SINCERITY - 23

1.5K 62 0
                                    

Al, kok—”

Arga sengaja tidak melanjutkan ucapannya, dia cukup terkejut saat ini. Entahlah, nyawanya seperti melebur—menghilang dari tubuhnya—entah kemana? Yang jelas, dia masih tidak bisa mengontrol kenyataan dan otaknya. Hingga Aliva menolehkan kepalanya kearah kiri, arah dimana Arga tengah duduk sambil menatapnya dengan tekejut. Raut wajah Aliva sama sekali tak berubah, perempuan itu masih terlihat takut dan panik. Tapi melihat air muka Arga yang begitu menggemaskan membuatnya terkekeh didalam hati.

Ada apa, Ga?” tanya Aliva kemudian.

Menyudahi lamunannya, dan berusaha kembali kekesadarannya. Arga menggelengkan kepala cepat.

“Em—bukannya kamu di Surabaya, ya?”

Aliva menghela napas dengan berat, ia menatap jalanan dihadapannya. Kedua tangannya masih berada dialat kemudi—dia yang mengemudikan mobil Arga, sebab menunggu lelaki itu melakukannya terasa lama dan menyebalkan.

Saat kamu kembali ke Jakarta, dua hari setelahnya aku yang kembali kesini.”

Arga manggut-manggut setelah mendengar penjelasan Aliva.

Ga.”
Ya?”
Ardan datang ke rumah.”

Diam, tidak ada respon dari Arga. Membuat Aliva merasa heran.

Apa yang terjadi?” Suara tegas Arga memecah keheningan setelah beberapa detik yang lalu.

Mau tak mau, perempuan itu menceritakan semuanya pada lelaki berbola mata coklat itu.

Saat itu, Aliva baru saja masuk kedalam rumahnya. Perjalanan dari Surabaya menuju Jakarta memakan waktu seharian. Dan itu sangat melelahkan menurut Aliva. Perempuan berambut panjang itu baru saja merebahkan tubuhnya diatas kasur empuk kamarnya. Rumahnya terlihat begitu sepi, orang tuanya tengah berlibur bersama dengan orang tua Ardan. Entah apa yang membuat Aliva merasa tidak tenang ketika mengingat keempat orang tua itu. Bukan apa, hanya saja hubungannya dengan Ardan sudah tidak membaik, tidak seperti semasa dia SMA.

Aliva menghela napasnya lelah, baru saja memejamkan kedua matanya. Suara bel rumahnya berbunyi. Membuat Aliva mau tidak mau beranjak dari tidurnya, dan meninggalkan kasur empuknya itu demi untuk membukakan pintu rumahnya untuk seorang tamu yang malam-malam mengunjungi rumahnya.

Aliva tidak tahu memang siapa yang datang, dia juga tidak menduga jika lelaki berambut cepak itu mendatangi rumahnya. Membuat kening Aliva membentuk sebuah kerutan.

Ardan?tanya Aliva bingung, lebih ditujukan pada dirinya sendiri.

Oh, kamu sudah pulang? Tadi memang mama bilang ke aku kalau kamu udah nyampe Jakarta.” katanya menjelaskan.

Tante Mia kasih tahu kamu? Padahal aku udah bilang ke mama supaya nggak kasih tahu kedatangan aku ke siapapun.”

Ardan mendorong kedua bahu Aliva dengan pelan, membuat perempuan berambut panjang itu memundurkan langkahnya. Lalu Ardan mendudukkannya diatas sofa.

Kenapa, balik?”

Sebuah pertanyaan konyol yang diajukan Ardan untuk Aliva, sementara perempuan berambut panjang itu sendiri nyaris tidak mengerti dengan ucapan Ardan.

Maksudnya?”
Kenapa udah balik? Nggak tahan jauh sama aku 'kan?”
Apaan, sih? Ngaco, deh?!” Aliva berdecak. Dia mengalihkan pandangannya kearah lain agar tidak menatap wajah Ardan yang sekarang berlutut dihadapannya.

Dengan kasar, Ardan menarik dagu Aliva untuk menatapnya. Tatapan lelaki itu sangat tajam, mengintimidasi. Seolah-olah ingin menelanjangi Aliva. Sementara perempuan itu menelan salivanya dengan susah payah ditatap seperti itu oleh Ardan—lelaki yang masih dia cintai.

Sadar kalau Ardan semakin mendekatkan wajahnya kewajah Aliva, perempuan berambut panjang itu mendorong kedua bahu Ardan. Entahlah, itu refleks. Mungkin ia terkejut.

Ardan menatap Aliva masih dengan mengintimidasi, lalu ia kembali mendekati Aliva. Perempuan itu gugup, tubuhnya  bergetar ketakutan jika yang dia pikirkan adalah apa yang ingin Ardan lakukan kepadanya.

Ardan, kamu ngapain?” tanya Aliva gugup.
Main-main, kenapa? Nggak boleh?”
Apaan sih? Ngejauh gak?!”
Mau apa kalau berani?” tantang Ardan.

Sementara tangan Ardan menyelipkan anak-anak rambut Aliva kebelakang telinga, setelahnya mengelus pipi Aliva dengan lembut. Seperti terkena kejut setrum, tubuh Aliva menegang. Sementara dia juga takut jika Ardan berbuat hal buruk lainnya, dia tahu bagaimana sifat Ardan. Apalagi di rumah tidak ada siapapun selain dirinya dan Ardan.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat dipipi Ardan, lelaki itu sampai memalingkan wajahnya. Dengan memegang pipi kirinya yang terkena tamparan dari tangan Aliva.

Entahlah, dia juga refleks melakukannya. Dan perempuan itu menatap tidak percaya tangan kanannya yang baru dia gunakan untuk menampar lelaki berambut cepak itu.

Menatap Aliva, Ardan menjadi geram sendiri. Dengan kasar, dia menggendong perempuan itu ala Bridal Style. Aliva memberontak, memukul dengan keras dada bidang Ardan. Ia tahu apa yang ada dipikiran Ardan saat ini. Hingga tidak sabaran, Aliva menggigit daun telinga Ardan dengan keras. Membuat siempunya lantas menurunkan Aliva dari gendongannya. Tidak peduli hal lain lagi, Aliva segera berlari menjauh dari Ardan. Tapi naas, Ardan lebih cepat darinya. Lelaki itu kembali menarik pergelangan tangan Aliva agar mendekat kearahnya. Kembali memberontak, Aliva berusaha melepaskan cekalan Ardan yang terasa sakit dipergelangan tangan kanannya.

“Ardan, kamu mau apa? Lepasin!”
“Enggak, ikut aku!”
“Ardan, lepasin!”
Enggak, Aliva!”

Lagi, Aliva menggigit tangan Ardan hingga lelaki itu melepaskan cekalannya dan mengaduh kesakitan. Kesempatan itu tidak disia-siakan Aliva, perempuan itu berlari menjauh. Juga melepaskan flat-shoesnya. Ia tidak peduli apakah Ardan menyumpahinya atau tidak? Mengejarnya atau tidak? Yang dia inginkan adalah menjauh dari lelaki itu. Ia takut saat ini, tubuhnya gemetaran mengingat perlakuan Ardan yang kelewat batas tadi. Ia tidak tahu apa jadinya jika dia membiarkan Ardan menggendongnya tadi. Entahlah ... dia terlalu lelah hari ini. Yang menjadi keberuntungannya saat ini adalah, ponselnya masih berada didalam saku celananya. Hingga dia memilih untuk menghubungi Arga, dan bersembunyi disudut halte.

Arga tertegun mendengar cerita Aliva, pasalnya dia tidak menyangka saja jika Ardan berani berbuat senekad itu. Tapi yang dia legakan adalah semua hal buruk tidak terjadi pada Aliva, hal buruk itu tidak terjadi seperti dirinya dan Kinar. Yang mana membuat dirinya tidak pernah tenang sampai saat ini. Arga terdiam, kebodohan Kinar adalah tidak menjauh darinya, dan malah sebaliknya. Kinar mendekatinya. Sementara kebodohannya adalah tidak dapat mengontrol nafsu dan kesadarannya.

Mengusap wajahnya dengan kasar, Arga merasa ia harus segera bertemu dengan orang yang dia sakiti. Secepatnya. Dia tidak peduli lagi dengan apapun. Yang dia inginkan adalah memperbaiki segalanya. Untuk meminta maaf, mengatakan penyesalannya, dan jika Kinar mempercayainya lagi maka dia akan berjanji sekuat hati jika dia akan melindungi gadis kecilnya itu. Berusaha untuk belajar mencintai gadis lucu itu. Ia yakin, seyakin-yakinnya jika suatu saat Kinar akan memaafkannya.

***

Hai, balik lagi sama aku. Author yang masih amatiran. Hehe.

Gimana kelanjutannya?
Makin aneh kan ya?

To be continued

SINCERITY [COMPLETE]Where stories live. Discover now