BAB 13

7.7K 720 24
                                    

Aden, Emma, Malik dan Rafsan langsung terbangun dengan sempurna dari tidurnya. Mereka langsung mengambil posisi mengerubungi Arumi yang sudah tidak sadarkan diri. Di sisi lain, Divo memeluk erat kepala Arumi sambil menampar-nampar pipinya pelan.

"Bangsat! Gak ada respon!" cerca Divo saat Arumi masih tidak merespon.

"Kasih balsem," saran Malik.

"Goblog, nanti malah makin kedinginan!" sungut Aden. "Goyang-goyang terus badannya," perintah Aden pada teman-temannya.

"Rumi, bangun, please," pinta Divo yang panik dan sudah mulai putus asa.

"Lik cari emergency blanket cepetan!" kali ini Rafsan yang bersuara. "Jangan kasih dia minum, nanti tersendak!" katanya lagi saat Emma hendak membuat air hangat untuk Arumi.

Emma, Aden dan Rafsan masih terus menggoyangkan tubuh Arumi. Sedangkan Divo semakin keras menampar kedua pipi Arumi. Sesekali Divo mengecek nafas Arumi yang semakin lama malah semakin melambat, dan hanya 1 tarikan nafas dalam waktu kira-kira 1 menit.

Mereka memanggil-manggil nama Arumi, semakin keras menggoyangkan tubuhnya, juga memberi tamparan yang semakin mengeras. Tetapi tidak ada sama sekali respon yang diberikan. Sementara itu, Malik masih sibuk mencari emergency blanket. Lampu senter yang dibawanya sama sekali tidak menolong.

"Kita pulang bawa kantong mayat, mayat Arumi, apa yang harus gue omongin ke orang tuanya?" racau Divo yang mulai menyerah saat Arumi berhenti bernafas.

Rafsan yang mendengar racauan Divo pun tak terima dan melayangkan tonjokannya tepat di wajah Divo, "Goblog lo! Gak ada yang bakal mati! Anj*ng! Sadar lo," ujar Rafsan marah. Jika tidak dalam keadaan seperti ini, pasti Divo sudah membalas tonjokan Rafsan.

"Sst, kalian jangan pada ngomong kasar. Inget sekarang kita dimana, jaga sikap, please, fokus ke Arumi," ucap Emma menengahi.

Malik pun akhirnya menemukan emergency blanket, lalu segera dikeluarkannya tubuh Arumi dari dalam sleeping bag, kemudian dibungkusnya tubuh itu dengan emergency blanket dan 2 lapis sleeping bag.

Divo masih memeluk Arumi erat, menggumamkan permintaannya agar gadis itu terbangun. Ia juga menciumi dahi Arumi sambil mencubit-cubit pipinya.

"Arumi, please, bangun Rum," pinta Divo sambil menitikkan airmatanya.

"Divo, jangan sampai airmata lo kena Arumi," Emma memperingatkan.

"Gue gak mau kehilangan Arumi," lirih Divo yang akhirnya tidak bisa menahan tangisannya.

Aden meremas pelan pundak Divo dengan sebelah tangannya sedangkan tangan yang lain masih menggoyang-goyangkan tubuh Arumi, "Enggak bro, Arumi gak akan meninggal."

Setelah beberapa menit, satu per satu di antara mereka mulai menyerah. Perasaan optimis mereka hilang, digantikan perasaan pesimis karena tidak ada kemajuan sama sekali dari Arumi.

Divo semakin keras menangis, ia memeluk kencang tubuh Arumi dan tak henti-hentinya menciumi wajah Arumi yang kini basah oleh airmatanya, "Arumi, please,  aku cinta banget sama kamu. Bangun sayang, aku mohon," pinta Divo dengan sangat.

Saat Divo menyerah dan akan meletakkan tubuh Arumi, tiba-tiba ia mendengar sebuah suara dari mulutnya, "Sshh," desis gadis itu.

Sontak Divo dan teman-temannya merasa kembali optimis, mereka kembali menggoyangkan tubuh Arumi dan Divo menghapus airmatanya yang ada di wajah Arumi.

"Arumi?" panggil Divo.

"Hmm," respon Arumi pelan.

"Emma, buatin teh manis anget cepet!" perintah Rafsan dan Emma yang ditemani Aden pun segera melaksanakan perintah.

The OneOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz