SINCERITY - 9

2.1K 98 0
                                    

Suara pintu terbuka mengalihkan pandangan Kinar menuju sosok yang selalu melindungi dan menyayanginya, karena suara itu—pintu terbuka—Kinar menyudahi lamunannya. Derap langkah kaki Rizal terdengar menusuk ditelinga Kinar, dengan melangkahkan kakinya, Rizal tersenyum kepada Kinar. Dan gadis itu membalasnya dengan senyuman hangat. Yang mana senyuman itu masih tertahan dalam diri Kinar yang masih menerawang luka. Tapi kini tidak, Kinar mencoba saran Rizal. Ia mencoba untuk memulai hidupnya dari awal—seperti sebelum dia terkena skandal beberapa waktu lalu.

“Are you okay, dear?” Itu yang dikatakan Rizal ketika dia sudah duduk ditepi tempat tidur Kinar, dengan pandangan tertuju kearah Kinar yang masih tersenyum kepadanya. Ini sudah dua hari, setelah Daniel datang untuk mengajak Kinar keluar atau pergi jalan-jalan. Rizal tidak tahu apa yang dibicarakan Daniel saat laki-laki itu hanya berdua dengan adiknya. Tapi Rizal tahu jika Daniel bisa menjaga kepercayaannya. Jujur saja, ia sangat menginginkan sang adik kembali seperti dulu—yang ceria dan manja—dan Rizal menaruh kepercayaan itu kepada Daniel, jika Daniel dapat membuat Kinar sejenak melupakan hal-hal buruk.

“Fine. Tapi sedikit memikirkan,” Kinar tidak tahu apa yang dia katakan. Memang benar jika dia masih sulit untuk melupakan sosok Arga. Bayangan-bayangan kisahnya bersama Arga masih terekam jelas dimemorinya, hingga dia kesulitan untuk sekedar melupakannya.

“Believe with me, you can.” Lirih Rizal, berusaha memberi semangat dan kekuatan kepada sang adik.
Menundukkan kepala, gadis itu memilih untuk memilin ujung kaos yang dikenakannya. Ketika Rizal perlu tahu tentang apa yang dirasakannya saat ini, Kinar yakin. Pasti kakaknya itu akan bersikap sama.

“Bentar lagi Daniel jemput, loh. Kenapa belum siap-siap?” Mendengar pertanyaan Rizal, membuat Kinar kembali menatap laki-laki itu. Kinar bahkan melupakan janji itu—antara dirinya dan Daniel jika akan bertemu—sebab dia terlalu memperburuk diri didalam kamarnya.

Baru saja Kinar akan memulai untuk menjawab pertanyaan Rizal barusan, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar dari luar. Itu Rere—bunda mereka—dengan tersenyum dan berdiri diambang pintu dengan pertanyaan, “boleh bunda masuk?”—membuat empat pasang mata tertuju kearahnya.

Kinar tersenyum dan mengangguk untuk membalas pertanyaan sang bunda, tanpa berpikir lama beliau melangkahkan kakinya untuk menghampiri kedua anaknya.

“Ada janji dengan Daniel? Kenapa belum bersiap-siap?” tangan kanan bunda terulur untuk mengelus lembut rambut Kinar, hal yang selalu membuat Kinar merasakan kehangatan—itu yang pernah Rere dengar dari permintaan putrinya.
Sebelum menjawab, Kinar menatap kedua mata coklat Rizal. Ia meminta pendapat dan saran dari abangnya itu. Hingga Rizal mengangguk untuk mengatakan ‘ya’.

“Bun, Kinar di-make-up-in dong, dia kan mau keluar sama Daniel.” Rizal mengerling kearah Kinar, dan setelahnya dia segera melenggang pergi sebelum adiknya itu mengamuk.

“Abang!” pekik Kinar, apa yang dipikirkan Rizal memang benar. Belum sampai dia keluar kamar adiknya, dan Kinar sudah memekik bersiap seperti ingin membunuhnya. Kinar belum berubah, pikirnya dengan tersenyum. Setelah itu Rizal berderap menuju kamarnya.

“Bunda bantu siap-siap, ya?” berhadapan dengan sang bunda, seperti Kinar berhadapan langsung dengan cermin. Wajah dan perawakannya benar-benar mirip dengan bunda, tapi sikap Kinar berbeda jauh dengan sang bunda. Sang bunda lebih sopan dan lugu sewaktu muda, sementara Kinar terlihat bar-bar dan ceroboh. Berbeda halnya dengan Rizal, sifat bunda diturunkan kepada Rizal. Oleh sebab itu, banyak orang merasa heran jika anak laki-laki Rere lebih santun ketimbang putrinya.

Mengangguk, hanya itu yang bisa Kinar lakukan. Sejujurnya dia merasa enggan untuk sekedar keluar bersama Daniel, munafik memang. Tapi dia sudah berjanji, ia tidak mau membuat laki-laki itu—Daniel—yang selalu berada disampingnya kecewa.

Bunda tersenyum tulus, sementara Kinar menarik napas sesaat sambil melihat bunda berjalan menuju lemari pakaian di kamar Kinar. Mungkin mencari dress—bukan dress sebenarnya, lebih tepatnya terusan yang terlihat indah jika dikenakan Kinar—yang hendak digunakan Kinar nanti.

Setahu Kinar, bundanya itu tahu jika putrinya tidak memiliki pakaian yang semacam itu. Tapi entah mengapa, bunda memilih untuk mengambil pakaian tersebut dari dalam lemari pakaian Kinar. Yang kebetulan memang ada didalam sana. Bunda mengambil sebuah rok terusan berwarna biru tosca yang tergantung digantungan baju. Mengamati setiap inchi pakaian tersebut, yang tidak bermotif sama sekali. Hanya saja pakaian itu tanpa lengan, menutupi bagian punggung dan dada. Ada sebuah gantungan sabuk dibagian pinggang, sementara bagian bawah roknya terlihat lebar—tidak ketat. Kinar bisa melihat, pakaian itu terbuat dari bahan sifon. Kinar sama sekali tidak tahu jika dia punya pakaian tersebut, yang dia tahu adalah bunda pernah memberikan satu dress marun sewaktu usianya baru tujuh belas tahun.

Bunda tersenyum, lalu menutup kembali lemari tersebut. Lalu berjalan menghampiri Kinar, “Kamu cocok kalau pakai ini.” kata beliau.

Kinar mengernyitkan dahi, “Sejak kapan gue punya pakaian itu?” gumamnya.

Setelah menaruh diatas tempat tidur Kinar, bunda menutup pintu kamar Kinar. Yang memang tadi belum sempat ditutup. Lalu beliau kembali mengambil pakaian itu dan membantu Kinar mengenakannya. Hanya saja Kinar merasa bingung, ia masih berusaha keras untuk mengingat kembali mengapa dia bisa memiliki pakaian itu?

“Bun, emang bunda ya yang beliin Kinar baju ini?”

“Kok nanya bunda? Seingat bunda, sih bunda nggak pernah beli baju gini selain hadiah ulang tahun kamu yang ketujuh belas tahun. Sebab bunda tahu kalau kamu nggak bakal suka,” Jawaban bunda membuat Kinar terdiam. Ia mencoba mengingat kembali.

“Mungkin abang kali, ya bun?” terka Kinar yang membuat bunda terkekeh.

“Masa lupa, sayang? Kan kamu pernah loncat-loncat senang waktu dapat kado dari seseorang. Bunda nggak tahu dari siapa, karena kamu main-main rahasia waktu itu. Kayaknya setahun lalu, deh.”
Kinar menepuk dahinya keras, ia bahkan sampai melupakan hal itu. Apa dia sudah berhasil menjalani terapi-melupakan-semua-tentang-Arga? Jika ya, dia telah menang melawan masa lalunya. Ia baru ingat jika pakaian tersebut pemberian dari Arga, cowok yang pernah dia cintai dan pernah dia berikan seluruh hidupnya—apapun.

***
To be continued

Maaf banget, kalau part ini pendek banget. Cause pikiran masih down, Insya Allah part selanjutnya aku panjangin. Semoga masih tahan baca cerita ku ya, aku harap sih begitu. And kalau berminat, baca ceritaku yang lain ya.

Just A Dream [Completed], Memory And Destiny.

Thanks ...

SINCERITY [COMPLETE]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz