Divo dingin. Ia mengulurkan tangannya dan Arumi langsung menyambutnya.

Windi yang tahu jika ada yang tidak beres mempersilahkan Arumi untuk pulang, "Hati-hati Div bawa mobilnya jangan sambil emosi," dan Divo hanya mengacungkan jempol tangannya.

Saat melewati ruang keluarga, Arumi dan Divo mau tidak mau harus bertemu dengan ketiga wanita itu. Ayah, Nias dan suami Windi sedang asyik mengobrol dengan beberapa tamu yang belum pulang.

"Div, kamu antarkan Mustika pulang," bunda berkata dengan nada memerintah.

"Bunda liat kan Divo kesini sama Arumi? Divo juga yang antar Arumi pulang!" Divo tak mau kalah.

"Divo, kamu sekarang berani sama bunda! Gara-gara dia!" tunjuk bunda pada Arumi yang sedari tadi hanya menunduk, "Buka mata kamu, Div. Mustika lebih cantik dan pekerjaannya lebih bagus, Arumi cuma seorang guru!"

Divo menggeram marah, "Bunda meremehkan pekerjaan Arumi? Hebat sekali! Asal bunda tahu, tanpa guru, bunda gak bakal bisa kayak sekarang! Dan kalo bunda lupa, Divo ingetin lagi kalo ayah juga seorang guru musik dan punya sekolah musik. Bunda menikmati gaji ayah yang juga guru, bunda gak malu sama ucapan bunda tadi?" Arumi dan beberapa orang yang ada di ruangan terkesiap mendengar ucapan tajam Divo.

"Kamu anak durhaka! Pergi sana kamu!" usir bunda dan Divo pun dengan senang hati meninggalkan rumah, tidak peduli tatapan orang-orang yang menyaksikan drama tersebut, termasuk ayahnya yang tersenyum bangga.

***

"Div, maaf," cicit Arumi saat keduanya berada dalam mobil. Divo berusaha meredam emosinya dan melajukan mobilnya dengan pelan.

Ketika mobil yang mereka tumpangi sudah berada di komplek kediaman Arumi, tangan kiri Divo terulur dan mengusap lengan wanita itu pelan, "Bunda sudah keterlaluan kali ini, dengan tanpa dosanya ngerencanain pertunangan aku dan Mustika minggu depan. Tololnya lagi, Mustika malah seneng dan semangat."

Arumi merasa takut dan sedih, bagaimana jika Divo tidak bisa menolak?

"Tapi aku udah tegesin ke bunda, kalo aku gak bakal nikahin siapapun selain kamu," pandangannya teralih beberapa detik kearah Arumi, sorot matanya terlihat tulus dan meyakinkan.

"Div, gimana kalo bunda maksa?"

Divo menggeleng, "Kali ini gak akan bisa. Ayah, bang Nias dan kak Windi berada dipihakku. Menurut mereka, urusan mencari pasangan itu gak bisa dipaksa."

Wanita itu tersenyum, setidaknya ada sedikit kelegaan merasuki hatinya. Ia berjanji pada dirinya sendiri, jika kali ini, ia akan ikut berjuang bersama Divo. Tepat saat Divo menghentikan mobilnya di kediaman Arumi, wanita itu berkata, "Aku akan berjuang sama kamu, Div."

Wajah Divo berbinar, ia langsung meraih kedua tangan Arumi dan menciumnya, "Terima kasih, Umi. Terima kasih!" ada rasa haru dan bahagia terdengar dari suara Divo.

"Sama-sama," jawab Arumi, "Aku masuk, ya. Kamu mau kemana abis ini? Kamu kan diusir bunda," ia merasa tidak enak hati karena sudah membuat kekasihnya tersebut diusir.

Divo terkekeh, "Aku mau ke rumah Aden, besok aku bakal pulang karena bunda ga pernah bener-bener ngusir aku."

Arumi tersenyum sambil mengangguk, "Baiklah. Hati-hati di jalan."

"Siap Umi-ku sayang, Abi jalan ya, mwah," Divo berkata dengan nada genit, mengingatkan Arumi pada kejadian-kejadian beberapa tahun lalu.

*** 

25 November 2017

The OneWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu