SINCERITY - 20

1.6K 75 0
                                    

Pagi itu, hujan kembali mengguyur kota metropolitan. Membasahi jalanan dan bangunan-bangunan, serta tubuh tegap lelaki itu. Entah mengapa rasanya aneh, seseorang berdiri didepan pagar rumah orang lain. Terlebih lagi saat ini hujan turun dengan derasnya. Tak ayal jika lelaki itu kedinginan, tapi ini tujuannya. Entahlah ...

“Arga?” Sebuah gumaman terdengar dari telinga Arga yang berdiri di depan pagar rumah Kinar. Lelaki itu nampak basah kuyup.

Sementara, pemilik suara yang memanggil nama “Arga” berdiri satu fatom dibelakang Arga, dengan sebuah payung yang melindungi tubuh tegapnya. Lelaki berambut ikal itu menatap bingung kearah Arga—yang kini telah menghadap kearahnya.

Kedua bola mata Arga membeliak, menyadari kedatangan lelaki berambut ikal itu membuatnya terkejut. Bagaimana bisa dia ada disini? Pikir Arga. Ini hanya sebuah kebetulan atau apa? Arga tidak tahu tentang hal itu, saat ini yang ingin dia ketahui adalah mengapa lelaki berambut ikal itu juga ada di tempat tujuannya saat ini?

Hening, hanya terdengar suara rintikan bunyi hujan yang memekakkan telinga. Arga menatap dengan intimidasi kearah lelaki berambut ikal itu, ingin tahu sesuatu mengenai lelaki itu.

“Lo ada disini? Gue pikir lo udah mati karena nggak pernah muncul lagi,” ucapan lelaki berambut ikal itu membuat kedua mata Arga semakin membeliak lebar. Pasalnya, bukankah itu sebuah ejekan tapi  terasa pedas jika dikatakan lelucon. Arga hanya diam, dan bodohnya dia malah tertawa sinis menanggapi ucapan sarkas yang terdengar dari mulut lelaki berambut ikal itu.

“Lo masih inget apa?” Lagi, nada itu terdengar sarkas. Tapi apakah Arga boleh mengatakan itu adalah sindiran?

“Lebih baik lo nggak usah datang ke tempat ini lagi! Karena seseorang yang ingin lo temui nggak akan pernah mau lihat wajah lo!”

Okey, itu bukan lelucon. Tapi sebuah gertakan dari seorang musuh kepada dirinya.

Kedua tangan Arga mengepal disamping tubuhnya, sehingga memperlihatkan buku-buku tangannya memutih. Lelaki berambut cepak itu terlihat geram, ia mana mungkin terima mendengar olokan yang ditujukan untuknya dari seorang teman terdekatnya sendiri.

“Kenapa? Lo marah?”

Lelaki itu, Daniel menatap Arga merendahkan. Seolah Arga adalah sesuatu yang buruk untuk dia lihat.

“Lo udah hancurin masa depan Kinar, dan lo mau apa kesini? Minta maaf? Mau janji?—Daniel tertawa sinis—bullshit! Gue nggak percaya, apalagi kelakuan lo udah jelas-jelas bad banget.”

Arga diam, meskipun dia merasa dirinya sudah naik pitam. Kedua tangannya terasa gatal untuk segera menghajar teman—yang pernah dekat dengannya itu—agar merasa jera dan sadar untuk tidak menghakimi dirinya sendirian seperti ini.

“Lo harusnya sadar, Ga. Kalau apa yang lo perbuat itu salah. Gue kenal lo lama banget, bukan apa emang. Tapi sebagai teman yang udah kenal dekat sama lo, gue akan tetap menyalahkan diri lo yang nggak pernah bisa kontrol emosi.”

Arga terdiam, ketegangannya sedari tadi telah tergantikan dengan rasa bersalahnya. Mendengar ucapan Daniel, membuatnya kembali mengingat kesalahannya. Dia tahu itu adalah hal terburuk selain memacari kekasih Ardan. Entahlah, Arga terlalu egois dan itu membuatnya berbuat kesalahan.

“Dan setelah kejadian itu, lo dengan gampangnya hilang gitu aja tanpa mikir perasaan cewek yang baru aja lo sakiti. Yang baru aja lo hancurin masa depannya.”

Stop! Gue tahu gue salah, dan gue paham gimana karma itu udah berlaku bagi gue.”

Daniel meninggikan sebelah alisnya, seperti mengatakan “Terus, kaitannya?
Namun Daniel lebih memilih untuk menunggu kelanjutan cerita Arga. Cowok berambut cepak itu sendiri masih belum paham dengan sikap teman—yang pernah dekat dengannya itu—lebih sedikit memiliki otak cerdas ketimbang masa SMA-nya dulu.

“Gue mohon, jangan nge-judge orang tanpa lo tahu apa alasan orang itu melakukannya.” Jelas Arga, tubuhnya semakin basah kuyup. Bahkan lelaki itu menggigil ditengahnya hujan, terlihat dari bibirnya yang membiru serta wajahnya yang sedikit pucat. Memang, Arga telah lama berada disana. Sekitar dua jam yang lalu.

Okey, tapi kalau lo nggak benar-benar bersalah.”

Arga menghembuskan napasnya pelan, kepalanya menunduk untuk melihat paving dibawahnya.

“Gue harus kemana?” Lirih Arga.
“Gue tahu lo harus kemana?”

Arga mendongak ketika mendengar ucapan Daniel.

“Kemana?” Kening Arga berkerut.
“Tapi ada syaratnya!”
“Apaan?”

Daniel sengaja terdiam, lelaki itu malah tersenyum jahil kearah Arga. Membuat lelaki berambut cepak itu geram sendiri. Pasalnya dia sudah menunggu lama apa yang membuatnya penasaran. Tapi entahlah, temannya pura-pura menjadi orang paling tolol dari sejuta orang tolol lain di dunia yang pernah Arga lihat sebelumnya. Lelaki itu nampak tak merasa bersalah menunjukkan wajah polos yang malah membuat perut Arga bergejolak minta dikeluarkan isinya.

“Buruan, anjir!” Geram Arga, ditengah rasa menggigilnya.

Daniel terkekeh, tiba-tiba saja dia merindukan masa SMA-nya. Dimana dia adalah orang paling tolol seangkatannya—dalam artian kelakuannya yang paling tolol.

“Gue kangen masa SMA kita, masa?” Tanpa menghiraukan air muka Arga yang datar itu, dengan tenangnya dia mengatakan demikian. Daniel masih terkekeh mengingat kejadian lucu di SMA-nya dulu.

“Dan, lo tahu tiang listrik gak?”

Mengernyit, itu yang dilakukan Daniel ketika mendengar pertanyaan Arga. Lantas dia menggelengkan kepala tanda tidak paham maksud yang dikatakan Arga barusan.

“Lo mau gue nimpuk pala lo sama tiang listrik, ya? Gue nunggu jawaban lo, monyet!”

Daniel menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal, dengan tersenyum kikuk. Lantas dia berkata, “Di negara tetangga.”

***

Sori ya, sejauh ini aku belum bikin scene peran utamanya. Udah sih, tapi itu kan cuma flesbek. Hehe..

Aku usahain sesegera mungkin.

Dan sori, lama menghilang. Aku kenapa lupa ya mau publish cerita ini, masa?

Salam dariku,

To be continued

SINCERITY [COMPLETE]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum