Hening, Nika menunggu cerita selanjutnya.

“Gue nggak peduli akan harga diri, karena gue ingin perasaan gue tersalur kedia. Gue bahkan menyadari itu adalah hal bego, gue selalu mengejarnya, Nik. Gue selalu yakinin dia kalau gue itu punya rasa cinta yang tulus.

Itu terjadi sampai setahun, hubungan gue dan Kak Arga sama sekali nggak berubah. Kita kayak teman biasa, nggak ada rasa canggung setelah gue mengungkapkan perasaan gue. Dan gue pernah bilang ke dia, 'Aku cinta kakak, kenapa kakak nggak pernah balas perasaan aku?' Konyol, ya?

Memang benar, itu konyol. Dan Kinar mengakui hal itu. Seharusnya dia pergi saja dan menyerah karena orang yang dia cintai sama sekali tidak membalas perasaan cintanya. Tapi satu hal yang perlu Arga ketahui, kalau Kinar memang memiliki perasaan cinta yang tulus untuk Arga.

“Lalu?” Nika benar-benar tidak sabaran ingin mendengar kelanjutannya. Menurutnya Kinar terlalu sering menjeda ceritanya, hingga dia jadi greget sendiri.

“Lalu gue menyerah, gue ngerasa ini adalah pilihan tepat supaya gue nggak lagi berharap lebih dari dia. Gue bahkan mau menghindar, tapi disaat gue bilang gue menyerah dan putus asa, waktu itu kak Arga dalam keadaan mabuk.

Dia dengar kalau kak Aliva bakalan tunangan sama mantan sahabatnya. Gue jadi yakin kalau yang membuat kak Arga nggak pernah cinta kegue itu karena kak Aliva. Mantan kak Arga yang lebih sempurna dari gue.” Kinar menarik napasnya dalam-dalam, dia sebenarnya lelah menceritakan hal ini. Tapi karena Nika adalah sahabatnya, dia akan tetap menceritakannya.

Gue pernah bilang kayak gini, 'kalau kakak cemburu, aku ada disini buat tenangin diri kakak. Oke aku memang bukan kak Aliva yang punya sejuta kelebihan. Tapi aku bisa saja serahin diri aku buat kakak.'

Gue bodoh, ya? Gue ngerasa bego banget karena dibutakan oleh cinta. Setelah gue ngomong gitu, kak Arga bawa gue ke rumahnya dan setelah itu, you know what happen?

“Kinar, lo—” cukup. Nika tidak mampu melanjutkannya. Tenggorokannya tercekat. Dia tidak menyangka jika sahabatnya menghancurkan harga dirinya sendiri. Apalagi yang ada dipikiran cewek itu? Nika menggelengkan kepalanya tidak percaya, Kinar seperti bukan sahabatnya.

“Gue tahu, lo boleh benci gue. Lo boleh pukul gue, ejek gue atau—”

“Sstt, udah cukup. Gue sadar lo bego banget kalau ambil keputusan. Tapi ini juga salah gue, gue sahabat yang nggak becus.

Disaat kita dulu mikir bakalan raih mimpi kita bersama, tapi nyatanya gue malah ninggalin lo dan dengan tertawa bahagia gue ada di negeri orang. Sementara lo, terpuruk disini.” Itu uneg-uneg Nika. Dia juga salah, bukan Kinar yang salah.

“Udahlah, terlanjur juga.” Jawab Kinar dengan nada pasrah. Tapi selanjutnya setelah sadar kalau kak Arga ngira gue itu Aliva, waktu ngelakuin hal itu. Hati gue hancur. Gue ngira kalau setelahnya kak Arga bakalan tanggung jawab. Sampai sesuatu yang gue takutkan buat diri gue trauma. Gue nyaris gila saat itu.” Lanjutnya.

“Janin dirahim gue beneran enggak ada, kejadian malam itu benar-benar tidak membuahkan hasil dan gue bersyukur banget, Nik kalau lo tahu itu.” Imbuhnya.

“Jadi hal itu nggak sampai bikin lo hamil?” Tanya Nika mengoreksi.

Kinar mengangguk, tatapannya masih kosong.

“Terus, lo kenapa kayak gini?” Tanya Nika lagi, sambil menatap nanar kekaki Kinar.

Kinar tersenyum, Kak Arga rupanya udah cerita ke kak Aliva. Karena kak Aliva datang nemuin gue, kasih gue saran supaya gue minta pertanggung jawaban dari kak Arga. Tapi gue menolak.

Ya kali, harga diri gue mau ditaruh dimana? Gue cewek, minta pertanggung jawaban ke cowok. Ya gue lebih mikir buat ngelupain kejadian itu, lah, toh nggak membuahkan hasil apapun. Kinar terkekeh.

Dan gue ngambek ke kak Aliva, gue ninggalin dia di kafe dan tanpa gue sadari kak Aliva ngejar gue, gue semakin menjauh. Dan akhirnya sebuah mobil nabrak gue. Gue koma selama dua minggu, dan dokter memvonis gue kalau gue lumpuh. Lanjutnya.

Hati Nika teriris, bukan dirinya saja yang menderita dimasa remaja. Tapi sahabatnya itu lebih menderita dibandingkan dia.

Dan lo tahu, gue beberapa bulan yang lalu menjalani hipno-terapi. Dan satu tahun ada di rumah sakit jiwa karena gue gila, ujar Kinar menambahkan.

Nika diam, membayangkannya saja membuat Nika bergidik. Dia menatap wajah Kinar yang nampak sumringah dari sebelumnya dengan tatapan menelisik. Nika ingin tahu seberapa besar kerapuhan Kinar, namun dia tidak mampu. Karena dia sendiri juga sedih mendengar cerita Kinar.

***

Udah kebongkar, giliran mikir endingnya ini.

SINCERITY [COMPLETE]Where stories live. Discover now