SINCERITY - 17

1.7K 69 1
                                    

Wanita paruh baya itu berdiri didepan jendela ruang rawat putrinya, menatap nyalang pada seorang gadis yang mana adalah darah dagingnya. Ia bahkan tidak mau mengganggu sang putri yang tengah tertidur itu, sebab beliau yakin jika putrinya sedang tak ingin diganggu. Sudah satu hari putri semata wayangnya itu memejamkan kedua mata, berbaring diatas brankar dengan alat kedokteran yang menempel disekitar tubuhnya. Hal itu mampu membuat hati wanita paruh baya itu mencelos jauh. Rasanya ia tak ingin melihat putri satu-satunya menderita seperti ini. Namun apa yang akan dia lakukan? Toh semua ini adalah ujian yang diberikan Sang Khalik kepadanya. Yang mana, ia hanya bisa menerima dengan lapang dan hati yang tulus.

Sebuah tangan kekar merengkuh kedua bahunya, membawa tubuh ringkihnya kedalam pelukan sipemilik tangan kekar itu. Alih-alih membalas pelukan, wanita paruh baya itu malah mengeluarkan air mata dan isak tangisnya. Tubuhnya menegang, tidak urung untuk tidak bergetar karena isakan. Lantas beliau mengurai pelukan, menyeka air matanya yang sempat membasahi kedua pipinya. Manik matanya mengarah kepada sosok pemilik tangan kekar tersebut---menatap dengan sendu. Kedua matanya begitu sayu karena terlalu lama menangis.

Sipemilik tangan kekar itu menangkup kedua pipi wanita paruh baya, mencoba memberikan sentuhan hangat yang layaknya menyalurkan seluruh tenaganya. Lantas, ia tersenyum untuk mencoba menenangkan wanita tua itu.

"Jangan terlalu khawatir sama tuan putri kita, bun. Dia baik-baik saja, hanya saja pikirannya yang kacau membuat para dokter harus membiusnya." Katanya panjang lebar dengan suara lirihnya, seperti tidak ingin ada orang lain mengetahuinya.

Dinginnya malam begitu terasa di lorong rumah sakit ini, yang begitu nampak sepi---walau hanya ada satu atau dua orang berlalu lalang. Tapi udara kian mencekam. Menambah kesan magis disekitarnya.

"Bunda takut," cicitnya lebih terdengar seperti bisikan. Suaranya yang lemah itu bergetar karena dirinya yang semakin tua.

Kembali, lelaki itu menarik tubuh sang bunda dengan kedua tangan kekarnya kedalam pelukannya yang lembut dan hangat. Hanya ini yang mampu dia lakukan untuk menenangkan pikiran wanita paruh baya yang dia cintai. Lantas tangan kanannya bergerak naik turun dipunggung sang bunda, seolah memberi kekuatan yang telah lama terserap dalam diri sang bunda.

Tidak lama kemudian, bunda mengurai pelukannya dan kembali menatap putrinya yang masih terpejam itu. Lantas, dirinya berjalan memasuki ruangan persegi itu. Dengan langkah pelan, wanita itu menghampiri gadis yang berbaring. Tangan kanannya terulur untuk menyentuh kening gadis itu, mengusapnya lembut agar memberi kesan kehangatan.

"Bunda ingin kamu jadi Kinarnya bunda seperti dulu," lirihnya nyaris terdemgar seperti sebuah bisikan. Namun yang dibicarakan nampak bergeming, masih tetap memejamkan kedua matanya.

"Bunda sayang banget sama kamu, nak. Bunda nggak ingin kehilangan kamu." Lanjutnya lagi, kali ini dengan suaranya yang terdengar parau.

"Kita bantu adik untuk lupain semua, ya, bun. Aku tahu, adik pasti bisa apalagi ada abang sama bunda." Lelaki itu merengkuh kedua bahu sang bunda, namun tatapannya tertuju pada gadis yang bernama Kinar itu.

Wanita paruh baya itu hanya mengangguk patuh, dirinya hanya menginginkan sang putri berubah seperti dulu lagi. Bukan seperti sekarang, yang rapuh dan terus-terusan menderita karena setiap kali sendirian malah mengingat masa kelam yang telah dia jalani atau lakukan. Jujur saja, sebagai seorang ibu ia tidak akan tega melihat anaknya terpuruk. Sesungguhnya dia merasa kehilangan. 

***

"Kenapa nggak balik ke Jakarta?"

"Sejujurnya aku ada di Surabaya, selain ikut atasan aku, aku juga sejenak berhenti mikir hubungan aku sama Ardan," ujar perempuan diseberang sana.

Arga hanya mengangguk paham tentang apa yang dikatakan Aliva, meskipun perempuan itu tidak akan tahu jika dirinya tengah menganggukkan kepala saat ini.

"Yah---padahal gue mau minta tolong, loh." Kata Arga dengan nada pasrah. Ia berniat menggoda perempuan itu.

"Apaan?"

"Tolong buat peluk gue, supaya gue lebih sedikit tenang."

"Mulai deh, kapan berubahnya, sih?"

Yang Arga dengar, perempuan yang bicara ditelepon dengannya menunjukkan nada bosannya. Arga terkekeh dalam hati, sejauh ini dia memang seperti itu kepada Aliva. Sebab sebelum berubahnya dirinya menjadi dingin, dalam kata lain mencari jati diri yang sebenarnya. Arga sering menggoda Aliva sehingga wajah perempuan itu memerah. Tapi entah mengapa, setelah persahabatannya dengan Ardan berantakan---renggang. Arga menjadi sosok yang dingin.

"Ga, kamu masih disana, kan?"

Suara Aliva mengejutkannya, Arga yang tengah melamun sedikit terhenyak.

"Eh, iya Al. Ada apa?" Arga jadi salah tingkah.

"Masih belum tahu keberadaan Kinar?"

Aliva tidak tahu jika sebelum perempuan itu membahas mengenai Kinar, Arga sejenak bisa melupakan bebannya. Namun mendengar nama Kinar disebut, mood lelaki itu jadi berubah. Saat ini dia terdiam sambil menatap ubin kamarnya yang gelap itu.

"Belum, masih cari tahu." Jawabnya terdengar lesu.

"Semangat, Arga. Aku tahu selagi kita masih berusaha, pasti membuahkan hasilnya. Dan aku berdo'a supaya kamu segera temuin Kinar dan bisa bicara berdua."

"Makasih, ya, Al. Duh, jadi nyesel deh udah pernah putusin lo dan nyuruh lo buat balik sama Ardan."

Aliva tahu dari nada bercandanya Arga, lelaki itu pasti sangat serius. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Toh, dia sudah tidak lagi menganggap Arga lebih dari seorang sahabat. Cukup kebodohannya yang dulu saja, kali ini dia tidak ingin jatuh kelubang yang sama. Dalam hatinya, sudah tertaut sosok lelaki yang selalu ada dalam pikirannya. Ardan. Lelaki yang menjadi cinta pertamanya dulu, dan lelaki yang mampu membuat hatinya berubah-ubah tak karuan.

"Al, masih disana, kan?"

"Iya, kenapa?"

"Nggak deh, gue cuma mau bilang kalau jangan terlalu mikirin Ardan. Gue nggak mau aja lo mikirin cowok yang plin-plan kek dia."

"Plin-plan gitu, kita mau tunangan loh."

"Hehe, iya iya. Gue do'ain supaya Ardan nggak bakalan ngelirik cewek lain."

"Aamiin.. Oh ya, Ga. Udah malem, kamu nggak istirahat?"

"Cie, mantan. Yang perhatian."

"Apaan, sih? Cuma nanya doang, kok."

"Hahaha, iya iya. Abang tahu."

"Ga, udah deh, mending tidur dan besok cari Kinar lagi. Aku yakin kamu pasti temuin dia."

Arga menarik napasnya berat.

"Semoga," gumamnya.

Setelahnya panggilan terputus. Arga membanting benda pipih itu diatas kasur, lalu dia merebahkan tubuhnya. Ia menatap langit-langit kamarnya yang gelap karena penerangan dalam kamar tidak dia nyalakan. Yang saat ini jadi pikirannya adalah, Kinar.

***

To be continued.

Menurut kalian, cerita ini gimana sih?

SINCERITY [COMPLETE]Where stories live. Discover now